Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 08:31 WIB | Senin, 03 November 2014

Konflik DPR, Kekuasaan Jadi Berhala

Suasana DPR saat diambil sumpahnya, Rabu (1/10). (Foto: dok. satuharapan.com/Antara)

SATUHARAPAN.COM – Kisruh di DPR masih berlanjut. Belum ada sepakat antara dua kubu yang berseteru, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KMP terus mengegolkan keinginan untuk menguasai parlemen dengan menduduki jabatan-jabatan pimpinan, mulai dari DPR, komisi-komisi dan alat-alat kelengkapan. Sementara KIH menyampaikan berbagai protes, mulai dari walkout dari sidang, menyampaikan mosi tidak percaya terhadap pimpinan sampai wacana membentuk komisi-komisi dan pimpinan DPR tandingan. DPR telah terbelah.  

Akar perpecahan itu mulai tumbuh sejak Pemilu Presiden. Kekalahan Prabowo-Hatta yang diusung oleh kubu KMP tampaknya telah menimbulkan sakit hati dan dendam politis. Hal itu  dibawa ke parlemen dalam bentuk pertempuran memperebutkan posisi-posisi penting. Tujuannya disinyalir adalah sebagai sarana untuk menghambat kekuasaan presiden Jokowi yang diusung KIH. KMP sendiri mengatakan bahwa kubunya dengan penguasaan jabatan-jabatan pimpinan di parlemen hendak menjadi kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah.

Pertempuran antara kedua kubu itu dimulai tidak pada periode DPR yang baru, yaitu periode 2014-2019 tetapi pada akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014. Di bulan terakhir periodenya, kubu KMP berhasil memperjuangkan amendemen Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 yang memberi peluang kepada pihak mayoritas atau pemilik suara terbanyak untuk mendapatkan jabatan pimpinan di lembaga-lembaga itu melalui mekanisme voting.  Terbukti bahwa jabatan-jabatan pimpinan dimenangkan dan diduduki oleh kader-kader KMP. KMP “menyapu bersih” jabatan-jabatan pimpinan yang ada dan ini memicu dan memperbesar konflik.

Haus Kekuasaan sebagai Pemicu Konflik dan Kerusakan

Penyebab dasar dan utama konflik dan kekisruhan itu adalah dambaan pada kekuasaan. Berpolitik memang pada dasarnya adalah usaha untuk mendapatkan kekuasaan dan efek-efeknya seperti pengaruh dan fasilitas. Semua pihak ingin berkuasa. Dalam politik yang berorientasi pada kekuasaan ada persaingan, permusuhan; ada sakit hati dan dendam; ada intrik, pikiran dan siasat kotor atau tindakan licik. Karena itu, umumnya orang menilai bahwa politik itu kotor. Karena tujuan kekuasaan itu, orang umumnya tergoda untuk melakukan kejahatan atau tindakan tidak etis.  

Secara konstitusional, persaingan dan perebutan kekuasaan atau menjadi pimpinan seperti yang terjadi di DPR saat ini adalah sah, tidak menyalahi prosedur, peraturan atau undang-undang. Namun, ada nilai-nilai falsafah berbangsa dan bernegara yaitu demokrasi Pancasila yang dilanggar. Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” atau prinsip musyawarah-mufakat dan juga prinsip keadilan dan persatuan diabaikan.

Itu bukan merupakan masalah hukum, tetapi etis-moral. Ada etika politik berdemokrasi yang ditabrak. Karena itu, jabatan-jabatan pimpinan yang diperoleh dan diduduki pihak pemenang sarat dengan persoalan etis. Kemenangan “sapu bersih” karena mayoritas tidaklah pantas atau tidak baik bagi demokrasi dan bagi bangsa dan negara jika dilihat dari prinsip musyawarah-mufakat yang bijaksana, keadilan, kebersamaan dan persatuan. Perilaku berdemokrasi seperti ini telah menyandera dan memerkosa demokrasi itu sendiri, demi kepentingan kekuasaan, persaingan dan dendam. Demokrasi kita sedang dirusak oleh para politikus-politikus lalim yang sinisnya menjadikan demokrasi itu sebagai lahan mencari kehidupan atau sarana mengekspresikan diri. Jadi mereka merusak lahan hidup mereka sendiri dan tentu bangsa dan negara ini.  

Kekuasaan telah dijadikan berhala dalam kancah politik. Demi kekuasaan orang menghalalkan berbagai cara termasuk yang tidak etis dan jahat. Bahkan, demi kekuasaan, para politikus, wakil rakyat itu mengabaikan sumpah atau janji mereka kepada bangsa, negara dan terlebih kepada Tuhan. Jika orang telah mengingkari sumpah kepada Tuhan demi kekuasaan, berarti ia mengabaikan Tuhan dan mengutamakan kekuasaan. Dalam bahasa agama, mengutamakan atau menempatkan sesuatu lebih dari pada Tuhan berarti menjadikan sesuatu itu sebagai Tuhan. Apalagi, Tuhan di sini ditempatkan dalam posisi lebih rendah dari sesuatu yang lain (atau kekuasaan) itu.  Kekuasaan telah dijadikan ilah lain yang disembah selain Tuhan.

Hal itu sangat ditentang oleh ajaran agama atau Hukum Tuhan. Salah satu Syahadat dalam Islam, yaitu la ilaha ilallah (tiada Tuhan selain Allah) dan dalam Kristen, hukum pertama dalam Hukum Taurat, yaitu “Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” telah diabaikan. Dalam ajaran agama itu, pengutamaan sesuatu (kekuasaan) lebih dari pada Tuhan adalah dosa. Sadar atau tidak sadar para politikus yang mengutamakan kekuasaan dari pada etika dan sumpahnya kepada Tuhan telah jatuh ke dalam dosa syirik, persekutuan sesuatu dengan Tuhan atau menyembah ilah lain selain Tuhan. Dosa mengakibatkan kerusakan dan penghukuman; ada kekecewaan, sakit hati, dendam dan penderitaan.

Membarui Budi Pekerti, Bersihkan Diri

Manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta demokrasi kita akan rusak apabila etika dan Tuhan diabaikan. Dalam konflik atau kekisruhan di DPR, pada satu pihak, dendam terbalaskan, keinginan tercapai dan kepuasan dirasa. Tapi di pihak lain, ada kekecewaan, kegeraman, sakit hati dan frustrasi; ada penderitaan. Yang perlu disadar bahwa secara hakiki, dalam pertempuran politik seperti yang dipertontonkan para wakil rakyat di DPR, tidak ada pihak yang menang; semua pihak kalah. Kemenangan atau kekalahan yang hanya sesaat itu telah mengakibatkan kerusakan citra wakil rakyat, citra DPR, bangsa kita dan politik-demokrasi itu sendiri. Juga, karena dosa dilakukan, tentu hukuman Tuhan menanti.

Yang terbaik adalah sadarlah dan seperti lagu Ebiet G. Ade, “segeralah bersujud, mumpung masih diberi waktu.” Perbaruilah budi pekerti, bersihkan diri, sucikan hati. Yang menang karena mayoritas (kubu KMP) jangan kemaruk; berlakulah bijak dan adil, elegan dan proporsional. Yang kalah karena minoritas (kubu KIH) berlakulah bijak dan sabar. Jika masih bisa, berkomunikasi, bernegosiasilah dan berdamailah. Jika tidak lagi ada peluang, yang baik adalah mengalah pasrah demi kemenangan semua.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home