Konflik Irak Picu Peningkatan Pekerja Anak
IRAK, SATUHARAPAN.COM - Dalam laporannya bulan Juli 2016 lalu, UNICEF menyebutkan kekerasan dan hilangnya pendapatan keluarga memaksa anak-anak untuk ikut bekerja. Laporan itu memperkirakan lebih dari 575.000 pekerja anak di Irak, angka yang fantastis sejak 1990.
“Hari ini, Irak menjadi salah satu tempat paling berbahaya untuk anak-anak tinggali, setidaknya bukan negara di mana kalian tidak bisa berharap menjadi anak-anak lagi,” kata Maulid Warfa, salah satu orang UNICEF.
“Anak-anak di Irak dihadapkan bahaya sejak usia yang sangat dini,” kata Warfa. “Mereka bekerja di pabrik-pabrik kimia atau di tempat pembuangan sampah tanpa ada perlindungan. Mereka bekerja selama berjam-jam. Ini menghancurkan masa depan mereka. Yang diinginkan mereka hanya bermain, sekolah, dicintai dan merasa aman di keluarga mereka. Kita tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka,” kata dia.
Dampak dari konflik di Irak sangat jelas terasa di kalangan anak-anak: Setidaknya satu dari lima sekolah ditutup, sementara tiga juta anak menjadi korban kekerasan seksual, penculikan dan diangkat menjadi anggota kelompok bersenjata, bahkan berisiko mati muda.
PBB memperkirakan dalam kurun waktu 18 bulan ini sudah lebih dari satu juta anak-anak yang bekerja di usia dini.
“Saya harap saya bisa pergi ke sekolah lagi, tapi kami telah kehilangan segalanya, dan saya harus ikut membantu keluarga,” kata seorang bocah delapan tahun ini yang diketahui bernama Abdul Karim. Ketika ditemui wartawan Al-Jazeera, ia sedang berjualan minuman di dalam camp Irak Ameriat al-Fallujah.
Karim adalah satu dari jutaan anak Iraq lainnya yang terpakasa putus sekolah dan bekerja karena negaranya masih terlibat krisis.
Raad Aldahlaki, salah seorang anggota parlemen yang konsen terhadap isu HAM di Irak menyatakan bahwa pemerintah pusat mengemban tanggung jawab yang besar.
“Politisi dan institusi pemerintah tidak melakukan apa-apa ketika harus menghadapi masalah sosial yang diakibatkan konflik, pemerintah tidak mempunyai strategi untuk bagaimana membantu mereka,” kata Aldahlaki.
Menteri Tenaga Kerja Irak, Mohammed Shayaa al-Sudani, mengakui peningkatan dramatis dalam pekerja anak di tengah konflik yang sedang berlangsung di negara itu. Ia mencatat bahwa pemerintah tegah melakukan kerja sama dengan organisasi internasional untuk mengintegrasikan kembali para pekerja anak ke sekolah. Pemerintah juga mengesahkan undang-undang yang membatasi usia di mana anak secara hukum dapat bekerja. (aljazeera)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Mataram Mampu Produksi 20 Ton Magot
MATARAM, SATUHARAPAN.COM - Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) modern di Sandubaya, Kota Mataram...