Loading...
SAINS
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 09:41 WIB | Jumat, 30 Januari 2015

KontraS dan JATAM Desak Pemerintah Cabut Izin Ekspor Freeport

Sejumlah buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Pro Perubahan (KSPSI) berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2013) menuntut penyelesaian kecelakaan di tambang PT Freeport Indonesia. (Foto: dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - KontraS dan JATAM, LSM yang bergerak dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pemerhati pertambangan mendesak Pemerintah mencabut nota kesepakatan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia karena kebijakan pemberian izin ekspor konsentrat jelas melanggar UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
 
Menurut dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tersebut dalam konferensi pers Kamis (29/1) di kantor KontraS, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berlaku efektif setelah lima tahun sejak keluarnya UU tersebut mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter dan melarang ekspor bahan mentah, tetapi pemerintah malah memberikan pengecualian kepada PT Freeport dan perusahaan pertambangan besar lainnya seperti PT Newmont untuk tetap mengekspor konsentrat tambang dengan beberapa poin renegosiasi kontrak karya.
 
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sederet pelanggaran hukum dan HAM oleh PT Freeport Indonesia mulai dari penghancuran tatanan adat, perampasan lahan masyarakat lokal, penangkapan sewenang-wenang masyarakat sipil, perusakan lingkungan hidup, perusakan sendi-sendi ekonomi sampai pengingkaran atas eksistensi masyarakat suku Amungme hingga pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan dan setoran illegal uang keamanan kepada aparat Negara sebesar 5,6 juta dolar AS. 
 
Sedangkan hasil penelitian Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menemukan bahwa limbah tailing PT Freeport hingga saat ini setidaknya telah mencapai lebih dari 1,187 milliar ton yang dibuang ke sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa. Longsor besar terakhir bahkan telah merenggut 28 nyawa pekerja sekaligus pada 14 Mei 2013. Hingga akhirnya Komnas HAM telah menetapkan PT Freeport Indonesia sebagai pelanggar HAM berat dalam kasus tersebut.
 
Pemberian perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk PT Freeport Indonesia hingga Juli 2015 yang ditandatangani Pemerintah pada 23 Januari 2015 lalu menurut KontraS dan JATAM menunjukkan ketidakberdayaan Pemerintah menghadapi perusahaan tambang asal AS itu.
 
Belum lagi ingkar janji (wansprestasi) atas kewajibannya membangun smelter (pabrik pemurnian logam) sebelum izin ekspor tersebut habis sejak Desember 2014. Namun kenyataannya, hingga izin habis, PT Freeport Indonesia tidak ada itikad baik untuk membangun smelter tersebut. Bahkan saat perpanjangan izin ekspor kedua perusahaan itu baru akan memastikan kepada Pemerintah tentang lokasi lahan yang akan digunakan untuk pembangunan smelter yakni dengan menyewa lahan PT Petrokimia di Gresik Jawa Timur seluas 80 hektare dalam jangka waktu 20-30 tahun.
 
Berdasarkan kondisi tersebut, KontraS dan JATAM juga meminta DPR membentuk pansus atas pelanggaran pemerintah yang tidak konsisten menerapkan pasal 5 UU No. 4 Tahun 2009.
 
PT Freeport Indonesia juga didesak segara bertanggung jawab atas tindakan pelanggaran hukum dan HAM sejak melakukan penambangan juga merealisasikan kewajibannya membangun smelter.
 
Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan diharapkan untuk segera melakukan audit lingkungan atas tindakan PT Freeport Indonesia yang merusak tatanan ekosistem lingkungan hidup.
 
Dan Kementerian Tenaga Kerja segera melakukan investigasi atas pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan yang menimpa buruh PT Freeport Indonesia selama ini yang terus dihadapkan ketidakpastian atas nasib hak atas pekerjaannya.

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home