Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 11:45 WIB | Kamis, 05 Juni 2014

Korban Intoleran: Negara Tak Berpihak pada Kami

Para korban intoleransi dalam acara Peluncuran Buku Laporan Hak Asasi Manusia Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM Berat Dalam Kasus-kasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah di Indonesia. (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Beberapa korban intoleran yang terjalin dalam Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman menyatakan bahwa negara atau pemerintah tidak pernah ada dan berpihak kepada mereka.  

“Dalam lima tahun terakhir, pelanggaran HAM dilakukan secara sistematis oleh negara terhadap jemaah Ahmadiyah, umat Kristiani, pemeluk mazhab Syiah dan komunitas sufi/tarekat di berbagai provinsi di Indonesia,” kata mereka dalam kutipan siaran pers yang diterbitkan pada Rabu (4/6) di Jakarta.

“Fakta dan data menunjukan bahwa jaminan atas kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah di Indonesia terus memburuk. Akibatnya, sebagian masyarakat korban terusir dari tempat tinggalnya, kehilangan harta benda, anak-anak mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan, mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan dan negara, hingga pelanggaran hak-hak fundamental.”

Dalam siaran persnya, Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman menemukan dua faktor mendasar penyebab kekerasan dan beragam bentuk pelanggaran HAM terhadap kelompok agama dan keyakinan di Indonesia.

Faktor yang pertama adalah negara serta alat kelengkapannya tidak pernah tampil sebagai satu kesatuan yang utuh ketika menangani HAM dalam beragama, beribadah dan berkeyakinan. Di satu sisi pemerintah mempromosikan HAM, yakni berupa ratifikasi beberapa instrumen penting hukum HAM internasional untuk memperkuat sistem hukum nasional. Namun, di sisi lain, pemerintah termasuk pemerintah daerah terus memproduksi peraturan-peraturan yang kontra-produktif dengan jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Pemerintah juga turut andil dalam memicu kekerasan, yakni dengan menerbitkan peraturan atau surat edaran yang melarang pemeluk agama atau kepercayaan yang dianggap sesat untuk menjalankan ibadah seperti yang dialami oleh jamaah Ahmadiyah di Samarinda, Pandeglang dan Jawa Timur.

Bahkan, pelarangan mendirikan tempat ibadah juga masih menjadi persoalan serius seperti yang dialami oleh GKI Taman Yasmin Bogor, HKBP Filadelfia Bekasi dan kasus enam belas Gereja di Aceh Singkil.

Faktor kedua adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang seharusnya tampil di garda terdepan dalam memberikan jaminan perlindungan justru melakukan pembiaran ketika masa intoleran melakukan serangan, kekerasan, pembunuhan dan beragam bentuk pelanggaran HAM lainnya terhadap kelompok agama dan keyakinan yang dianggap sesat atau ilegal.

Polri yang seharusnya mengambil tindakan tegas, justru tidak berdaya menghadapi massa intoleran. Tindakan minim yang biasanya diambil Polri adalah hanya mengamankan atau mengevakuasi kelompok yang menjadi target serangan massa intoleran.

Menurut Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman, Polri melakukan beberapa pelanggaran yaitu Polri tidak mengambil tindakan efektif untuk menghentikan penyerangan dan ancaman yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Pelanggaran yang lain adalah Polri bersama dengan massa intoleran turut serta membubarkan acara/ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas.

Oleh karena itu, Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman menuntut presiden dan wakil presiden saat ini harus berkomitmen menjamin terpenuhinya hak kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan kepada seluruh warga negara tanpa kecuali.

Tuntutan yang kedua adalah presiden dan wakil presiden terpilih menjadikan penyelesaian kasus-kasus intoleransi dan kekerasan berbasis agama sebagai agenda prioritas tahun pertama pemerintahannya.

Tuntutan yang ketiga adalah presiden hasil pemilu 2014 harus mengambil langkah-langkah serius untuk memperbaiki cara pandang dan kinerja Polri dalam menangani kasus-kasus tindak kekerasan berbasis agama terhadap kelompok komunitas agama, mazhab dan kepercayaan tertentu.

Tuntutan yang keempat adalah pemerintah RI mencabut kebijakan dan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan berbasis agama terhadap kelompok komunitas agama, mazhab dan kepercayaan tertentu.

Tuntutan yang kelima adalah Polri harus melakukan penyeloidikan dan memastikan penghukuman terhadap anggotanya yang terlibat atau membiarkan praktik pelanggaran HAM dalam kasus-kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Tuntutan yang keenam adalah Komnas HAM agar melakukan upaya-upaya untuk memastikan terjadinya pengadilan HAM bagi para pelaku pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Tuntutan ketujuh adalah pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah nyata untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban intoleran khususnya kelompok perempuan dan anak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home