Loading...
HAM
Penulis: Wim Goissler 13:44 WIB | Kamis, 30 Maret 2017

Kunjungan Pelapor Khusus PBB di Tengah Kematian Maikel Merani

Pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel saat aksi di depan kantor Agen Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali, Senin (20/3). Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua itu meminta penutupan tambang emas milik PT Freeport Indonesia. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk bidang kesehatan, Dainius Puras, dijadwalkan akan mengunjungi Papua pada hari Jumat (31/03) ini.

Kunjungan ke Jayapura merupakan bagian dari lawatannya ke Indonesia yang telah dimulai pada 23 Maret hingga berakhir pada 3 April mendatang.

Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) memandang kunjungan ini sangat penting. Pertama, ini merupakan kunjungan pertama Pelapor Khusus PBB ke Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Pada tahun 2007, Hina Jilani, Pelapor Khusus PBB untuk masalah HAM pernah berkunjung ke Papua. Ia sempat bertemu dengan komunitas masyarakat sipil Papua dan korban-korban pelanggaran HAM di Papua.

Pada tahun 2008, Manfred Nowak, Pelapor Khusus PBB tentang penyiksaan berkunjung ke Papua dan menemui beberapa korban penyiksaan.

Setelah itu, Indonesia menolak kehadiran Pelapor Khusus PBB, Frank LaRue, yang membidangi kebebasan berekspresi pada tahun 2013. Pada tahun  2015, kembali Indonesia menolak kedatangan Pelapor Khusus PBB, David Kaye, juga untuk bidang yang sama.
 
Dainius Puras memang bukan Pelapor Khusus yang spesifik membidangi perihal kekerasan ataupun kebebasan berekspresi, masalah yang selama ini dianggap sangat krusial di Papua. Sesuai mandatnya, ia ke Indonesia untuk melihat dari dekat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dan di Papua tentu akan menyoroti kesehatan masyarakat  asli Papua.

Namun, mengingat Pelapor Khusus PBB membawa mandat dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB, kunjungannya tak bisa terlepas dari perspektif penegakan HAM.

Kedua, kunjungan Dainius Puras semakin penting mengingat masalah penegakan HAM di Papua dewasa ini telah menjadi isu internasional dan dikaitkan dengan hak menentukan nasib sendiri (baca: merdeka) bagi rakyat Papua.

Awal bulan ini, tujuh negara Pasifik  (Vanuatu, Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands dan Solomon Islands) mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua dalam sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, yang semakin membuka mata dunia terhadap gejolak keinginan merdeka rakyat Papua.

Juni tahun lalu, hal yang sama juga diangkat oleh tujuh negara Pasifik tersebut. Forumnya bahkan lebih bergengsi, yakni di depan Sidang Majelis Umum PBB di New York, forum dimana Wakil Presiden Jusuf Kalla juga hadir dan berpidato.

Masih pada tahun yang sama,  Pelapor Khusus PBB bidang kebebasan berekspresi, Maina Kiai, juga menyinggung pembatasan hak berkumpul dan berserikat etnis Papua di Indonesia di depan sidang Dewan HAM PBB. Maina Kiai termasuk Pelapor Khusus PBB yang tidak diizinkan ke Indonesia.

Kiai  menganggap pembatasan kebebasan berekspresi merupakan bentuk fundamentalisme politik, yang  mengharuskan kepatuhan buta kepada platform politik resmi atau kesetiaan kepada para pemimpin tertentu.

Menurut dia, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tidak bisa diragukan adalah termasuk hak untuk berkumpul dan berorganisasi untuk tujuan politik. Di Papua tahun lalu, ratusan bahkan ribuan orang sempat ditahan oleh polisi setelah unjuk rasa damai.

Faktor ketiga yang membuat kunjungan Dainius Puras terasa semakin relevan karena ia datang ketika kebebasan pers, terutama kunjungan wartawan asing ke Papua, mengalami pembatasan. Beberapa hari lalu wartawan Prancis, Jack Hewson, mengatakan dirinya diblacklist oleh pihak imigrasi, tanpa alasan yang jelas. Kuat dugaan adalah karena rencana kunjungannya ke Papua. Pihak imigrasi mengatakan blacklist itu merupakan rekomendasi dari TNI.

Pekan lalu, dua wartawan Prancis, Jean Frank Pierre dan Basille Marie Longhamp, juga dideportasi dari Papua, yang oleh Human Right Watch dianggap sebagai pengingkaran terhadap janji Presiden Joko Widodo yang mengatakan wartawan asing bebas meliput di Papua.

Dua wartawan Prancis tersebut ditahan dan kemudian dideportasi dari Papua dengan alasan mereka membuat film dokumenter tanpa didukung oleh dokumen yang diperlukan dari instansi terkait. Padahal kedua jurnalis tersebut bekerja untuk Garuda Indonesia.

Keempat, kunjungan Dainius Puras semakin penting karena di Papua saat ini para aktivis HAM tengah membicarakan kontroversi kematian Maikel Merani dalam sebuah operasi kepolisian.

Versi resmi kepolisian mengatakan Maikel Merani adalah pimpinan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang sudah lama dicari polisi. Ia dikatakan ditembak karena melawan.

Namun versi keluarga dan cenderung diyakini oleh para aktivis HAM, ia tewas dieksekusi oleh aparat ketika berada di rumah mertuanya. Menurut saksi mata, Maikel Merani masih sempat menggendong anaknya sebelum polisi menyerbu rumahnya. Mereka juga bersaksi bahwa Maikel tidak memberikan perlawanan.

Para pemerhati HAM menilai dalih bahwa ia merupakan gembong KKB bukan alasan yang sahih untuk menghabisi nyawanya. Kini masyarakat di sekitar tempatnya tinggal diberitakan merasa tidak aman dan banyak yang belum berani kembali ke rumah.

Walaupun kunjungan Dainius Puras akan lebih fokus pada soal HAM dalam perspektif kesehatan, sulit membayangkan ia akan dapat menutup mata dan telinga terhadap kematian Mikael Merani yang kini menjadi sorotan para pemerhati HAM dan tampaknya juga akan menjadi perhatian dunia.

Lebih jauh, hal itu juga diyakini akan semakin membuka pintu bagi Puras untuk lebih dalam menelisik pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua yang selama ini terjadi.
 
Aktivis HAM dan Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, mengatakan kunjungan Pelapor Khusus PBB ke Papua kali ini harus disambut apa adanya dan tak perlu ditutup-tutupi.

Ia juga mengharapkan Pemerintah Indonesia dan pemerintah Provinsi Papua serta institusi keamanan setempat memberikan dukungan serta akses seluas-luasnya kepada Puras untuk dapat menjalankan tugasnya secara maksimal selama berada di Jayapura.

Ia mendesak agar rencana pertemuan Pelapor Khusus PBB tersebut dengan saksi, korban dan tokoh agama maupun organisasi masyarakat sipil dapat dilakukan secara damai tanpa intervensi pemerintah maupun institusi keamanan setempat.

Dia sendiri mengatakan akan turut menghadiri kunjungan Pelapor Khusus PBB tersebut dan memastikan kunjungan itu berlangsung dengan baik dan tanpa tekanan (intimidasi) dari manapun atau oleh siapapun.

Sangat disayangkan bila benar, bahwa kunjungan Puras ke Papua dibatasi hanya 24 jam. Padahal informasi awal mengatakan ia akan berada di Papua mulai 29 Maret hingga 31 Maret 2017.

Kendati demikian kita berharap Puras dalam waktu yang singkat itu,  dapat memotret dengan cermat situasi HAM di Papua.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home