Loading...
FLORA & FAUNA
Penulis: Dewasasri M Wardani 12:27 WIB | Rabu, 08 Mei 2019

Kura-kura Paruh Betet yang Kian Langka

Kura-kurah paruh betet (Leucocephalon yuwonoi). (Foto: profauna.net)

Kura-kurah paruh betet (Leucocephalon yuwonoi). (Foto:  profauna.net)

SATUHARAPAN.COM – Kura-kura paruh betet, atau kura- kura hutan sulawesi, mengutip dari umy.ac.id, termasuk salah satu dari tujuh jenis reptil paling langka yang terdapat di Indonesia. Kura-kura ini bahkan juga termasuk dalam daftar The World’s 25 Most Endangered Tortoises and Freshwater Turtles, 2011, yang dikeluarkan Turtle Conservation Coalition.

Organisasi perdagangan satwa dunia, CITES, juga memasukkan kura-kura hutan sulawesi dalam daftar CITES Apendix II. Dengan demikian perdagangan internasional kura-kura langka dan endemik Sulawesi ini, tidak diperbolehkan.

Kura-kura yang ditemukan pada tahun 1995 ini, mengutip dari uajy.ac.id, disebut kura-kura paruh betet karena bentuk mulutnya yang meruncing dan mirip dengan paruh burung betet. Dalam bahasa Inggris, kura-kura hutan sulawesi yang endemik Pulau Sulawesi ini disebut sebagai sulawesi forest turtle.  

Endemisme merupakan hal yang unik karena kura-kura ini tidak dapat ditemukan di regional lain. Kura-kura hutan sulawesi hanya ditemukan di Sulawesi.

Keberadaan kura-kura paruh betet  di alam terancam oleh hilangnya habitat alami mereka. Selain itu perdagangan juga turut menghapus keberadaan mereka dari bumi.

Morfologi Kura-kura Paruh Betet

Ciri-ciri kura-kura dan penyu secara umum, mengutip Wikipedia, adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk golongan reptil. Bangsa hewan yang disebut (ordo) Testudinata (atau Chelonians) ini khas dan mudah dikenali dengan adanya “rumah” atau batok (bony shell) yang keras dan kaku.

Batok kura-kura ini terdiri atas dua bagian. Bagian atas yang menutupi punggung disebut karapas (carapace) dan bagian bawah (ventral, perut) disebut plastron.

Setiap bagiannya, terdiri atas dua lapis. Lapis luar umumnya berupa sisik-sisik besar dan keras, dan tersusun seperti genting; sementara lapis bagian dalam berupa lempeng-lempeng tulang yang tersusun rapat seperti tempurung.

Kura-kura paruh betet, mengutip dari jenisfloraindonesia.web.id, memiliki ukuran kerapas sepanjang 28 hingga 31 cm untuk jenis jantan, dan ukuran 20 hingga 25 cm terdapat pada betina. Daerah sebarannya hanya terdapat di Pulau Sulawesi bagian utara.

Kura-kura paruh betet  yang merupakan hewan diurnal banyak menghabiskan waktu di hutan dan hanya berpindah ke air ketika malam untuk beristirahat dan melakukan perkawinan.

Kura-kura paruh betet , mengutip dari uajy.ac.id, mempunyai nama Latin Leucocephalon yuwonoi  yang bersinonim dengan Geoemyda yuwonoi dan Heosemys yuwonoi . Sebelumnya kura-kura hutan sulawesi digolongkan dalam genus Heosemys, tetapi sejak tahun 2000 kura kura ini dimasukkan dalam genus tunggal Leucocephalon.

Kata ‘yuwonoi’ dalam nama ilmiahnya merujuk pada Frank Yuwono, yang memperoleh spesimen pertama kura-kura paruh betet  ini di sebuah pasar di Gorontalo, Sulawesi.

Kura-kura hidup di berbagai tempat, mulai daerah gurun, padang rumput, hutan, rawa, sungai, dan laut. Sebagian jenisnya hidup sepenuhnya akuatik, baik di air tawar maupun di lautan. Kura-kura ada yang bersifat pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora), atau campuran (omnivora). Kura-kura tidak memiliki gigi. Akan tetapi perkerasan tulang di moncong kura-kura sanggup memotong apa saja yang menjadi makanannya.

Kura-kura berbiak dengan bertelur (ovipar). Sejumlah beberapa butir (pada kura-kura darat) hingga lebih dari seratus butir telur (pada beberapa jenis penyu) diletakkan setiap kali bertelur, biasanya pada lubang pasir di tepi sungai atau laut, untuk kemudian ditimbun dan dibiarkan menetas dengan bantuan panas matahari. Telur penyu menetas kurang lebih setelah dua bulan (50-70 hari) tersimpan di pasir.

Kura-kura termasuk salah satu jenis hewan yang berumur panjang. Reptil ini dapat hidup puluhan tahun, bahkan seekor kura-kura darat dari Kepulauan Seychelles tercatat hidup selama 152 tahun (1766 – 1918).

Kura-kura, mengutip Wikipedia, secara tradisional merupakan hewan yang akrab dengan manusia. Mitologi Hindu menyebutkan bahwa bumi ini disangga oleh empat ekor kura-kura. Demikian pula, kisah kuno Adiparwa menceritakan bahwa kura-kura raksasa berperan penting menyangga gunung, yang diputar dan digunakan untuk mengaduk lautan, dalam mencari tirta amerta air kehidupan.

Pada sisi yang lain, daging kura-kura dan penyu telah sejak lama dikenal sebagai makanan yang lezat. Beribu-ribu ekor labi-labi, kura-kura dan penyu, terutama penyu hijau, berakhir hidupnya setiap tahun di dapur restoran. Demikian pula nasib telur-telurnya, banyak yang akhirnya menjadi santapan manusia.

Di samping itu banyak jenis kura-kura yang ditangkapi untuk diperdagangkan sebagai hewan timangan (pet). Baik karena keindahan warnanya, keunikannya, atau ironisnya - kelangkaannya. Beberapa jenisnya dapat mencapai harga yang sangat mahal.

Tekanan yang tinggi dan terus-menerus ini, telah menurunkan banyak populasi kura-kura ke tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Apalagi kebanyakan habitat alaminya di sungai-sungai, rawa, dan hutan, juga telah turut rusak akibat aktivitas manusia.

Pada pihak lain, perkembangan populasi kura-kura amat lambat dan kebanyakan malah belum diketahui sifat-sifat dan kebiasaannya. Oleh sebab itu tindakan konservasi bagi hewan ini amat diperlukan.

Apa Upaya yang Dilakukan untuk Konservasi ?

Hasil penelitian yang diterbitkan jurnal Bioscience,  mengungkapkan 61 persen spesies kura-kura saat ini terancam punah atau bahkan sudah punah. Kura-kura menjadi bagian dari kelompok hewan di bumi yang paling terancam punah, lebih rentan dari burung, mamalia, ikan atau amfibi. Namun, krisis ini belum disadari atau bahkan tidak dihiraukan masyarakat.

“Menjadi tugas kita untuk memberitahu publik tentang peran penting kura-kura dalam ekologi global dan menaruh kepedulian terhadap hewan yang leluhurnya hidup berdampingan dengan dinosaurus ini,” kata Whit Gibbons, profesor ekologi Universitas Georgia, seperti dikutip Mother Nature Network, dan dilansir Antaranews. com pada (3/11/2017).

Kura-kura telah ada sejak 200 juta tahun lalu, tapi kondisinya semakin tergerus bahaya yang disebabkan oleh manusia, seperti hilangnya habitat, perburuan, perdagangan hewan, dan perubahan iklim. Salah satu alasan kura-kura begitu berpengaruh terhadap ekologi adalah sifatnya yang karnivora, herbivore, dan omnivora.

Keragaman cara makan itu mempengaruhi struktur komunitas biologis lain di habitat mereka. Misalnya, kura-kura laut yang melindungi rumput laut dan karang, atau kura-kura air tawar yang mengubah kondisi lingkungan seperti pH, akumulasi sedimen, dan asupan nutrisi bagi ekosistem perairan.

Kura-kura juga membantu penyebaran benih dan bahkan jadi penyebar utama sejumlah spesies tanaman. Kura-kura kotak di Amerika Utara, misalnya, adalah satu-satunya hewan penyebar biji tanaman mayapple.

Banyak kura-kura yang diburu untuk dimakan dan diperdagangkan sebagai peliharaan atau diambil tempurungnya. Polusi plastik di lautan juga menjadi ancaman. Kantong plastik yang mirip ubur-ubur sering dimakan kura-kura dan menyumbat sistem pencernaan mereka. Menurut sebuah penelitian pada 2018, setengah dari kura-kura laut di bumi pernah menelan plastik.

Populasi kura-kura paruh betet ini, mengutip dari uajy.ac.id, pada awal tahun 1990-an, sekitar 2.000 – 3.000 ekor diperkirakan diperdagangkan ke China sebagai bahan makanan. Selain itu kura-kura hutan sulawesi ini juga banyak diekspor ke Eropa dan Amerika sebagai hewan peliharaan.

Selain disebabkan perburuan, rusaknya habitat akibat kerusakan hutan seperti penebangan kayu komersial, pertanian skala kecil, dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit , juga menjadi ancaman bagi kelangsungan populasi kura-kura hutan sulawesi. Hal ini diperparah oleh rendahnya tingkat reproduksi kura-kura hutan sulawesi.

Upaya dalam konservasi kura-kura paruh betet, masih terlihat masih minim. Dzikri Ibnu Qayyim dari Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2018 meneliti perdagangan dan pemanfaatan kura-kura di Palu Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Ia ingin mengetahui perdagangan dan pemanfaatan kura-kura melalui wawancara ke mantan pemburu dan pedagang, kura-kura Cuora amboinensis, Leucocephalon yuwonoi, dan Indotestudo forstenii.

Pemanfaatan kura-kura di Sulawesi masih sering dilakukan oleh masyarakat, baik dijadikan hewan peliharaan, konsumsi, maupun untuk dijual. Jenis yang biasa ditangkap dan dijual kebanyakan jenis yang umum, yaitu Cuora amboinensis.  Sedangkan dua jenis endemic, yaitu Indotestudo forstenii dan Leucocephalon yuwonoi jumlahnya relatif sedikit.

Perdagangan kura-kura di Palu dan sekitarnya diawali dari masyarakat yang mendapatkan kura-kura dari alam lalu menjualnya ke penangkap/pengepul kecil di sekitar lokasi tempat tinggalnya. Mereka lalu menjual kura-kura ke pengepul besar di Palu, yang akan mengirim ke pengepul di Jawa.

Di Jawa, penjual akan mengedarkan kura-kura ke masyarakat (konsumen) atau diekspor. Ia menegaskan perlunya pembatasan pengambilan kura-kura dari alam, serta penutupan kuota tangkap dan ekspor.  

Masyarakat di Sulawesi Tengah perlu diberikan penyuluhan, agar ikut serta dalam melestarikan keberadaan kura-kura di alam. Ia juga menyarankan perbaikan dalam pengelolaan penangkaran.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home