Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 16:00 WIB | Senin, 14 Februari 2022

Larangan Berjilbab bagi Siswi di India Menjadi Perdebatan Keras

Larangan Berjilbab bagi Siswi di India Menjadi Perdebatan Keras
Pelajar perempuan India yang dilarang memasuki ruang kelas mereka karena mengenakan jilbab, berbicara dengan kepala sekolah mereka di luar sekolah di Udupi, India, hari Jumat, 4 Februari 2022. (Foto-foto: Bangalore News via AP)
Larangan Berjilbab bagi Siswi di India Menjadi Perdebatan Keras
Orang tua siswa India yang dilarang masuk ke ruang kelas mereka karena mengenakan jilbab, berdebat dengan seorang petugas polisi di luar gedung kampus di Udupi, India, Jumat, 4 Februari 2022.

NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Bulan lalu para siswa sekolah khusus perempuan di India dilarang memasuki ruang kelas mereka dan diberitahu untuk tidak mengenakan jilbab, pakaian yang digunakan oleh perempuan Muslim, namun mereka mulai berkemah di luar sekolah sebagai protes.

Kisah itu banyak diunggah di internet, menarik perhatian kru berita ke depan sekolah yang dikelola pemerintah di distrik Udupi, di negara bagian Karnataka, India selatan.

Para siswa mulai memprotes di luar gerbang sekolah dan duduk berkelompok, membaca pelajaran mereka. Staf sekolah, yang mengatakan para siswa menentang aturan seragam, tetap bergeming dengan aksi para siswi itu.

Sebulan kemudian, lebih banyak sekolah mulai menerapkan larangan serupa terhadap jilbab, memaksa pengadilan tinggi negara bagian untuk turun tangan. Pengadilan akan mendengarkan petisi yang diajukan oleh para siswa yang memprotes pada hari Selasa (8/2) dan memutuskan apakah akan membatalkan larangan tersebut.

Namun kebuntuan yang tidak nyaman itu telah menimbulkan ketakutan di kalangan mahasiswa Muslim di negara bagian itu yang mengatakan bahwa hak-hak beragama mereka dirampas. Pada hari Senin (7/2), ratusan dari mereka, termasuk orang tua mereka, turun ke jalan menentang pembatasan, menuntut siswa harus diizinkan untuk menghadiri kelas bahkan jika mereka mengenakan jilbab.

“Apa yang kita saksikan adalah bentuk apartheid agama. Keputusan itu diskriminatif dan secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan Muslim,” kata A H Almas, seorang mahasiswa berusia 18 tahun yang telah menjadi bagian dari protes selama berminggu-minggu.

Sejauh ini beberapa pertemuan antara staf, perwakilan pemerintah dan mahasiswa yang memprotes gagal menyelesaikan masalah tersebut. Menteri pendidikan negara bagian, B C Nagesh, juga menolak untuk mencabut larangan tersebut. Dia mengatakan kepada wartawan pada hari Minggu (6/2) bahwa "mereka yang tidak mau mengikuti aturan berpakaian seragam dapat mencari pilihan lain."

Bagi banyak perempuan Muslim, jilbab adalah bagian dari keyakinan Islam mereka. Selama beberapa dekade menjadi sumber kontroversi di beberapa negara barat, khususnya di Prancis, yang pada tahun 2004 melarangnya dipakai di sekolah umum.

Tetapi di India, di mana penduduk Muslim hampir 14% dari hampir 1,4 miliar penduduk negara itu, itu tidak dilarang dan juga tidak dibatasi penggunaannya di tempat-tempat umum.

Faktanya, perempuanyang mengenakan hijab adalah pemandangan umum di India, dan bagi banyak dari mereka, hijab melambangkan identitas agama dan merupakan masalah pilihan pribadi.

Karena debat melibatkan dugaan bias atas item agama yang dikenakan untuk menutupi rambut dan menjaga kesopanan, beberapa aktivis hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan bahwa keputusan tersebut berisiko meningkatkan Islamofobia.

Kekerasan dan ujaran kebencian terhadap Muslim meningkat di bawah partai nasionalis Hindu pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, yang juga memerintah negara bagian Karnataka.

“Memilih hijab untuk dikritik itu tidak adil dan diskriminatif. Mereka yang menentangnya tercatat mencela sekularisme, dan secara terbuka mendukung mayoritarianisme,” kata Zakia Soman, pendiri kelompok perempuan Muslim, Bharatiya Muslim Mahila Andolan.

Yang lain berpendapat itu menegaskan potensi isolasi dan marginalisasi Muslim di mana Modi dan partai nasionalis Hindunya perlahan-lahan mengisolasi mereka. Itu menambah kegelisahan yang sudah tumbuh dirasakan oleh komunitas minoritas, di negara multikultural yang memiliki jaminan kebebasan beragama yang diabadikan dalam konstitusinya.

“Apa yang kami lihat adalah upaya untuk membuat perempuan Muslim tidak terlihat dan mendorong mereka keluar dari ruang publik,” kata Afreen Fatima, seorang aktivis mahasiswa yang berbasis di New Delhi. Dia mengatakan larangan itu adalah puncak dari iklim kebencian yang berkembang terhadap Muslim “yang sekarang telah memanifestasikan dirinya di dunia fisik.”

Protes telah menuai kecaman publik, dengan tagar #HijabIsOurRight beredar luas di media sosial, tetapi juga menyebabkan penolakan yang agak tidak terduga.

Selama sepekan terakhir, beberapa siswa Hindu di negara bagian itu mulai mengenakan selendang berwarna kunyit, simbol kelompok nasionalis Hindu. Mereka juga meneriakkan pujian kepada dewa-dewa Hindu, sambil memprotes pilihan penutup kepala gadis-gadis Muslim. Ini menandakan garis patahan agama yang berkembang di India dan ketegangan pahit antara mayoritas Hindu di negara itu dan minoritas Muslim yang besar.

Peristiwa tersebut telah mendorong pemerintah negara bagian untuk melarang pakaian yang dikatakan "mengganggu kesetaraan, integritas dan ketertiban umum" dan beberapa sekolah menengah mengumumkan hari libur untuk menghindari masalah komunal.

Pada hari Senin salah satu sekolah menyerah sebagian dan mengizinkan siswa Muslimnya untuk menghadiri kelas dengan jilbab tetapi mereka harus duduk di ruang kelas yang terpisah. Langkah itu dikritik habis-habisan, dengan mahasiswa Muslim menuduh staf memisahkan mereka atas dasar keyakinan.

“Ini memalukan,” kata Almas. “Sampai kapan kita akan menerima bahwa warga negara bisa distigmatisasi karena agamanya?” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home