Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 18:01 WIB | Rabu, 22 Maret 2017

LSM Minta Pemerintah Hentikan Swastanisasi Air

LSM Minta Pemerintah Hentikan Swastanisasi Air
Pekerja India membawa galon air minum untuk didistribusikan ke temapat makan di Agartala pada 21 Maret 2017 jelang Hari Air Dunia pada 22 Maret. (Foto-foto: AFP)
LSM Minta Pemerintah Hentikan Swastanisasi Air
Seorang wanita berjalan di dekat lukisan di tembol yang berisi pesan untuk menyelamatkan air di Mumbai pada 22 Maret 2017 di Hari Air Sedunia.
LSM Minta Pemerintah Hentikan Swastanisasi Air
Pengemudi truk mengambil air langsung dari sungai Nil pada 21 Maret 2017 untuk didistribusikan ke warga untuk kebutuhan air minum di Juba, Sudan Selatan.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setiap tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Pada perayaan Hari Air 2017, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) masih mendapati fakta tentang buruknya akses masyarakat pesisir terhadap air bersih. Akibatnya, masyarakat pesisir yang tinggal di 10.666 desa pesisir harus mengeluarkan biaya besar sekedar untuk mengonsumsi air bersih. 

KIARA menilai adanya privatisasi air telah melanggar norma hak atas air yang seharusnya dapat diakses setiap warga dan masyarakatlah yang merasakan dampak langsung. Selain itu swastanisasi pengelolaan air menciptakan diskriminasi dan ketidakadilan akses bagi masyarakat miskin karena pelayanan yang buruk dan kualitas air yang rendah.

Mengutip laporan FAO tahun 2012 dimana memperkirakan kebutuhan tiap orang terhadap air minum bersih sebanyak 2-4 liter per hari. Di sisi lain, untuk memproduksi makanan satu orang per hari membutuhkan air sebanyak 2.000-5.000 liter. 

Tiga perempat dari permukaan bumi ditutupi dengan air. Namun 98 persen adalah air asin dan tidak bisa di konsumsi. Kurang dari 1 persen dari semua air di bumi adalah air tawar yang dapat dikonsumsi manusia.

"Air bersih adalah hak dasar warga negara seperti yang tertuang pada Pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Namun yang terjadi adalah privatisasi, minimnya sarana pelayanan dan buruknya kualitas lingkungan di kampung-kampung nelayan membuat masyarakat pesisir harus membeli air bersih tiap hari," kata Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA, Arman Manila melalui rilis yang diterima di Jakarta hari Rabu (22/3).

Fakta yang diperoleh KIARA, di kampung nelayan Muara Baru dan Marunda, Jakarta Utara, untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak, keluarga nelayan harus membayar sebesar Rp 10.000 untuk mendapatkan air bersih sebanyak 100 liter tiap harinya. Padahal, penghasilan mereka hanya Rp 25.000/hari atau Rp 750.000 dalam sebulan. 

Hal yang sama pun dialami oleh keluarga nelayan di Gresik, Jawa Timur, mereka harus menyiapkan biaya sebesar Rp15.000 dari kisaran pendapatan sebesar Rp 20.000 - Rp 40.000/hari untuk 100 liter air bersih. Demikian pula keluarga nelayan di Bengkalis, Kepulauan Riau. Setiap keluarga nelayan harus mengalokasikan minimal Rp 8.000 dari kisaran pendapatan sebesar Rp 20.000–Rp 50.000/hari untuk mendapatkan 30-liter air bersih. 

Di Jakarta, Pemprov malah memberikan solusi palsu terhadap gagalnya pengelolaan air Jakarta melalui proyek pembuatan tanggul raksasa "Giant Sea Wall" dan tetap membangun 17 pulau palsu. Proyek Giant Sea Wall dan reklamasi pantai utara Jakarta diklaim sebagai solusi untuk mengatasi banjir sekaligus menyediakan sumber air baku bagi layanan air warga Jakarta. Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan fakta bahwa reklamasi akan merampas 25.000 kepala keluarga masyarakat pesisir di Teluk Jakarta. Proyeksi menahan gelombang laut yang masuk ke wilayah daratan sekaligus menampung limpahan air sungai melalui proyek normalisasi sungai bukan solusi yang dapat mengembalikan hak masyarakat pesisir atas air bersih. 

"Air seharusnya untuk rakyat. Masyarakat tidak butuh solusi palsu dari pemerintah, baik melalui reklamasi atau pun privatisasi air. Negara bertanggung jawab, menjamin hak serta akses masyarakat pesisir atas air bersih dan tidak lagi meneruskan kegagalan pengelolaan air untuk rakyat melalui solusi-solusi palsu," kata Susan Herawati, Deputi Pengelolaan Program KIARA.

Sebagaimana diketahui, 20 tahun pengelolaan air di Jakarta saat ini dikuasai oleh pihak swasta yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta (AETRA).

PALYJA menguasai pengelolaan air di wilayah Barat dan Utara Jakarta, sementara AETRA menguasai pengelolaan air di wilayah Timur dan Selatan Jakarta.

Putusan Gugatan Warga Negara tertanggal 24 Maret 2015 memutuskan bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) privatisasi air Jakarta adalah perbuatan melawan hukum sekaligus melanggar norma hak atas air.

Olehnya, KIARA mendesak Pemerintah untuk menghentikan praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya air yang berpotensi mendiskriminasi pemenuhan hak dasar warga negara, termasuk masyarakat pesisir.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home