Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 17:14 WIB | Jumat, 17 Juni 2016

Luhut Ajak Pendeta Papua Dukung Pemerintah Picu Pro-Kontra

Menkopolhukam Luhut pandjaitan dalam pertemuan dengan tokoh gereja di Papua (Foto: detik.com)

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Di antara kunjungannya ke Papua dalam dua hari belakangan ini, Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan, bertemu dengan sejumlah pendeta dari gereja-gereja di wilayah tersebut. Menurut keterangan beberapa pendeta yang hadir di acara pertemuan, Luhut antara lain meminta agar para pendeta mengkhotbahkan hasil-hasil pembangunan di Papua.

"Luhut arahkan para pendeta untuk khotbahkan di jemaat semua kemajuan pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah RI di Papua," demikian salah satu bunyi SMS dari mereka yang menghadiri pertemuan, yang diterima oleh satuharapan.com.

Media online Papua, kabarpapua.com, melaporkan hal yang kurang lebih serupa. Dikatakan, Menkopolhukam  meminta para pendeta di Papua turut aktif mendukung pemerintah menyukseskan pembangunan di berbagai aspek.

“Saya berharap kepada pendeta jangan berhenti untuk melihat dan membantu serta ikut aktif dalam program pembangunan seperti pembangunan sekolah pola asrama dan pendeta harus punya peranan,” kata Luhut saat tatap muka dengan tokoh agama se-Provinsi Papua di Sasana Krida, Kantor Gubernur Papua, Kota Jayapura, kemarin (16/6), seperti dilaporkan oleh kabarpapua.com.

Menurut Luhut, pemerintah pusat telah memberikan dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2001 lalu yang masih akan terus ditingkatkan. Dalam program ini, kata Luhut, pendeta dilibatkan untuk ikut mengawasi, seperti penggunaan dana desa, pembangunan infrastruktur dan pendidikan.

“Presiden (Joko Widodo) telah menyampaikan bahwa gereja harus terlibat aktif untuk pendidikan dan terlibat aktif dalam kesehatan. Nah, sekarang gereja bisa tidak menyiapkan diri, sebab nantinya kami akan libatkan bapak-bapak pendeta,” jelas Luhut.

Ada yang Skeptis, Ada yang Senang

Menanggapi ajakan ini, sejumlah pendeta justru memberikan komentar skeptis. Dalam pertemuan itu, menurut sebuah sumber, dua orang pendeta yang hadir berbicara dan memberikan tanggapan yang cukup pedas. Menurut penanggap tersebut, pemerintah tidak boleh melakukan cuci tangan dari masalah yang dilakukan Indonesia di Papua dengan memakai pendeta.

Mereka juga meminta Menkopolhukam agar tidak "bicara lain main lain," dalam arti berjanji menegakkan HAM tetapi terus menangkapi dan menghalangi kebebasan berekspresi. Tanggapan mereka itu, menurut yang hadir, mendapat sambutan tepuk tangan yang luas.

Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan pendeta Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Karel Phil Erari yang tidak turut pada pertemuan itu, memberikan komentar yang sama skeptisnya ketika kepadanya dimintai pendapat. "Itu bukan imbauan yang tepat," kata Phil Erari lewat sambungan telepon kepada satuharapan.com hari ini (17/6).

"Yang perlu dikhotbahkan oleh pendeta adalah agar negara  mengakhiri berbagai aktivitas pelanggaran HAM yang sudah berlangsung selama 53 tahun. Itu yang harus dikatakan gereja, bahwa akar persoalan rakyat Papua dan ketidak percayaan kepada pemerintah pusat, adalah karena pelanggaran HAM yang tidak pernah selesai. Tidak ada proses bagi pelanggar HAM. Walaupun ada proses tetapi tidak adil, bahkan mereka yang terindikasi terlibat dipromosikan," kata Phil Erari.

Ia mencontohkan, oknum aparat yang menculik dan membunuh Theys Eluay, pemimpin rakyat Papua yang terbunuh pada tahun 10 November 2001,  justru sekarang dipromosi menjadi pejabat penting di TNI Angkatan Darat.

"Jadi itu hal-hal yang oleh rakyat dilihat perlu dikoreksi," kata dia.

Menurut Phil Erari, pembangunan yang berlangsung selama Otsus sangat diskriminatif,  tidak berpihak kepada hak-hak dasar orang Papua. Dulu, kata dia,  karena rakyat Papua ingin merdeka, presiden kala itu, B.J. Habibie, menawarkan Otsus.

"Tetapi di era Otsus pun terjadi pelanggaran HAM  sampai hari ini. Oleh karena itu kegagalan pembangunan di Papua sudah disampaikan oleh gereja-gereja kepada presiden SBY, sehingga perlu ada reformasi terhadap arah pembangunan di Papua," kata Phil Erari.

Di antaranya yang perlu direformasi, menurut dia, adalah perlunya affirmative policy atau keberpihakan kepada rakyat Papua.

Selain itu kata Phil Erari, diperlukan juga proteksi terhadap hak-hak dasar orang Papua untuk mendapatkan pendidikan dari pemerintah dan hak ke pelayanan medis yang baik yang berkualitas.

"Itu semua tidak terpenuhi selama 15 tahun Otsus. Karena itu imbauan Luhut tadi baru satu aspek pembangunan. Fisik mungkin oke, tetapi untuk siapa kalau bukan pro rakyat. Jadi pembangunan harus menjawab hak dasar orang Papua. Fisik ya, tetapi tidak membangun kebutuhan rakyat Papua keseluruhan," lanjut Phil Erari.

Phil Erari menambahkan, dengan terbukanya Papua untuk migrasi spontan, terjadi ketidakseimbangan demografi saat ini. Ia mengatakan rakyat pendatang jauh lebih banyak dari orang Papua. Ini berdampak pada situasi ekonomi dimana pendatanglah, menurut dia, yang menguasai sektor ekonomi.

"Rakyat Papua tidak bisa berkompetisi. Oleh karena itu kami akan bertemu Jokowi, menceritakan perlu suatu tindakan yang luar biasa terhadap Papua," kata dia.

Suara skeptis juga datang dari Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua. Menurut dia, ajakan Luhut itu menimbulkan dilema bagi para pendeta, apalagi yang melayani gereja yang jemaatnya adalah entis asli Papua.

"Saya kira pesan dari Pak Luhut sulit tembus ke komunitas basis yang kebanyakan orang asli Papua. Kalau warga jemaatnya terdiri dari orang-orang berada, yang nikmati proyek-proyek pembangunan yang Pak Luhut angkat dalam pertemuan ini, pasti pendetanya bisa enak menyampaikannya kepada jemaatnya.Tetapi kalau warga jemaatnya orang Papua yang menolak Otsus agak sulit pendetanya teruskan pesan-pesan Pak Luhut," kata Benny.

"Bila bicara demikian, gereja yang jemaatnya merasa korban dan tidak mendapat apa-apa dari Otsus atau dana triliunan, pendetanya bisa langsung diusir," tambah Benny.

Sementara itu Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Papua, Pendeta Lipius Biniluk, menyambut baik ajakan Luhut. Dia berharap pemerintah mempercayakan gereja menjadi motor penggerak pembangunan di Papua. Karena para pendetalah yang hidup bersama dengan masyarakat di daerah pedalaman Papua.

Mantan Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) itu mengapresiasi kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan kesempatan kepada gereja-gereja di Papua ikut menjadi pelaku pembangunan.

"Pertemuan ini sangat baik supaya Jakarta juga tahu kondisi Papua sebenarnya, karena selama ini orang-orang di Jakarta tidak tahu permasalahan yang terjadi di Papua, mereka hanya tahu luarnya saja. Jadi dialog dengan para pendeta itu sangat perlu untuk membuka kondisi Papua sebenarnya," kata dia, sebagaimana dilaporkan oleh detik.com.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home