Loading...
ANALISIS
Penulis: Hananto Kusumo 18:44 WIB | Kamis, 24 Juli 2014

Lumpuhnya Efek Kampanye Hitam

Ilustrasi.

SATUHARAPAN.COM – Kampanye hitam, yang berisi propaganda negatif yang tidak berdasarkan fakta (merupakan fitnah), sudah merupakan fenomena sejak zaman dahulu. Kampanye hitam dialami oleh nabi Nuh, dituduh gila oleh lingkungannya karena membuat kapal di saat kering. Yesus Kristus (Isa al-Masih) mengalaminya sepanjang hidup. Ia dituduh lahir sebagai ‘anak zina’ karena ibunya mengandung sebelum bersuami (padahal ia mengandung karena Roh Allah).

Ketika Yesus diadili dan disalibkan, orang-orang Yahudi dihasut para imam dengan mengampanyekan bahwa Yesus hendak meruntuhkan Bait Allah dan melawan Kaisar karena memproklamasikan “Kerajaan Allah”, sehingga mereka ramai-ramai berseru “salibkanlah dia!”. Ketika Yesus yang sudah mati disalibkan ternyata bangkit kembali, oleh para imam Yahudi jenazah-Nya pun diisukan dicuri oleh para murid Yesus.

Beberapa dekade kemudian para murid-Nya diisukan oleh Kaisar Nero sebagai pembakar kota Roma. Namun ketika kebenarannya terkuak maka kampanye hitam itu pun menjadi bumerang bagi Nero, ia dilengserkan oleh rakyatnya sendiri. Dan pengikut Yesus tersebar ke seluruh dunia.

Demikian pula Nabi Muhammad S.A.W. menghadapi kampanye hitam saat mewartakan Tauhid, Sidharta Gautama menghadapi kampanye hitam setelah menerima wahyu (bodhi), Konfusius bahkan dianggap sebagai orang aneh bahkan hingga akhir hidupnya. Namun pengaruh kesaksian mereka semua mendunia.

Kampanye hitam juga menjadi hal yang lumrah dalam dunia politik di seluruh dunia, seperti di Amerika Serikat, Afrika Selatan, Myanmar, hingga Indonesia. Dalam kasus pilpres yang baru lalu, capres terpilih Joko Widodo tak hentinya didera fitnah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam, seperti ‘capres boneka’, ‘korupsi bus trans-Jakarta’, ‘anti tunjangan sertifikasi guru’, serta yang bernuansa SARA seperti orang ‘Tionghoa Singapura Katolik’, hingga kampanye hitam ala Orde Baru yakni ‘komunis’. Fitnah melalui tabloid “Obor Rakyat” itu berlanjut di media jejaring sosial.

Lantas mengapa kampanye hitam tetap dipakai? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, kampanye hitam cara yang efisien. Di era demokrasi langsung serta transparansi yang menyulitkan “money politis”, (melalui ‘serangan fajar’ alias penyebaran amplop berisi uang) maka kampanye hitam ialah cara yang paling murah dan mudah, apalagi kalau berita itu secara berantai disebarkan melalui media sosial atau maya (melalui internet/gadget). Dalam kompetisi head to head (hanya ada dua pasang kandidat) maka lebih mudah mencegah orang memilih salah satu, maka hampir dipastikan dia memilih lawannya. Konon berita buruk berkembang 11 X lebih cepat dibandingkan berita baik.

Alasan yang kedua, kampanye hitam dianggap efektif untuk menghasilkan perubahan. Alasan ini bukan tanpa dasar. Kampanye hitam umumnya memang mampu menghasut orang banyak, sehingga berdampak nyata. Dalam kasus Jokowi, terbukti dengan terus merosotnya elektabilitas Jokowi seiring dengan terus beredarnya kampanye hitam terhadap Jokowi, terutama melalui edisi-edisi tabloid “Obor Rakyat”.

Namun ternyata efektivitas kampanye hitam itu akhirnya lumpuh, sifatnya hanya sementara. Jokowi akhirnya menang mutlak. Demikian pula umumnya para pemimpin lainnya. Polanya jelas, ibaratnya jika kontestasi dalam pemilu itu sempat dianalogikan dengan perang, maka kampanye hitam hanya “memenangkan pertempuran”, namun “bukan memenangkan perang”.

Kenapa pada akhirnya kampanye hitam tidak efektif? Jawabannya dapat ditelusuri dari dua sisi: religius dan sosiologis. Dari sisi religius, Tuhan diyakini membela pihak yang benar. Pihak yang berdusta, apa pun keyakinan/aliran politiknya, harus berhadapan dengan Tuhan. Tuhan akhirnya menunjukkan solidaritas-Nya pada yang tertindas. Dari sisi sosiologis, akhirnya akan muncul yang namanya ‘efek pantul’. Orang yang tampak difitnah dan dizalimi akan mendapat simpati dari masyarakat, lebih-lebih dalam kultur politik di Indonesia, seperti yang tampak dialami oleh PDIP di awal reformasi serta SBY sebelum berkuasa. Akumulasi ‘aniaya’ justru memunculkan efek pantul berupa gerakan rakyat, sejak kesadaran fitnah-fitnah itu timbul, seperti dalam revolusi rakyat Roma terhadap Kaisar Nero, revolusi people power di Filipina tahun 1986, hingga revolusi rakyat saat reformasi di Indonesia tahun 1998.

Dalam Pilpres 2014, akumulasi gerakan rakyat yang gemas ini tampak dari derasnya partisipasi relawan serta rakyat dalam dukungan dana kampanye kepada Jokowi-JK dan gempitanya konser dua-jari di Gelora Bung Karno. Sejak peristiwa itu elektabilitas Jokowi-JK yang sempat terus menurun, kembali naik sesuai ‘efek pantul’ tersebut.

Selain itu, masih secara sosiologis, ketika kebenaran kampanye hitam itu terkuak, maka timbullah ketidakpercayaan masyarakat terhadap apa pun yang disuarakan pihak yang diuntungkan dengan kampanye hitam itu. Dalam kasus Obor Rakyat, andai pun bukan kubu Prabowo-Hatta yang melakukan kampanye hitam, namun dengan Prabowo membiarkan Obor Rakyat maka rakyat langsung mengasumsikan mereka terlibat dalam kampanye hitam Obor Rakyat, apalagi ia juga menyuarakan kampanye negatif lainnya. Kampanye hitam ini mendelegitimasi apa pun yang diklaim oleh pihak yang melakukan kampanye hitam, benar atau pun salah.

Ketika Prabowo (tanpa Hatta) mengumumkan keputusan pihaknya untuk menarik diri dari pilpres terkait banyaknya kecurangan yang sistematis, maka sebagai efek dari akumulasi kampanye hitam, sebagian besar rakyat sudah menganggap alasan yang dikemukakannya sebagai angin lalu. Tidak sedikit yang menuduh “Yang curang mereka sendiri.”

Apalagi hingga lebih dari tiga hari setelah Pilpres mereka tidak memasalahkan proses Pilpres itu. Padahal mungkin saja ada sebagian kecil masalah yang dikatakan Prabowo benar, misalnya ada sejumlah ketidakberesan akibat tidak jelasnya DPT dan pemilih tambahan di sejumlah daerah, sekalipun KPU telah melakukan sejumlah terobosan berarti seperti transparansi rekapitulasi yang didata secara online. Kritik Prabowo mungkin saja berguna untuk menyempurnakan penyelenggaraan Pemilu di masa mendatang, namun suaranya menjadi tak bergema karena ganasnya “bumerang kampanye hitam”. Senjata makan tuan.

Oleh karena itu untuk ke depan dapat kita camkan “Orang pintar tak lakukan kampanye hitam!

Hananto Kusumo adalah pendeta, penulis, dan pengajar, tinggal di Salatiga.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home