Loading...
HAM
Penulis: Dewasasri M Wardani 07:38 WIB | Sabtu, 08 Desember 2018

Mahasiswa Bandung Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kelompok mahasiswa, pers mahasiswa, dan aktivis di Bandung berdeklarasi mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang saat ini mandek di DPR, Rabu, 5 Desember 2018. (Foto voaindonesia.com/Rio Tuasikal)

BANDUNG, SATUHARAPAN.COM –Puluhan mahasiswa di Bandung, Jawa Barat, mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). RUU ini masih mandek di DPR di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Padahal aturan ini dinilai dapat ikut mendorong pencegahan terjadinya kekerasan seksual dan sekaligus menimbulkan efek jera bagi pelaku.

“Kami bersolidaritas untuk Agni di Yogyakarta, bu Nuril di Mataram, Anindya Sabrina di Surabaya, DK-CL-AS-DB di UIN Bandung, dan seluruh korban kekerasan seksual baik di kampus, tempat kerja, dan di mana pun. Stop kekerasan seksual, sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ikrar puluhan mahasiswa, anggota pers mahasiswa, dan aktivis di Kaka Kafe, pada Rabu (5/12) sore.

RUU P-KS: Payung Hukum Penghentian Kekerasan Seksual

Aktivis Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika, dalam deklarasi itu, mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU P-KS. Sebab belum ada payung hukum yang mengatur kekerasan seksual secara komprehensif.

“Sangat sulit walaupun sudah digagas dari 10 tahun yang lalu prolegnas 4 tahun yang lalu. Padahal angka kekerasan seksual tidak pernah turun menurut catatan Komnas Perempuan. Jadi secara yuridis kita memang butuh payung hukum,” katanya.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dari tahun ke tahun. Dari 279.688 (2013), naik ke 293,220 (2014), 321.752 (2015), turun ke 259.150 (2016), dan kembali naik ke 348.446 (2017). Berdasarkan angka 2017, kekerasan paling menonjol adalah kekerasan di ranah personal, dan tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan seksual selama ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), namun hanya meliputi pencabulan dan pemerkosaan. Ika mengatakan masih banyak yang belum diatur kitab itu, misalnya pelecehan seksual di kampus. Sehingga banyak kasus tidak bisa masuk ke ranah hukum.

Sementara itu, dalam RUU P-KS ada sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur spesifik. Hal ini meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

Guna mendorong pengesahan itu, sejumlah kelompok masyarakat sipil akan menggelar aksi pada Sabtu (8/12) di sejumlah kota. Di Jakarta, aksi akan digelar dari Jl Thamrin dan berpawai ke Taman Aspirasi di seberang Istana Merdeka.

​Kampus di Bandung Juga Rawan Pelecehan Seksual

Kekerasan seksual kembali jadi sorotan setelah terkuaknya pelecehan yang menimpa Agni, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Kelompok mahasiswa di Bandung, Jawa Barat, pun belum lama ini mengungkap kasus serupa di Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, dan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Lembaga Pers Mahasiswa Suaka UIN Bandung, pada April 2018 menurunkan laporan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi. Tiga narasumber laporan ini mengaku dilecehkan oleh dosen dengan modus akademik saat membahas nilai, perbaikan nilai, dan bimbingan skripsi. Dosen itu hingga kini masih tetap mengajar di UIN tanpa ada teguran berarti.

Sementara Media Parahyangan Unpar menerbitkan majalah edisi 2017-2018,  yang mengungkap pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi di dalam dan sekitar kampus. Beberapa modusnya antara lain pura-pura menanyakan alamat lalu menunjukkan alat kelamin, atau menyentuh bagian tubuh tanpa persetujuan. Ada pula kasus mahasiswi yang dipermainkan oleh petugas parkir kampus. Pegawai tersebut sudah dipecat oleh universitas.

Organisasi pencegah kekerasan seksual di Bandung, Samahita, mengatakan pelecehan seksual di kampus mulai marak.

Ketua Samahita, Ressa Ria Lestari, mengatakan pelecehan ini dilakukan oleh profesional pelaku yang menggunakan kedudukannya untuk melakukan pelecehan seksual terhadap korban yang lebih lemah posisinya. Dia mencatat, berdasarkan aduan yang masuk, para pelaku bisa jadi dosen, alumni, senior, atau ketua himpunan.

“Ini juga yang susah karena posisi sebagai profesional pelaku ini yang akhirnya malah bikin posisi korban lebih lemah lagi. Karena (pelaku) dilihat sebagai sosok, bahkan ada yang beberapa yang sampai dikultuskan di kampus itu. Akhirnya korban ketika mau speak up susah banget dapat kepercayaan bahwa dia mengalami itu,”katanya.

Warga Kampus Berharap RUU P-KS Dapat Seret Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus

Ironisnya, baik UIN Bandung dan Unpar tidak menindaklanjuti temuan ini, dengan membangun sistem perlindungan bagi para korban atau mahasiswa secara keseluruhan.

Redaktur Pelaksana Media Parahyangan Ranessa Nainggolan mengatakan, isu kekerasan seksual ini bahkan mulai tidak diperhatikan di kampusnya.

“Dari majalah ini sebenarnya sudah mulai banyak korban yang mulai menyuarakan pernah mengalami pelecehan seksual. Sangat disayangkan, sih, kita publish majalah sudah sampai situ saja, dan setelahnya langsung hilang,” kata  mahasiswa Hubungan Internasional ini.

Mutiara Ika mengatakan,  pelaku pelecehan seksual di kampus bisa diseret ke ranah hukum jika RUU P-KS sudah disahkan. Aturan ini juga akan mengedukasi masyarakat bahwa kekerasan seksual bukanlah aib.

“Ketika teman-teman bicara situasi di kampus bagaimana dosen yang pelaku (pelecehan seksual ini) ini sangat lama ngendon nggak keluar (dari universitas). Perspektif bagaimana melihat pelecehan seksual sebagai aib tidak hanya di kampus tapi juga di parlemen,” katanya. (voaindonesia.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home