Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 04:09 WIB | Minggu, 26 Februari 2017

Mendengarkan dan Berbicara dengan Hati

Berbicaralah dengan cara yang membuat orang senang mendengarkan, sebaliknya mendengarlah dengan cara yang membuat orang senang berbicara.
Komunikasi antarhati (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Suka berbicara adalah kebiasaan yang menyenangkan karena mudah membawa suasana, baik sukacita, muram, bersemangat, apa pun, tergantung ke mana pembicaraan dibawa. Orang yang senang bercerita sering kali menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada karena dialah yang akan mengawali dan menguasai topik  pembicaraan. Kata-katanya akan diingat mereka yang berada bersamanya karena ia yang banyak mengemukakan pendapat ketimbang mereka yang memilih diam. Suka bercakap, banyak baiknya.

Namun jika memang demikian, mengapa ada pepatah speaking is silver, silence is golden?

Apakah benar bahwa berbicara itu baik, tetapi lebih baik lagi memilih diam? Anda mungkin akan berkata: ya dan tidak. Dan mungkin itu tepat. Sebagai Homo sapiens ’manusia bijak’, setiap insan akan mampu membedakan situasi di mana sebaiknya bicara, juga suasana di mana sebaiknya bercakap.

Ketika berhadapan dengan masyarakat yang ingin mendengar pemimpinnya berpendapat, tentu sebaiknya Sang Pemimpin berbicara karena bagi masyarakat yang dipimpin, pembicaraan pemimpinnya adalah gagasan paling jitu yang memberikan arahan bagi pelaksananya .

Situasi lain, di mana berbicara itu baik, adalah ketika sebuah kelompok mulai menunjukkan pola pikir yang menyimpang dari kebenaran atau dari prinsip moral. Mereka yang memilih diam dalam keadaan demikian sama saja dengan membiarkan pola pikir salah itu semakin mengembang dan semakin menguasai situasi. Ada pepatah ”sebuah negara bisa hancur bukan karena banyaknya orang jahat, melainkan karena banyaknya orang baik yang memilih diam.”

Hal yang sama berlaku bagi komunitas yang lebih kecil: sebuah keluarga, sebuah perusahaan, sebuah kampung, sebuah kota, sebuah provinsi.  Memilih diam ketika sesungguhnya ada peluang untuk perbaikan jika berbicara tentu sulit dibenarkan.

Lalu kapan saatnya diam? Ungkapan ”kita diberikan satu mulut dan dua telinga agar kita lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara” mestinya ada benarnya. Orangtua yang telah membesarkan anak dengan seimbang pasti paham betapa seringnya seorang anak hanya butuh didengarkan.

Demikian pula seorang pemimpin yang baik akan tahu kapan ia harus mendengarkan. Dan jika dikatakan mendengarkan, berarti bukan hanya dengan telinga yang terbuka, namun dengan hati terbuka pula. Percayakah Anda bahwa Anda sungguh-sungguh sedang didengarkan ketika pemimpin Anda duduk di seberang Anda dengan gawainya bolak-balik berdering di tangannya dan setiap saat perhaitannya teralihkan dengan memandang ke arah gawainya ingin tahu siapa gerangan yang mencoba menghubunginya?

Atau ketika matanya tidak terarah kepada Anda? Atau matanya terarah kepada Anda dengan pandangan kosong? Atau berkali-kali pembicaraan Anda dipotong karena ada sesuatu yang ingin ia katakan kepada Anda?

Sesungguhnya siapa pun yang sedang berkomunikasi menjadi kawan bicara, ia berhak mendapatkan perhatian penuh dari kawan bicara. Pasti akan terasa bahwa mendengarkan dengan sungguh adalah salah satu bentuk penghargaan yang paling potensial bagi kawan bicara.

Karena itu,  berbicara ataupun mendengarkan adalah baik jika seimbang dan pada tempatnya. Berbicaralah dengan cara yang membuat orang senang mendengarkan, sebaliknya mendengarlah dengan cara yang membuat orang senang berbicara.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home