Loading...
BUDAYA
Penulis: Reporter Satuharapan 18:13 WIB | Minggu, 17 Maret 2019

Mengenal Lebih Dekat Kartun Editorial dalam Kelas Kreatif Karikatur

I Wayan Nuriarta (kiri) di acara “Gores Garis Figur Bertutur” di Bentara Budaya Bali (BBB), Sabtu (16/3). (Foto: Bentara Budaya Bali)

GIANYAR, SATUHARAPAN.COM - Karikatur bukan semata menampilkan humor atau kelucuan, namun juga dapat menjadi sarana menyampaikan opini dan mengkritisi situasi sosial di masyarakat. Hal tersebut diulas dalam program Kelas Kreatif Karikatur di Bentara Budaya Bali (BBB), pada Sabtu (16/3). Acara bertajuk “Gores Garis Figur Bertutur” ini menghadirkan pemateri I Wayan Nuriarta, S.Pd.,M.Sn., seorang kartunis yang juga dosen Desain Komunikasi Visual di ISI Denpasar.

Adapun Kelas Kreatif kali ini merupakan kelanjutan dari lokakarya seputar Ikonik Dunia Kartun Indonesia yang digelar terdahulu bersama kartunis Jango Pramartha (Ketua Indonesian Cartoonist Association 2005-2010). Bila sebelumnya dibincangkan perihal sosok-sosok ikonik dunia kartun Indonesia, berikut proses cipta dan latar sosial kultural kelahirannya, kini lebih difokuskan pada seluk beluk kartun editorial yang muncul berkala di media massa. 

Pada program ini diulas perihal sejarah dan perkembangan kartun dan karikatur. Karikatur sebagaimana dikenal sekarang ini bermula pertama kali di Italia pada abad ke-16, dari kata caricare, berarti kecenderungan melebih-lebihkan. Karikatur menggambarkan sosok-sosok yang populer atau dikenal publik, dihadirkan guna memicu kelucuan tertentu seraya menyiratkan pesan tersendiri. 

I Wayan Nuriarta, S.Pd.,M.Sn. juga memaparkan perkembangan dan periodisasi seni karikatur dan kartun editorial di Indonesia, berikut peran kehadirannya di media massa dalam mengkritisi situasi sosial yang berkembang di masyarakat. Termasuk hal-hal apa saja yang patut diperhatikan oleh seorang kartunis sewaktu membuat karikatur yang kritis, namun tidak kehilangan kesan humor serta tidak menyinggung penguasa. 

“Hal utama yang harus diperhatikan seorang kartunis sewaktu membuat karikatur yaitu harus memiliki sumber yang tepercaya. Selain itu kita tidak boleh menyebut nama tokoh tertentu secara langsung, serta jangan menggunakan simbol-simbol agama dan tidak menampilkan pornografi. Sebuah karikatur dapat menggiring opini publik terhadap suatu fenomena tertentu, namun di saat bersamaan juga ada kalimat atau istilah yang diplesetkan untuk menjaga kesan humor serta tidak secara langsung menyinggung pihak tertentu, ”  ungkap Nuriarta. 

Kartun editorial selama ini lebih mengemuka sebagai sarana kritik sosial dan politis. Gambar-gambar dalam kartun editorial bukan semata luapan bebas dari gores garis sang kreator, melainkan menuntut pula kesanggupan penciptanya untuk mengedepankan unsur hiperbola dan satir dalam mengkritisi problematik sosial, politik, semisal korupsi. Tidak mengherankan bila sosok-sosok dalam kartun editorial ini dikenal publik sebagai figur-figur yang bertutur. Giliran berikutnya, berbagai majalah satire menjadi media utama karikatur; peran yang kemudian dilanjutkan oleh surat kabar harian pada abad ke-20. 

Di Indonesia sendiri, dunia kartun memiliki sejarah yang terbilang panjang, terutama sosok – sosok ikoniknya yang sohor dan diterbitkan di media massa, semisal: Oom Pasikom (karya GM Sudarta), Wayang Mbeling (Gunawan Pranyoto), Panji Koming (Dwi Kundoro), dan Si Keong (Pramono R. Pramoedjo). Termasuk pula sosok ikonik buah karya kartunis Bali, semisal: Si Gug (Jango Pramartha), Sangut Delem (Gus Martin), Bang Nus (Cece Riberu), Brewok (Gun Gun), Mr. Bali (Surya Dharma), dan Si Sompret (Wayan Sadha). 

“Selama ini, sebagai kartunis, ada tiga hal yang saya perhatikan ketika akan membuat karikatur. Pertama, saya menyadari bahwa saat ini banyak hoax yang beredar. Maka kartun karya saya harus terlepas dari hoax atau berita bohong, caranya yaitu dengan mencari referensi yang tepercaya. Kedua, karena saya orang Bali, maka kartun saya harus juga mencerminkan sisi budaya Bali. Terakhir, kartun yang saya buat selalu disertai “bukti”. Karikatur yang saya buat adalah respon dari sebuah pernyataan atau tajuk berita di surat kabar,” ujarnya.  

Nuriarta menyebutkan karikatur pertama yang muncul di media massa Indonesia yakni di Fikiran Rakjat tahun 1932, dibuat oleh Soemini, yang mana diyakini sebagai nama samaran yang digunakan Soekarno. Ia juga menjelaskan  perbedaan antara karikatur dan kartun secara terminologi, juga beberapa jenis kartun, antara lain kartun editorial, kartun opini, maupun komik strip.

Kelas Kreatif ini juga tertaut program Pameran Kartun Ber(b)isik yang akan berlangsung di Bentara Budaya Bali pada 29 Maret-9 April 2019, menampilkan kartunis Beng Rahadian, Didie SW, Ika W. Burhan, Mice Cartoon, Rahardi Handining dan Thomdean. (PR)

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home