Menggenggam Luka
Orang lain bisa melukai kita, namun seberapa dalam dan lama kita mau terluka kita sendirilah yang menentukan.
SATUHARAPAN.COM – ”Dari skala 1-10, berapa tingkat rasa sakit yang Ibu rasakan?” demikian perawat menanyakan saya setelah operasi caesar yang dilakukan. Saat itu saya memilih angka di range tengah, karena setelah operasi dilakukan, keadaannya cepat pulih. Akan tetapi, hal itu berbeda dengan teman sekamar saya, yang juga baru melahirkan dengan operasi caesar. Malam itu dia tidak hanya mengeluh, bahkan menangis kesakitan sedemikian rupa.
Tindakan yang sama, proses yang sama, bahkan obat yang sama, namun efeknya bisa berbeda satu dengan yang lain. Demikian juga dengan luka hati. Tindakan yang satu bisa melukai hati seseorang, namun tidak pada orang yang lain.
Ada orang yang dilukai sedemikian rupa, namun tetap bernafas lega, tidak menyimpan dendam dan lukanya. Akan tetapi, ada pula yang terluka sedemikian rupa sehingga menimbulkan trauma berkepanjangan.
Seorang kawan memiliki kekasih yang berbeda agama saat masa mudanya. Putusnya hubungan yang sudah mengarah ke jenjang perkawinan membuatnya terluka dan menghindari hubungan dengan orang yang seagama dengan mantan kekasihnya tersebut. Padahal secara logika, itu tidak masuk akal. Dia pun menyadari belum tentu orang lain yang seagama dengan mantannya tersebut tidak memiliki kualifikasi sebagai rekan kerja. Namun, demi amannya hati, dia menghindar, walaupun dia sudah berkeluarga dan hidup dengan mapan.
Orang lain bisa melukai kita, manusia yang memiliki hati dan penuh dengan kelemahan, namun seberapa dalam dan lama kita mau terluka kita sendirilah yang menentukan. Apakah kita mau menggenggam erat luka itu, atau membuka genggaman luka dan membiarkannya melayang bersama terbitnya matahari?
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Faktor Penyebab Telat Bicara pada Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengurus Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial Ikatan ...