Loading...
OPINI
Penulis: Rainy MP Hutabarat 00:00 WIB | Kamis, 07 Agustus 2014

Menyambut SR XVI PGI: Samudera Raya Sebagai Pengalaman Kekerasan

SATUHARAPAN.COM -  “Samudera raya bumi” merupakan terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) untuk kata  tehom (tehomot).  Alkitab versi King James menerjemahkannya:  from the depths of  the earth;  American Standard; from the depth of the earth; Bible in Basic English: “the deep water of the underworld”.  

Dalam Perjanjian Baru, tehom diterjemahkan menjadi abussos yang artinya “jantung kedalaman” atau “tanpa dasar.” Dalam Perjanjian Lama, tehom digunakan untuk menunjuk kedalaman bumi yang berair (watery depths of the earth) seperti sumber mata air samudera (Maz. 77: 16; 78: 15; 106: 9). Dalam ilmu geologi, dasar bumi memang air, disebut akuifer.

Tehom berbeda dengan hades atau sheol yang diidentikkan dengan kematian dalam neraka berupa lautan api. Dalam Maz. 71: 20b ungkapan “samudera raya bumi”  (baca: the depths of the earth) dihubungkan dengan “pengalaman banyak kesusahan dan malapetaka” (20a). Teks terjemahan LAI berbunyi, “Engkau yang telah membuat aku mengalami banyak kesusahan dan malapetaka, Engkau akan menghidupkan aku kembali, dan dari samudera raya bumi Engkau akan menaikkan aku kembali.” Kedua penggalan kalimat ini terkait-paut, menggambarkan  kegelapan malapetaka dan kesusahan yang dialami pemazmur.

Samudera raya bumi menunjuk kepada situasi gelap-gulita di dasar bumi yang tanpa sinar atau cahaya apa pun. Dalam ungkapan  Subagyo Sastrowardoyo, situasi  “kematian yang semakin akrab”. Kelam tanpa harapan, seperti Ayub yang dirundung bencana beruntun, namun bersikap pasrah penuh dan  teguh kepada Sang Ilahi.  Pengharapan itu sendiri  menjelmakan dua realitas yang bersisian: pengalaman penderitaan yang kelam dan harapan akan terang oleh pertolongan Tuhan. 

 

Samudera Raya: Penderitaan Berlapis Tanpa Suara   

Tujuh puluh satu persen dari permukaan bumi terdiri dari air, sebagian besar di lautan dan 1,6 persen air bawah tanah dalam akuifer. Enam puluh persen tubuh manusia juga terdiri dari air, dan air pula menjadi bagian dari identitas tubuh perempuan. Air susu ibu adalah makanan utama bayi. Air ketuban menjadi selimut yang menaungi janin. Haid yang mengalir keluar sejatinya merupakan sel-sel telur.

Dalam pengalaman kebertubuhan, kesakitan bersisian dengan sukacita. Ada kesakitan tertentu saat mendapat haid, dan ada bayang-bayang maut saat melahirkan, namun keduanya dialami sebagai  kesakitan sekaligus sukacita. Ironisnya, semua kesakitan dan luka fisik itu kemudian dipakai sebagai  pembenaran bahwa perempuan harus sanggup hidup menderita termasuk menerima kekerasan dari suami atau siapa pun. Seolah ada salib yang memang harus dipikul oleh perempuan. Bak “luka dan bisa yang dibawa berlari”, meminjam Chairil Anwar. 

Luka dan kesakitan fisik maupun psikis yang diderita perempuan korban kekerasan menjadi tehom, samudera raya bumi, yakni penderitaan berlapis-lapis yang memerlukan waktu panjang untuk memulihkannya. Pulih sepenuhnya  mustahil sebab ingatan-ingatan akan terus melekat hingga akhir hayat.  Dukamu abadi, kata Sapardi Djoko Damono. Apalagi komunitas pun  kerap tak mendukung korban, sebab kekerasan dalam rumah-tangga dipandang sebagai hal yang lumrah, bukan perbuatan kriminal yang dapat dikenakan sangsi hukum. Bahkan perempuan korban kerap dicurigai lebih dulu menggoda pelaku.   

Dari tahun ke tahun angka kekerasan terhadap perempuan meningkat. Catatan Tahunan Komnas Perempuan merekam sebanyak 216.152  kasus pada 2013, dan 66 persen terjadi di ranah personal. Pada 2013 angka meningkat  279.760 kasus dan 71 persen di ranah personal.   

Dalam masyarakat yang memegang teguh adat-istiadat, KDRT dan kekerasan terhadap perempuan dalam komunitas cenderung diselesaikan menurut adat yang merugikan perempuan korban kekerasan: secara kekeluargaan dan tanpa melibatkan korban. Tradisi mas kawin sendiri diartikan sebagai membeli isteri sehingga isteri dipandang  sebagai harta-milik lelaki. Sebagai harta-milik,  posisi tawar isteri lebih rendah dari pihak lelaki sehingga rentan dieskploitasi: menanggung beban domestik berlapis-lapis termasuk kekerasan.

Kepolisian pun kerap mengabaikan laporan pengaduan  KDRT  dan lebih suka penyelesaian secara damai yang merugikan perempuan korban sehingga terjadi reviktimisasi. Menghadapi pengadilan, perempuan korban sering pula tersandung saksi-saksi yang tidak tersedia, padahal perkosaan justru dilakukan di ruang tertutup tanpa kehadiran orang lain. Perkosaan terjadi dan dampaknya ditangggung perempuan korban seumur hidup, namun pelaku tak bisa dihukum lantaran tak ada saksi-saksi, bahkan korban dituduh pula sebagai “Hawa sang penggoda.”  

Rumah-rumah aman bagi perempuan korban kekerasan merupakan tempat yang langka, termasuk di lingkungan gereja-gereja. Kendati perempuan merupakan anggota terbesar gereja-gereja, program-program khusus untuk perempuan,  seperti rumah aman dan konseling, belum menjadi agenda.  Jumlah rumah aman dan layanan konseling tak berbanding lurus dengan jumlah gereja di Indonesia.

Fakta ini menunjukkan gereja-gereja di tanah air, seiring masyarakatnya, cenderung abai terhadap kekerasan terhadap perempuan kendati sudah ada UU PKDRT. Pengabaian ini, ditambah dukungan nilai-nilai agama dan adat, ibarat samudera raya bumi yang sulit direnangi oleh  perempuan korban kekerasan. Dalam situasi lingkaran kekerasan di mana telinga telah tuli dan mata buta oleh adat dan agama,  dilanggengkan pula oleh media massa melalui sinetron-sinetron dan iklan-iklan, kerap cara yang ditempuh  perempuan korban adalah berdamai dengan kekerasan. Tanpa suara memeluk penderitaan sebagai   bagian dari kehidupan yang harus dijalaninya.  

Dalam lingkaran masalah yang membelenggu, samudera raya bumi menunjukkan ke persoalan berlapis yang harus diatasi dalam merespons KDRT dan bentuk kekerasan lain. Cara-cara penyelesaian selama ini cenderung mengabaikan hak-hak perempuan sebagai korban: hak atas informasi ihwal duduk kasus yang dihadapi, hak atas perlindungan sebab perempuan korban juga rentan diteror atau diancam oleh pelaku, hak atas pengobatan, hak atas pemulihan psikis termasuk konseling dan nama baik.

Saya tak bermaksud mengambil-alih pemaknaan tema ini oleh perempuan korban kekerasan. Para korbanlah yang paling paham makna “Tuhan mengangkat kita dari samudera raya”, dan kita sebaiknya mendengarkan. Karena itu yang perlu dipertanyakan:  Apa yang telah dibuat oleh gereja-gereja untuk mengangkat perempuan korban kekerasan dari “samudera raya bumi”?

 

Penulis adalah teolog dan pemerhati bahasa, bekerja di YAKOMA-PGI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home