Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:33 WIB | Selasa, 02 Desember 2014

Menyikapi Perpecahan Partai Politik

SATUHARAPAN.COM -  Perpecahan dalam tubuh partai makin menjadi fenomena di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Di satu sisi terjadi karena dibukanya batasan hanya boleh ada tiga partai (meskipun selama Orba, Golongan Karya tidak mau disebut sebagai partai politik), di sisi lain, terjadi konflik dalam tubuh partai.

Sejak itu, muncul partai baru yang merupakan pecahan dari partai lama PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar, dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan partai baru dengan basis di luar tiga partai itu.

Belakangan ini, sisa yang masih bertahan di PPP juga mulai pecah menyusul perbedaan terkait hasil pemilihan presiden 2014. Setidaknya ada dua kelompok dalam PPP hasil muktamar di Surabaya yang memilih Romahurmuziy sebagai ketua umum, dan Suryadharma Ali, ketua umum yang lama. Apakah perpecahan ini akan memunculkan partai baru, perkembangan selanjutnya akan menjelaskan hal itu.

Sekarang, Partai Golkar yang tengah menyelenggarakan Musyarawah Nasional di Nusa Dua, Bali, dan berada dalam ancaman perpecahan. Hal ini muncul setelah serangkaian tokoh Golkar membentuk partai baru.

Sebelumnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) melepaskan diri dan membentuk Partai Karya Peduli Bangsa, kemudian Edy Sudradjat membentuk Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Wiranto membentuk Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Surya Paloh membentuk Partai Nasional Demokrat.

Di luar Golkar, konflik yang masih tersisa dalam tubuh partai lain pun tampaknya bisa menjadi pemicu perpecahan partai-partai di Indonesia. Dan hal ini akan terlihat menjelang sidang tertinggi partai yang antara lain menentukan kepengurusan baru.

Mengapa Pecah?

Perpecahan dalam tubuh partai di Indonesia, dan juga munculnya partai baru, lebih merupakan konflik dalam perebutan kekuasaan dan karena kepentingan kekuasaan. Hampir tidak ada yang mempunyai kaitan yang jelas dengan perdebatan tentang ideologi atau program partai.

Perpecahan muncul karena kekuasaan dalam partai menjadi penting untuk kepentingan mereka yang memegang kekuasaan, dan para tokoh partai berebut kekuasaan tersebut. Itu sebabnya permainan politik uang yang disebut sebagai politik ‘’dagang sapi’’ tumbuh subur dalam internal partai dan menular secara masif dalam politik di Indonesia.

Aturan-aturan dasar dalam partai bahkan bisa dipermainkan dan diubah untuk kepentingan tersebut. Forum pengambilan keputusan partai selalu disibukkan oleh persaingan merebut kekuasaan, dan program partai yang tertuju pada konstituen serta rakyat hanya retorika yang jauh dari realitas kinerja mereka.

Dalam konteks ini, dinamika dalam partai politik berkecenderungan menghasilkan segregasi (pemisahan) ketimbang dinamika yang memperkuat ikatan untuk pencapaian tujuan partai. Bahkan partai telah kehilangan kekuatan penyatu, karena tidak memiliki ideologi yang jelas. Visi partai adalah kepentingan pemimpinnya. Situasi ini juga ditandai oleh politisi ''kutu loncat'', dan menjerumuskan partai politik dalam ancaman perpecahan yang nyaris tidak akan pernah berakhir, kecuali terjadi perubahan mindset.

Seleksi Oleh Rakyat

Fenomena yang perlu dicatat adalah bahwa rakyat atau konstituen partai sering tidak risau pada  perpecahan ini. Hal ini sangat beralasan, karena memang tidak ada yang terkait dengan kepentingan mereka. Berita konflik partai hanya sebagai bacaan dan tontonan. Jika tidak ada solusi, maka akan muncul partai sempalan, dan hal itu dianggap sebaghai ‘’solusi’’ yang wajar.

Perpecahan partai menandai bahwa institusi partai politik di Indonesia tidak mempunyai kemampuan dalam mengelola dinamika dan perbedaan. Kompetisi yang ditampilkan sering lebih sebagai adu kekuatan dan sering tidak malu dilakukan dengan cara curang dan culas.

Situasi ini bisa menularkan bahaya yang besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab partai politik bisa menjadi penabur benih konflik yang melemahkan negara dan bangsa; situasi yang bertolak belakang dengan kondisi yang semestinya sebagai penghimpun kekuatan untuk kejayaan Indonesia.

Dalam situasi seperti ini, agak sulit mengharapkan partai politik membangun kemampuan budaya menyelesaikan konflik tanpa perpecahan. Harapan kembali tertumpu pada rakyat untuk melihat secara bijakmasalah ini. Rakyat mesti berani meninggalkan parpol seperti itu. Lupakan mereka pada setiap kali menggunakan hak suara pada pemilihan (eksekutif maupun legislatif).

Rakyat tidak boleh terbawa arus perpecahan partai. Rakyat harus menjadikan setiap proses demokrasi sebagai proses seleksi untuk mengeliminasi setiap anasir buruk dan jahat dalam bangsa dan negara ini. Suara rakyat harus ditujukan bagi terbangunnya partai yang berkualitas.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home