Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 17:05 WIB | Rabu, 30 Juli 2014

Merayakan Pesta Agama dengan Akal Sehat

Anak-anak bermain di kawasan kuburan massal korban bencana tsunami di Ulee Lheu, Banda Aceh, Selasa (29/7). Setiap hari pertama dan kedua Idul Fitri warga masih memadati kuburan massal korban gempa dan gelombang tsunami 26 Desember 2004 tersebut untuk berziarah. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Agama telah menjadi aspek yang sangat dan bahkan terpenting bagi banyak orang di Indonesia. Ia menjadi warna hidup mulai dari bangun tidur pagi hari sampai akan tidur malam hari. Di dalam memulai aktivitas, memulai perjalanan, bekerja atau sebuah acara, dalam berpakaian dan bertutur kata, agama seperti doa, bahasa dan ajaran atau nilai-nilainya dipergunakan, baik secara pribadi bagi diri sendiri, di dalam perjumpaan dengan orang lain atau dalam kelompok masyarakat. Warna agama akan tampak sekali ketika orang merayakan raya atau pesta keagamaan.  Orang mengungkapkannya baik secara personal maupun komunal di dalam masyarakat untuk kepentingan personal dan sosial.

Seseorang yang di dalam hidup sehari-harinya tidak begitu religius atau agamis lalu menjadi sangat agamis. Bahkan, ada kelompok masyarakat yang “doyan” rusuh tetapi dalam pesta agama menjadi sangat “saleh”. Di sini, perayaan agama telah menjadi mode atau gaya hidup, sebagai adat istiadat dan budaya.  Persoalannya adalah apakah pengungkapan ini berdasar pemahaman keagamaan yang benar yang sesuai akal sehat atau hanya karena keinginan atau hawa nafsu manusiawi?

Tentu, yang diharapkan dan dicapai dalam pengungkapan keberagamaan itu adalah kepuasan diri; batin personal atau pribadi dan sosial. Kepuasan batin pribadi dialami karena pemahaman bahwa ia telah melaksanakan perintah agama, kehendaki Allah; dosanya diampuni, ia disucikan dan mendapat pahala di surga dan tidak masuk neraka. Hal ini dilakukan dengan doa pribadi, puasa dan memberi persembahan atau korban.

Kepuasan batin sosial dirasakan karena pemahaman bahwa dengan mengungkapkan identitas keberagamaannya secara tegas, ia telah melaksanakan nilai agama sekaligus masyarakat. Ia melakukan kehendak dan menjadi bagian atau menjadi sama dengan mereka. Dengan demikian ia merasa dihargai dan berharga. Ia sebagai pribadi dan masyarakat sama-sama terpuaskan. Ini diwujudkan misalnya dengan memakai pakaian agamis yang diterima masyarakat, mengikuti ibadah jemaah di tempat ibadah dan saling berkunjung bersilaturahmi. Mudik misalnya adalah usaha pencapaian dan perwujudan dari kepuasan batin ini.

Kepuasan batin, rasa atau emosi adalah hal paling utama di dalam keberagamaan manusia. Sisi ini yang paling disentuh oleh agama dibanding dengan akal atau rasio. Agama tidak akan pernah menjadi pemuas “nafsu” rasio. Yang terjadi adalah agama dapat “memumetkan” akal atau membuat pikiran pusing, dan sebaliknya rasio dapat membuat agama gerah. Dalam banyak kasus, karena agama lebih mengutamakan emosi, orang beragama bertindak emosional dan tidak sesuai akal sehat.

Nafsu Beragama dan Risiko Pengorbanan

Banyak orang berusaha untuk mencapai kepuasan batin dalam merayakan pesta keagamaan dengan cara dan dengan risiko apa pun. Orang berkorban dengan pengeluaran material-dana, waktu dan tenaga ekstra, sampai berutang atau menjual harta-benda, mengorbankan pekerjaan, bahkan korban fisik dan nyawa diri sendiri maupun orang lain. Setiap tahun “ritual” mudik Lebaran selalu memakan korban nyawa seribuan orang. Setiap perayaan hari besar Hindu di sungai Gangga India selalu mengorbankan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Dalam perayaan Paskah 2014, puluhan nyawa melayang di Larantuka NTT.  

Risiko korban material dan nyawa tentu tidak diharapkan dalam perayaan agama tetapi selalu saja ada; kecuali memang ada orang-orang yang mengorbankan nyawa karena doktrin agama. Untuk mencapai kepuasan religius dalam melaksanakan ajaran atau upacara agama selalu membutuhkan pengorbanan material atau waktu tenaga dan dana. Tapi korban fisik dan jiwa yang tidak disengaja tentu sangat tidak dikehendaki baik oleh diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Tuhan.

Namun, ada pemahaman yang menerima bahwa dalam setiap perayaan agama selalu perlu ada korban, sebagai tumbal perayaan. Bahwa tumbal atau korban nyawa adalah kehendak Allah, sebab Allah sendiri mengorbankan Anak-Nya untuk keselamatan manusia (dalam ajaran Kristen). Atau, bukankah Allah menantikan pengantin, sebagai para syahid atau martir yang berjuang di jalan Allah. Apakah Allah menghendaki pengorbanan demikian? Atau, apakah untuk kepuasan batin dalam pesta agama orang harus mengusahakan dan mengungkapkannya dengan hawa nafsu yang berakibat pengorbanan berlebihan termasuk korban fisik dan nyawa? Tentu tidaklah demikian.

 Merayakan Pesta Agama dengan Akal Sehat

Tentu  kepuasan batin yang diperoleh dalam beragama, khususnya dalam merayakan pesta agama tidak dengan cara yang berisiko pengorbanan besar-besaran secara material apalagi korban fisik dan nyawa. Batin orang tidak akan puas jika dalam merayakankan pesta agama pikirannya tertuju pada harta benda yang telah dijual, atau utang yang harus dibayar atau barang yang harus ditebus di pegadaian, atau ia sakit dan menderita karena kecelakaan; atau apabila ia sudah mati.   

Jika orang memahami betul kehendak Allah dan menerima situasi dan kondisi diri dan lingkungan dengan menggunakan akal sehat dan merayakan pesta agama tidak dengan hawa nafsu berlebihan maka risiko pengorbanan besar-besaran dapat sangat dikurangi. Apalagi, tentu keagungan Allah tidak akan kurang jika manusia tidak memberikan korban atau manusia tidak mengorbankan diri. Manusia juga tidak akan kurang mulia di hadapan Allah jika ia tidak memakai pakaian bagus atau baru dan agamis dalam perayaan agama. Atau, bukankah keluarga di kampung halaman akan tetap menerima jika kita tidak mudik karena kondisi tidak layak seperti harus berboncengan tiga atau empat orang dengan sepeda motor.

Merayakan pesta agama dengan manfaat kepuasan batin yang tepat dan tidak mengandung risiko besar-besaran perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, apa yang sebenarnya Allah kehendaki ketika kita merayakan pesta agama; apakah baju, makanan, kumpul keluarga atau hidup sehari-hari sesuai kehendak Tuhan. Kedua, kondisi hidup diri dan keluarga serta situasi tempat kita akan merayakan pesta agama. Akal sehat dan kewajaran perlu diutamakan, bukan keinginan atau hawa nafsu berlebihan. Ketiga, merayakan pesta agama dengan manfaat kepuasan, ketenangan dan kenyamanan batin dan dialami terus menerus adalah hidup sehari-hari dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home