Loading...
RELIGI
Penulis: Ignatius Dwiana 21:29 WIB | Sabtu, 04 Januari 2014

Milad dan Muhammad: Dua Arab Muslim Bersaudara dalam Militer Israel

Milad dan Muhammad: Dua Arab Muslim Bersaudara dalam Militer Israel
Muhammad Atrash, seorang Muslim Arab yang bergabung dengan militer Israel. (Foto dari: IDF Blog)
Milad dan Muhammad: Dua Arab Muslim Bersaudara dalam Militer Israel

ISRAEL, SATUHARAPAN.COM – Muhammad Atrash, seorang Muslim Arab Galilea dari desa Dabburiya. Dia bagian dari tentara Brigade Golani yang dibentuk pada Maret 2013. Dia bersumpah setia kepada negara Israel dan berkomitmen untuk melakukan semua yang bisa dilakukan untuk melindunginya.

Bukan alkitab yang menjadi saksi sumpahnya. Prajurit muda itu mengambil al Quran berhiaskan ornamen emas menjadi saksi sumpah kesetiaannya kepada negara Israel.

Untuk Muhammad, yang berusia 18 tahun, ini merupakan langkah penting dan unik dalam militer Israel. Hal ini dimulai satu setengah tahun yang lalu, ketika kakaknya Milad yang berusia 19 tahun memilih untuk mendaftar.

Milad mewariskan komitmennya dalam membela Israel kepadanya, Muhammad. Ketika Muhammad lulus SMA, dia berpikir mengejar studi akademis. Tetapi kakaknya, Milad, meyakinkannya bahwa militer adalah solusi terbaik baginya.

"Setelah beberapa percakapan dengan Milad, saya mengerti bahwa inilah yang saya inginkan: mendaftar, menyumbang untuk negara saya," jelasnya.

Kisah Milad dan Muhammad Atrash bergabung ke militer Israel

Milad menceritakan kisahnya mendaftar ke militer Israel.

”Ketika masih SMA saya bertanya kepada keluarga saya, 'Mengapa kita, umat Islam, tidak mendaftar?  Mengapa orang-orang Yahudi, Druze, dan Badui mendaftar, sementara kita tidak? Mereka menjelaskan kepada saya bahwa orang-orang Yahudi melayani karena itu negara mereka, sementara (masyarakat) Druze menandatangani perjanjian dengan militer Israel dan kita memiliki banyak gerakan Islam yang menentang wajib militer dalam militer Israel. "

Tanggapan Milad? "Saya mengatakan kepada mereka, aku tidak peduli dengan itu. Saya ingin bergabung dengan tentara untuk melindungi desa saya, negara saya," katanya.

Milad mulai dengan wajib militer dan tiba di pelatihan dasar. "Karena aku tidak tahu apa-apa tentang tentara, aku mengepak tas selama 4 bulan!" Katanya sambil tersenyum. "Setelah empat hari komandan saya mengatakan saya akan kembali ke rumah untuk akhir pekan."

Untuk Milad, mendaftar di militer Israel berarti menghabiskan waktu ambil bagian dengan Israel yang tidak biasa. "Aku tidak tahu cara mendapatkan rumah," katanya di akhir pekan pertama. "Saya meninggalkan pangkalan pukul 8 pagi dan hanya sampai di rumah pukul 10 malam karena saya belum pernah begitu jauh dari desa saya."

Kemudian, Milad menjadi tentara ditugaskan untuk integrasi minoritas di pusat rekruitmen lokal di Israel utara. Posisinya memungkinkan dia untuk memberikan bantuan kepada tentara menghadapi tantangan yang sama seperti yang dimilikinya. Dalam dua minggu,dia mulai pelatihan perwira.

Muhammad menghadapi beberapa tantangan khususnya pada awal pengabdiannya. Sebagian karena dia tidak berbicara banyak dalam bahasa Ibrani. "Dalam dua minggu pertama, saya tidak mengerti perintah sama sekali (atau) yang tentara bicarakan," kenangnya. "Saya sudah belajar beberapa tulisan Ibrani, jadi saya akan menulis kepada teman-teman tentara saya apa pun yang ingin saya katakan. Pada awalnya, hal itu sangat sulit, namun perlahan-lahan saya belajar semuanya itu."

Di bawah tekanan teman sebaya

Muhammad mengatakan bahwa selama pengabdiannya dia tidak pernah harus menghadapi kasus rasisme, seperti juga kakaknya. Namun, saudara-saudara mereka memberi tahu bahwa pengabdian militer mereka tidak selalu diterima dengan baik ketika kembali ke desa asal mereka.

"Orang-orang desa kasak-kusuk di belakang kami," jelas Milad. "Dan ketika ibu kami mencuci seragam kami, kami memastikan dia melakukannya di dalam rumah sehingga seragam kami tidak akan dicuri."

"Meskipun begitu, aku pulang ke desa dengan seragam saya," kata Muhammad tanpa ragu-ragu. "Sejauh ini, saya belum mendapatkan komentar, dan bahkan jika orang menatap saya, saya tidak memperhatikan. Aku baik-baik dengan hal itu."

Beberapa teman saudara Atrash juga keberatan dengan wajib militer mereka. "Saya tidak lagi memiliki teman-teman dari desa saya," kata Milad. "Semua teman-teman saya memutuskan untuk mengakhiri persahabatan kami, tetapi itu baik-baik saja. Saya mempunyai beberapa teman-teman baru di sini, dalam ketentaraan.” Muhammad setuju.

"Awalnya ibu saya takut (saya) mendaftar di militer Israel," Milad melanjutkan, "tetapi dia melihat itu membuat saya senang, jadi dia senang juga. Sekarang dia memberitahu saudara-saudara saya untuk mendaftar. Saya mencoba untuk meyakinkan sepupu saya untuk mendaftar, "dia tersenyum.

Muhammad menjelaskan bahwad ia akan mendorong orang lain berlatar belakang seperti dia untuk wajib militer dalam militer Israel. "Tidak peduli tempat mereka mengabdi – sumbangan adalah hal yang paling penting. Bagi saya, misalnya, tidak masalah jika saya mengabdi di Yudea dan Samaria atau di perbatasan Gaza dan harus menghadapi umat Islam dari seberang perbatasan. Kami menjaga negara kami, kami harus melindunginya dan tidak peduli siapa dari seberang perbatasan, Arab maupun bukan, Muslim maupun bukan. Pada akhirnya, semua orang melindungi keluarganya." (IDF Blog/Algemeiner)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home