Loading...
RELIGI
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:07 WIB | Kamis, 17 Mei 2018

Misa Tutup Peti Anak Korban Teror Bom, Semua Orang Diajak Mengampuni

Ilustrasi. Prosesi Misa Penutupan Peti dua anak korban peledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, dilakukan di rumah duka Adi Jasa yang dipimpin langsung oleh sejumlah pastor, Rabu (16/5) (Foto: VOA/Petrus Riski)

SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Prosesi Misa Penutupan Peti dua anak korban peledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, dilakukan di rumah duka Adi Jasa yang dipimpin langsung oleh sejumlah pastor, Rabu (16/5) sore. Perasaan duka mendalam dari keluarga dan sahabat, tidak dapat disembunyikan selama berlangsungnya misa tersebut.

Ratusan orang melantunkan doa-doa, dipandu sejumlah pastor yang memimpin jalannya Misa Penutupan Peti jenazah Nathan dan Evan, dua anak korban peledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Minggu lalu (13/5).

Tidak sedikit jemaat yang hadir tidak kuasa menahan kesedihan dan duka mendalam, atas tragedi kemanusiaan ini.

Terutama ketika Weni, ibu kedua anak yang meninggal itu, hadir untuk melihat wajah kedua buah hatinya untuk terakhir kali. Weni, yang juga menjadi korban luka-luka dalam serangan bom bunuh diri itu, memaksakan diri datang ke rumah persemayaman jenazah Adi Jasa dengan menggunakan kursi roda dan selang infus di tangan.

Sehari sebelumnya, Selasa (15/5) Weni, yang masih menggunakan tempat tidur darurat, juga datang melihat jenazah kedua anaknya, membelai wajah mereka dan membisikkan kata-kata ke telinga mereka.

Romo Agustinus Tri Budi Utomo, Vikaris Pastoral Keuskupan Surabaya mengatakan, peristiwa ini hendaknya dimaknai sebagai pintu rahmat untuk berjumpa dengan Tuhan. Kejadian teror bom yang mengakibatkan korban jiwa meninggal, menurutnya jangan sampai menimbulkan reaksi yang justru menjauhkan manusia dari rahmat Tuhan.

“Sebuah peristiwa itu adalah sebuah pintu bagi rahmat, dan sebuah peristiwa di situlah ruang di mana kita berjumpa dengan Tuhan, itu asumsi pertama menurut saya, yang pertama disadari setiap orang Kristiani, supaya tidak terjebak hanya logika aksi reaksi, orang marah ganti marah, orang jahat diganti dijahati, orang membunuh ganti dibunuh, minimal membunuh dalam hati yaitu wujudnya dendam dan kebencian misalnya, itu adalah jatuh kita. Nah, maka pertama adalah menyadari bahwa ini adalah khairos, ini adalah sebuah kesempatan berjumpa dengan Tuhan,” kata Romo Agustinus Tri Budi Utomo, Vikaris Pastoral Keuskupan Surabaya.

Memaafkan, adalah kata yang keluar dari mulut Antonius Sumitomo, Ketua Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Jawa Timur, menyikapi jatuhnya korban akibat teror bom. Menurut Anton, semua pihak terutama orang tua, pemuka agama dan masyarakat, harus peduli pada masa depan anak, sehingga tidak ada lagi anak yang menjadi korban atau dikorbankan.

“Ya, kita harus maafkan, itu kan manusianya, manusia kan penuh salah, lalai dan sebagainya. Kita ini, sekitarnya sekarang, orang-orang tokoh-tokoh agama itu kita harus memberi tahu adanya ini kenapa, itu karena sampai umur 16 tahun ini, sampai didoktrin begitu, itu yang salah apa, orang tua dan sekelilingnya, karena tidak perhatian pada anak. Anak itu kan investasi masa depan. Untuk masalah ke depan itu harus benar-benar dipegang, untuk jadi apa anak ini, nah itu orang tua dan lingkungan,” kata Antonius Sumitomo.

Jimmy, warga Surabaya yang turut hadir dalam prosesi Misa Penutupan Peti Evan dan Nathan, mengajak semua elemen masyarakat bersatu padu menghadapi terorisme dengan saling bergandengan antarelemen masyarakat.

“Sebagai warga negara Indonesia, kita harus keluar dari zona nyaman kita, artinya kita harus peduli yang di luar. Kita ini tidak ada perbedaan antara agama yang satu dengan yang lain, kita adalah satu bangsa Indonesia, itu yang harus dibangun. Tidak boleh ada terjadi lagi, pertama adalah pemboman di Surabaya dan di Indonesia, kedua kita harus merangkul dari pada semua elemen yang terbaik. Pendekatan itu, sosialisasi itu harus bersatu untuk menghadapi segala ancaman,” kata Jimmy.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA), Arist Merdeka Sirait yang juga hadir di tempat persemayaman jenazah Adi Jasa mengatakan, jatuhnya korban jiwa akibat aksi terorisme menjadi bukti bahwa nilai kemanusiaan telah diabaikan, bahkan oleh pihak-pihak yang menganggap aksi ini bukan teror atau hanya pengalihan isu.

“Saya mengingatkan kepada elite politik kita sekarang, yang mengatakan ini bukan terorisme, ini kesalahan intelijen di Jatim, itu adalah salah satu sikap elite politik kita maupun elite politik Senayan dan partai, Anda tahu siapa yang ngomong itu semua, itu melukai hati anak-anak. Karena ini, Evan dan Nathan ini menurut saya adalah bagian dari penghinaan terhadap kemanusiaan,” katanya.

Romo Tri Budi Utomo mengajak semua pihak ikut terlibat dan peduli pada proses penanganan korban peledakan bom, dengan membantu mengembalikan kondisi psikologis maupun trauma yang dialami para korban.

“Pertama kita fokus pada korban, bagaimana korban bisa segera diselamatkan, bagaimana korban dihormati, bagaimana korban direspons dengan sungguh manusiawi. Dan keluarga juga teman-teman, saya berharap dari psikologi, misalnya trauma healing itu jauh sangat penting. Maka singkatnya bahwa apa yang bisa kita lakukan, adalah apa yang bisa kita buat saat ini untuk menjadikan keadaan ini menjadi lebih baik,” pesannya. (voaindonesia.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home