Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 20:01 WIB | Kamis, 18 Juni 2015

MK: Pernikahan Beda Agama Inkonstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Dok satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkawinan beda agama inkonstitusional. Majelis hakim yang terdiri dari Arief Hidayat (ketua), Anwar Usman, Aswanto, Patrialis Akbar, Maria Farida, I Gede Paguna, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo menolak permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hal yang dipermasalahkan dalam UU Perkawinan tersebut adalah Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

"Mahkamah berpendapat permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak permohonan yang diajukan para pemohon seluruhnya," kata Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta Pusat, Kamis (18/6).

Pemohon adalah lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi serta Luthfi Sahputra.

"Tapi ya sudahlah, hakim sudah memutuskan dan nggak ada yang bisa saya lakukan terhadap itu. Judicial review UU Perkawinan resmi selesai," Rangga Sujud Widigda dalam akun twiternya @RanggaWidigda, Kamis (18/6/2015) menulis.

Menurut MK, bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi. MK berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.

PGI Menyesalkan

Komentar Gomar Gultom.

Gomar Gultom, sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menulis dalam akun Facebook-nya,  “Kembali berduka ... meratapi keputusanmu!”

PGI, dalam salah satu persidangan MK menyampaikan pendapatnya bahwa pernikahan beda agama tidak bertentangan dan tidak melanggar norma. Hal itu disampaikan Nikson Gans Lalu, tim kuasa hukum PGI, pada sidang uji materi Undang-undang (UU) tentang Pernikahan Beda Agama yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (5/11/14).

Nikson menambahkan, UU tentang Pernikahan Beda Agama juga melanggar hak asasi manusia (HAM) karena telah membatasi warga negaranya untuk menjalin hubungan meski didasari rasa cinta secara universal. PGI menilai perlu ada pemeriksaan kembali terhadap isi UU tersebut untuk lebih melihat aspek realitas perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Dissenting Opinion

   Baca juga:

Salah satu hakim MK Maria Farida Indrati memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim lainnya. Satu-satunya perempuan anggota majelis hakim ini mengatakan UU perkawinan memang harus direvisi. Menurut Farida, kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat sudah berbeda."Lebih maju dibandingkan aturan yang lama," kata hakim Farida saat persidangan.

Uji materi Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tersebut diajukan pada September 2014. Berdasarkan ayat dan pasal pada UU Perkawinan yang mereka gugat, perkawinan beda agama dinilai tidak sah oleh negara. Penggugat menganggap hal tersebut melanggar hak konstitusional warga negara apabila ada di antara masyarakat yang ingin menikah namun berbeda keyakinan dengan pasangan.

Para penggugat berpendapat, pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan negara. Sensitifnya isu ini membuat MK meminta pendapat dari sejumlah ahli, ulama, organisasi keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia.  (MK/Twitter/Facebook)

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home