Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 11:38 WIB | Jumat, 01 April 2016

Najat Belkacem, Gadis Gembala Maroko Jadi Menteri Prancis

Najat Vallaud Belkacem. (Foto: AFP)

SATUHARAPAN.COM – Najat Belkacem menjadi lambang imigran Prancis yang membangun negara tujuannya. Jadi oase di tengah penolakan terhadap gelombang imigran masuk Eropa.

Sejak Agustus 2014, Belkacem menjadi perempuan pertama dan termuda (36 tahun) yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Perguruan Tinggi, dan Riset Prancis. Sebelumnya ia adalah juru bicara Pemerintah Prancis, pada saat yang sama menjadi Menteri Hak Perempuan, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Urusan Sipil (2012-2014).

Anak kedua dalam keluarga dengan tujuh anak, Najat Belkacem lahir pada 1977 di perdesaan Maroko di Bni Chiker, sebuah desa dekat Nador di wilayah Rif. Neneknya keturunan campuran Spanyol dan Aljazair.

Ia menghabiskan masa kecil bersama sang ibu sebagai penggembala kambing. Ayahnya tinggal di Prancis lantaran harus bekerja sebagai buruh bangunan.

Pada 1982, sang ibu mengajak Najat pergi ke Prancis untuk hidup bersama sang ayah. Mereka tinggal di permukiman miskin di pinggiran Kota Amiens di Somme, 120 kilometer di utara Paris.

Lantaran dianggap imigran, orangtua Najat tidak memiliki hak memilih maupun bicara politik. Najat sendiri baru mendapat status kewarganegaraan Prancis saat berusia 18 tahun.

Ia lulus dari Institut d'études Politiques de Paris (Institut Studi Politik Paris) pada tahun 2002. Di institut itu dia bertemu Boris Vallaud yang menikahinya pada 27 Agustus 2005.

Masuk Politik karena Le Pen

Dia masuk dunia politik pada 2002. Pada tahun itu, Politikus Sayap Kanan Jean-Marie Le Pen membuat kejutan lantaran masuk dalam putaran akhir pemilihan presiden.

Kemenangan Le Pen membuat Najat kurang senang dan akhirnya memutuskan bergabung dengan Partai Sosialis. Penyebabnya, Le Pen terlalu sering menggunakan isu-isu SARA dalam setiap kampanyenya.

Di Partai Sosialis ia menjadi tim dari wali kota Lyon Gérard Collomb pada 2003 untuk membuat aksi memperkuat demokrasi lokal, memerangi diskriminasi, promosi hak-hak warga negara, dan akses ke pekerjaan dan perumahan terkemuka.

Setelah terpilih untuk Dewan Daerah Rhone-Alpes pada 2004, dia memimpin Komisi Kebudayaan, namun mengundurkan diri pada tahun 2008. Pada tahun 2005, ia menjadi penasihat Partai Sosialis. Pada tahun 2005 dan 2006 dia adalah seorang kolumnis untuk program budaya C'est tout vu pada Télé Lyon Municipale bersama Stéphane Cayrol.

Pada Februari 2007 ia bergabung dengan tim kampanye Ségolène Royal sebagai juru bicara, bersama Vincent Peillon dan Arnaud Montebourg. Ségolène Royal mencalonkan diri menjadi calon presiden perempuan pertama Prancis. Royal kalah dengan Nicolas Sarkozy.

Pada Maret 2008 ia terpilih sebagai conseillère générale (semacam pemegang pemerintahan provinsi) dari departemen Rhône dalam pemilihan kewilayahan dengan 58,52 persen suara di babak kedua, di bawah bendera Partai Sosialis di kanton (semacam provinsi) Lyon-XIII.

Pada 16 Mei 2012, ia diangkat ke kabinet Presiden Prancis François Hollande sebagai Menteri Hak-Hak Perempuan dan juru bicara pemerintah.

Mengaku Muslim

Dia mendukung pemerintah Prancis menekan Twitter untuk menyaring pidato kebencian yang ilegal di bawah hukum Prancis, seperti pidato yang homopobia. Mengenai pernikahan sesama jenis di Prancis, ia telah menyatakan bahwa legalisasinya adalah soal “perjalanan sejarah.”

Dia menggambarkan dirinya sebagai “Muslim yang tidak terlalu taat”. (answerafrika.com/wikipedia)

Baca juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home