Nasib Lapo Senayan Dkk Diusulkan Jadi Topik Debat Pilgub DKI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bakal tergusurnya rumah-rumah makan Batak atau Lapo Senayan serta sejumlah rumah makan khas daerah di Kawasan Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, ramai menjadi perbincangan belakangan ini. Rumah-rumah makan itu tergusur karena kontrak pemanfaatan lahan itu sudah habis. Tempat tersebut akan dimanfaatkan menjadi sarana penunjang olah raga Asian Games.
Namun, sejumlah pihak menganggap penggusuran seharusnya bukan satu-satunya alternatif. Apalagi fungsi dan peran kawasan tersebut selama ini dianggap sangat penting, dan telah menjadi bagian dari kekayaan sejarah DKI Jakarta.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dari Human Rights Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, menganggap seharusnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta turun tangan terhadap hal ini. Ia juga mengusulkan agar hal ini ditanyakan kepada kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam debat Pilkada.
"Ini adalah kekayaan Jakarta. Seharusnya pemerintah Jakarta turun tangan. Ketiga kandidat gubernur juga sebaiknya ditanya bagaimana mereka akan bantu para pedagang Senayan," kata Andreas kepada satuharapan.com.
Menurut informasi, kontrak sewa lahan yang dipakai oleh 'Pujasera Senayan' tempat Lapo Senayan dan kawan-kawan (Dkk) beroperasi, sudah berakhir per 15 Desember tahun lalu. Kontrak tersebut tidak diperpanjang karena di sana akan dibangun fasilitas penunjang Asian Games.
Informasi itu sudah disampaikan sejak November dan para pedagang harus mengosongkannya per 16 Desember. Setelah sempat terjadi penolakan, surat kedua pada 28 Desember datang dari pihak pengelola Gelora Bung Karno (GBK) yang memberi waktu bagi para pedagang hingga 15 Januari.
Para pedagang merasa batas waktu itu juga belum cukup. Lagipula mereka ingin ada dialog dengan pengelola GBK. Terakhir, menurut informasi, mereka diberi batas waktu hingga 28 Februari 2017.
Di kawasan ini ada 22 unit usaha yang mempekerjakan lebih kurang 200 orang. Lapo Senayan mungkin yang akan paling sulit untuk mendapat lokasi baru, karena belum tentu pemilik lahan memberi izin dipergunakan untuk makanan seperti yang dihidangkan oleh rumah makan Batak umumnya.
"Saya tentu sedih dengan ditutupnya pujasera tersebut. Saya sering makan di sana, dari mie ayam sampai masakan Medan. Saya tinggal di daerah Senayan sudah hampir 20 tahun. Saya mengerti tanah tersebut milik Gelora Senayan. Alangkah baiknya bila pemerintah Jakarta dan pihak Gelora Senayan membantu para pedagang ini diberi tempat baru," kata Andreas.
"Mereka sudah membantu social network puluhan tahun. Mereka saling membantu. Kadang juga bertengkar, namanya juga tetangga. Kadang juga bikin kacau dengan urusan parkir. Tapi mereka adalah network yang hidup. Jakarta akan kehilangan tempat makan ini bila ia disingkirkan begitu saja," tutur dia.
Andreas juga menggarisbawahi 'orang-orang penting' yang pernah menikmati peran pujasera ini.
"Pujasera ini terletak dekat DPR. Tentu bukan aneh bila lihat anggota DPR makan bubur ayam pagi hari di DPR. Saya beberapa kali jumpa Tjahjo Kumolo sarapan bubur ayam. Saya juga pernah bawa beberapa konglomerat dari New York, San Francisco maupun Eropa sarapan bubur ayam. Mereka suka sekali. Ini bankir maupun pendiri dotcom. Mereka naik pesawat pribadi ke Jakarta. Seorang anak mereka bahkan datang sendirian ke Senayan, naik taksi, agar bisa sarapan bubur ayam lagi," kata Andreas.
"Sayang sekali bila pemerintah tak memahami betapa hebatnya pujasera ini," tutur Andreas.
Bangladesh Minta Interpol Bantu Tangkap Mantan PM Sheikh Has...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM-Sebuah pengadilan khusus di Bangladesh pada hari Selasa (12/11) meminta organ...