Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 08:52 WIB | Rabu, 03 Februari 2016

Nasir Abbas: Deradikalisasi Harus Kedepankan Komunikasi

Direktur Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Dirjen Bimas Islam Kemenag), Mahasin (kanan) dan Pemerhati Sosial Keagamaan, Nasir Abas (kiri) pada Dialog Deradikalisasi Menangkal Terorisme, hari Selasa (2/2) di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh I, Jakarta. (Foto: Prasasta Widiadi).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pegiat sosial keagamaan Nasir Abbas mengemukakan bahwa berdasar pengalamannya menjalani proses deradikalisasi, saat ini yang harus lebih ditingkatkan intensitasnya adalah komunikasi.

"Deradikalisasi adalah komunikasi, dan negara harus membangun komunikasi yang intens dengan para narapidana maupun mantan narapidana terkait terorisme,” kata Nasir  pada Dialog Deradikalisasi Menangkal Terorisme, hari Selasa (2/2) di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh I, Jakarta.     

Nasir menilai komunikasi penting karena cara tersebut  lebih efektif daripada hukuman kurungan seumur hidup.

“Penjara seumur hidup atau hukuman mati tidak membuat mereka jera, apalagi tanpa komunikasi,”  kata dia.

Nasir Abbas

Sosok Nasir Abbas tidak asing lagi bagi Indonesia, karena dalam setiap perbincangan stasiun televisi swasta tentang aksi terorisme selalu menghadirkan laki-laki dari Johor Baru, Malaysia ini. Seperti tertuang dalam biografi Wikipedia menyebut bahwa Abbas adalah Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) yang membawahi wilayah Sabah Malaysia, Mindanao Filipina Selatan, dan Kalimantan Timur. Selama menjadi Ketua Mantiqi III JI, Nasir sempat berhubungan dengan buronan terorisme, Mas Slamet Kastari di Singapura.  

Nasir mengemukakan bahwa sesungguhnya dalam hati setiap narapidana kasus terorisme terdapat keinginan yang berbeda-beda dengan kelompok organisasi yang membaiatnya.

“Saat saya ditangkap, saya sempat bungkam kepada polisi karena saya menganggap bahwa lebih baik saya mati daripada membongkar semua ke pemerintah yang thogut (syaitan, red),” kata dia.

Nasir mengisahkan saat dia ditangkap dulu dia sempat berpikir untuk tidak berbicara, namun lama-kelamaan dia berubah karena melihat sebenarnya ada ketidaksamaan visi dan misi dalam organisasi yang dianggap terorisme, Jamaah Islamiyah.

Nasir menceritakan dia pernah menjadi guru bagi beberapa narapidana terorisme seperti Imam Samudra, Noordin M Top, Hambali, Mukhlas, Hasanuddin, Ali Ghufron dan Imam Samudera.

“Saat saya ditangkap, saya telah mengungkapkan kepada polisi bahwa saya termasuk yang tidak setuju dengan aksi yang ada, sementara kalau yang lain ada yang berprinsip lebih baik mati daripada ditangkap.  Itu menjadi smacam prinsip bagi mereka, karena malu,” Nasir menambahkan.

Nasir saat ditangkap dia melakukan perlawanan namun gagal, karena menurut dia Tuhan menunjukkan cara lain bagi dia dan untuk banyak orang.

“Saya berusaha merebut senjata polisi, karena saya berpikir lebih baik mati di jalan Allah. Tapi Allah mentakdirkan lain dan  saya mulai kebingungan,” kata dia.

Saat beberapa kali interogasi awal dia sempat berusaha membuat polisi marah yakni dengan diam dan mengatakan ‘Astaghfirullah Al’adzim’. Namun ternyata, prasangka Nasir salah, kepolisian Indonesia cukup sabar menanti Nasir berbicara yakni dengan cara lain.

“Salah satu polisi Indonesia bertanya ‘Pak Khaeruddin (nama samaran Nasir kala itu, red) sebenarnya tidak setuju kan dengan aksi pengeboman, pak Khaeruddin sebenarnya tidak suka kekerasan, kan’ nah dari pertanyaan itu saya mulai sadar,” kata dia.    

Nasir mulai sadar bahwa dia harus berbalik dan membantu keselamatan banyak orang yakni dengan membantu pihak kepolisian mengungkap jaringan besar terorisme.

Saat mendekam di balik terali besi, Nasir  menceritakan bawa ada sejumlah narapidana terorisme yang salah dalam menafsirkan salah satu ayat Al Quran. Salah satunya surat Al Anfal ayat 60.

Adapun bunyi ayat tersebut adalah "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berpegang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya."

Nasir mengemukakan bahwa banyak narapidana terorisme salah menerjemahkan kata ‘menggetarkan’.

“Mereka (narapidana terorisme, red) menerjemahkan dengan ‘meneror’,” kata dia.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home