Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 12:32 WIB | Rabu, 21 November 2018

Nenney Shushaidah, Perempuan Malaysia Penentu Pernikahan Poligami

Nenney Shushaidah. (Foto: Lead Women)

MALAYSIA, SATUHARAPAN.COM – Nenney Shushaidah, perempuan pertama yang menjabat sebagai hakim pengadilan tinggi syariah di Malaysia, masuk dalam daftar BBC 100 Women atas kiprahnya dalam melindungi perempuan di negara mayoritas Muslim tersebut.

Shushaidah mengeluarkan putusan untuk berbagai kasus, mulai dari kasus keuangan hingga pasangan belum menikah yang kedapatan berduaan di tempat sepi. Namun, keahliannya terletak pada hak asuh anak dan pernikahan poligami yang memungkinkan seorang pria memperistri hingga empat perempuan.

Menurut Shushaidah, ada banyak faktor yang dia pertimbangkan sebelum menentukan apakah seorang laki-laki bisa berpoligami.

“Setiap kasus kompleks dan berbeda. Anda tidak bisa menggeneralisir hukum Islam dan mengatakan hukum tersebut berpihak pada pria dan memperlakukan perempuan dengan buruk...Saya ingin mengoreksi pandangan keliru tersebut,” kata Shushaidah, dalam laporan Heather Chen dari BBC News, dari Shah Alam, Selangor, Malaysia.

Agar bisa bersikap adil, Shushaidah mengharuskan semua pihak yang terkait dalam pengajuan pernikahan poligami hadir di ruang sidang secara fisik.

“Saya ingin mendengar dari semua orang, tidak hanya dari laki-laki. Saya sengaja berbicara kepada perempuan untuk mengetahui apakah mereka sepakat dengan rencana pernikahan ini. Penting mereka setuju karena jika saya melihat ada tanda-tanda sebaliknya, maka saya tidak akan memberi persetujuan,” paparnya.

“Saya, perempuan, dan saya bisa paham bahwa kebanyakan perempuan tidak akan suka dengan gagasan ini (pernikahan poligami). Namun, ini diperbolehkan oleh Islam dan pengadilan Malaysia telah menegakkan aturan ketat untuk mengatur hal ini,” ia menjelaskan.

“Seorang pria harus punya alasan sangat kuat dalam menghendaki pernikahan lagi. Dia harus menunjukkan dia bisa mengurus kesejahteraan istri pertamanya dan perempuan berikutnya yang akan dinikahinya. Dia tidak diperbolehkan menelantarkan kebutuhan siapa pun.”

Shushaidah menambahkan, beberapa perempuan mendukung pernikahan poligami.

Sebagai contoh, ada kasus yang melibatkan seorang perempuan sakit yang tak lagi bisa mengandung anak, “Dia mencintai suaminya dan ingin agar saya memberikan persetujuan agar suaminya menikah lagi. Maka saya pun menyetujuinya.”

Kuatnya Kesan Patriarki

Shushaidah berkeras bahwa Islam bisa memberikan keadilan.

Akan tetapi, di lain pihak, sejumlah kalangan termasuk kelompok pelindung HAM berargumen bahwa hukum syariah sering kali diselewengkan.

“Kami tidak punya keberatan terhadap hukum syariah yang tidak mendiskriminasi perempuan, pria gay, atau minoritas sosial serta minoritas keagamaan,” kata wakil direktur Human Rights Watch di Asia, Phil Robertson, kepada BBC 100 Women.

“Masalahnya, hukum syariah di Malaysia kerap melakukan itu,” katanya, “Agama tidak pernah menjadi alasan yang diterima untuk melanggar standar-standar hak asasi manusia internasional dalam kesetaraan dan non-diskriminasi.”

Dalam pandangan Shushaidah, hukum syariah tidak selalu berpihak kepada pria.

“Hukum kami ada untuk melindungi hak perempuan. Hukum tersebut mengurus kesejahteraan mereka dan melindungi hidup mereka,” ujarnya.

“Islam menempatkan perempuan dalam tempat yang tinggi, dan sebagai hakim, kami harus kembali pada ajarannya dan mempertahankan kelayakannya menggunakan hukum syariah.”

Kekhawatiran utama Shushaidah terletak pada pria Muslim yang mencari jalan pintas dengan menikah di luar negeri.

“Pria itu tidak terjangkau oleh hukum di Malaysia jika dia menikah di luar negeri. Beberapa istri sebenarnya sepakat dengan hal ini untuk melindungi suami mereka, namun mereka tidak sadar bahwa itu merugikan mereka.”

“Hukum syariah kami ada untuk melindungi kepentingan perempuan dan membuat laki-laki bertanggung jawab.”

Kelompok-kelompok perempuan, seperti Sisters in Islam, menyoroti “sangat kurangnya perwakilan perempuan” di pengadilan dan “kuatnya kesan patriarki” dalam sistem hukum di Malaysia.

“Konteks hukum syariah di Malaysia tidak hanya mendiskriminasi perempuan secara selektif, tapi juga memojokkan mereka sebagai penyebab amoral sosial,” kata juru bicara Majidah Hashim.

“Institusi-institusi Islam negara…tak berbuat banyak guna memastikan perempuan mendapat keadilan yang sesuai. Faktanya, persekusi terhadap perempuan baru-baru ini melalui hukum syariah menunjukkan suara mereka dibungkam dan akses ke keadilan secara mengkhawatirkan diredam.”

Oleh karena itu, keberadaan Shushaidah di pengadilan tinggi syariah Malaysia merupakan hal yang signifikan.

“Dulu sebagian besar hakim syariah adalah laki-laki yang mempertanyakan apa pentingnya perempuan dalam praktik hukum,” kata Shushaidah.

“Saya tidak pernah bermimpi menjadi hakim. Sebagai pengacara, dulunya saya tidak tahu apakah saya bisa menduduki jabatan senior yang menangani kasus-kasus rumit. Dan sebagai perempuan, saya merasakan kekhawatiran dan rasa takut.”

“Kadang kala saya merasa tidak nyaman. Sebagai perempuan, saya pasti merasa dan saya berbohong jika saya mengatakan saya tidak merasa apa-apa.”

“Namun saya adalah seorang hakim dan saya harus memastikan saya selalu jelas dan objektif. Jadi, dalam penilaian saya, saya mencoba menanganinya. Saya harus bisa dengan bukti-bukti terbaik yang saya dapatkan di pengadilan.” (bbc.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home