Loading...
OPINI
Penulis: Gomar Gultom 01:40 WIB | Senin, 31 Maret 2014

Nias Bangkit: Menyambut Sidang Raya XVI PGI

SATUHARAPAN.COM - “Nias Bangkit!” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan di Nias sekarang ini. Setelah porak poranda diterjang gelombang tsunami pada Desember 2005 dan gempa bumi dahsyat Juli 2007, Nias bangkit dari keterpurukannya. Hari-hari belakangan ini, geliat ekonomi sungguh menggembirakan. Pemekaran wilayah otonom turut mendorong hal ini.

Gairah ekonomi ini bisa diukur, salah satunya, dari mobilitas warga. Sebelum tsunami, hanya ada satu kali penerbangan menuju Nias: Susi Air dari Medan, itupun dengan pesawat kecil berpenumpang belasan orang. Kini Medan-Nias dilayani oleh enam penerbangan per hari dengan kapasitas masing-masing 70 tempat duduk.

Di sinilah pada Nopember mendatang akan digelar Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (SR-PGI). Pemilihan Nias sebagai lokasi SR-PGI bukanlah sesuatu yang kebetulan. Pemilihan tempat ini dilatari oleh solideritas gereja-gereja di Indonesia atas pengalaman getir Nias di waktu lalu, dan sekaligus ungkapan syukur atas anugerah Tuhan yang memampukan Nias bangkit dari keterpurukannya. Tetapi di sisi lain juga, gereja-gereja di Indonesia hendak belajar dari kebangkitan Nias, sehingga gereja-gereja di Indonesia, bersama seluruh komponen bangsa, bisa bangkit bersama membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Dengan latar itulah SR-PGI ke-16 ini mengambil tema “Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya”, sebuah refleksi atas kesaksian pemazmur yang mengalami sendiri pertolongan Tuhan atas hidupnya dalam mengarungi samudera kehidupan. Dan Nias, adalah juga saksi hidup atas kemahakuasaan Tuhan, yang telah mengangkat Nias dan bangkit dari terjangan samudera raya.

Masyarakat dan bangsa Indonesia kini juga sedang menghadapi samudera kehidupan dengan makin terpinggirkannya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan makin sirnanya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dengan makin merebaknya kemiskinan, ketidak-adilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Melalui SR-PGI ini, gereja-gereja di Indonesia –dengan belajar dari Nias yang bangkit—hendak mengajak seluruh komponen bangsa membaharui komitmennya mengamalkan nilai-nilai Pancasil. Itulah sebabnya, subtema dirumuskan sebagai berikut: “Dalam Solideritas dengan Sesama Anak Bangsa, Kita tetap Mengamalkan Nilai-nilai Pancasila guna Menanggulangi Kemiskinan, Ketidak-adilan, Radikalisme dan Kerusakan Lingkungan”.

Mari kita lihat tantangan itu:

Kemiskinan. Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia berdasarkan jumlah penduduk. Namun posisi ini berbanding terbalik dengan HDI, nomor 129 berdasarkan laporan UNDP pada 2011. Hal ini mengakibakan Indonesia sulit keluar dari masalah kemiskinan. Jumlah penduduk besar dan berkualitas merupakan modal pembangunan, sementara jumlah besar tapi kurang berkualitas, seperti Indonesia, akan menjadi beban pembangunan. Hal ini masih diperpelik lagi dengan tingkat korupsi yang begitu hebat. Menurut laporan International Transparency, Indonesia menduduki posisi 117 negara-negara berdasarkan index perception corruption.

Menurut laporan pemerintah, pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini cukup tinggi dan iklim investasi pun cukup menjanjikan. Namun gaung pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan ini nyaris tak terlihat dalam hidup keseharian penduduk, terutama di luar Jawa. Angka kemiskinan tetap tinggi dan tingkat pengangguran pun cukup menguatirkan.

Ketidak-adilan. Pertumbuhan ekonomi yang baik sebagaimana diklaim oleh pemerintahan pada kenyataannya hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah atas. Kesenjangan kaya dan miskin masih terlihat sebagaimana diekspresikan dengan adanya bantuan langsung uang tunai keada masyarakat. Ketidak-adilan ekonomis ini juga diikuti dengan berbagai praktek diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Penegakan hukum hanya efektif bagi mereka yang kuat, sementara hak-hak mereka yang lemah acap terabaikan.

Makin menguatnya radikalisme. Indonesia sebagai masyarakat majemuk adalah suatu kenyataan sejarah yang sudah kita warisi sejak pembentukan negara RI. Salah satu hal yang mampu mengikat masyarakat harmonis di tengah kemajemukan tersebut adalah semangat toleransi. Sangat disayangkan, sekitar satu setengah dekade terakhir ini, kehidupan yang harmonis dan saling menghargai itu sedikit banyak terusik dengan semakin mengentalnya semangat sektarianisme dan penggunaan simbol-simbol agama dalam penataan kehidupan bersama. Hal ini, misalnya, terlihat dengan semakin menguatnya kecenderungan memperjuangkan aspirasi lewat partai-partai berbasis agama, munculnya produk-produk hukum dan kebijakan negara yang berbasis agama dan cenderung menggeser ideologi Pancasila sebagai dasar negara.

Kecenderungan ini semakin menguatirkan kini, ketika dalam realitas kehidupan sesehari, semangat kebersamaan di tengah masyarakat majemuk ini semakin tergerus oleh semangat intoleransi. Semangat intoleransi ini paling nyata mewujud dalam berbagai kasus-kasus penutupan gereja, penghancuran ekspresional budaya lokal dan pemberangusan kelompok-kelompok minoritas di berbagai tempat di Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Banten. Berbagai gereja dan tempat ibadah serta kelompok-kelompok agama minoritas yang selama beberapa tahun aman tentram bersama masyarakat di sekitarnya, tiba-tiba mendapat gangguan dari sekelompok orang yang hadir dengan panji-panji agama.

Konflik Agraria dan Krisis Ekologis. Saat ini di berbagai wilayah di Indonesia sedang marak terjadi konflik agraria antara masyarakat yang mempertahankan hak-haknya berdasarkan hak milik masyarakat adat berhadapan dengan rejim sertifikasi. Konflik-konflik ini tak jarang juga menimbulkan korban nyawa dan melibatkan aparat negara yang membekingi para pemilik modal perkebunan ataupun pertambangan atas konsesi HPH yang diberikan oleh negara. Hanya berdasarkan selembar surat keputusan Menteri Kehutanan – yang tak jarang hanya dibuat sepihak – satu komunitas desa dapat terusir dari pemukiman dan lahan pertanian yang sudah mereka huni dan usahakan selama beberapa generasi. Konflik-konflik agraria diperkirakan akan masih terus berlanjut mengingat eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan dan pemenuhan ekonomi masih terus terjadi sementara lahan yang tersedia sangat terbatas.

Di sisi lain hal ini juga akan makin menggerus sumberdaya alam sekitar kita. Pola pembangunan yang tidak ramah lingkungan seperti perluasan kebun sawit dan tanaman industri lainnya serta pertambangan telah menyebabkan kondisi alam semakin rusak. Hal ini ditambah lagi dengan perilaku masyarakat yang turut menyumbang bagi kerusakan lingkungan seperti penggunaan plastik, produksi sampah dan pemborosan enerji tak terbarukan dan lain-lain.

Keempat isu tersebut merupakan sebagian dari samudera kehidupan yang melingkupi kehidupan kita sekarang ini, yang untuk itu gereja-gereja di Indonesia diharapkan hadir. Dan Sidang Raya, diharapkan mampu menjadi inspirasi batin yang mengarahkan gereja-gereja turut memampukan bangsa ini keluar dari samudera kehidupan tersebut.

 

Penulis adalah Sekretaris Umum PGI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home