Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 15:02 WIB | Rabu, 15 Oktober 2014

Nobel untuk Malala dan Kemuraman Perempuan Pakistan

Malala Yousafzai, peraih Nobel Perdamaian 2014 atas keberaniannya memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak perempuan di Swat, Pakistan. (Foto: dok./ist.)

ISLAMABAD, SATUHARAPAN.COM -  Saima Bibi baru berusia 13 ketika dia menikah untuk melunasi utang budi, sebuah  kebiasaan umum yang terjadi di Lembah Swat, wilayah di barat laut Pakistan, di mana pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2014, Malala Yousafzai dibesarkan.

Dia seorang pelajar yang meraih nilai tertinggi di kelasnya. Namun Bibi terpaksa putus sekolah dan melepaskan impiannya di dunia pendidikan.

Sekarang dia berusia 22 tahun, dan mengatakan bahwa Malala telah memberinya "keberanian" untuk berbicara dengan suami dan mertua untuk kembali ke sekolah, meskipun dia telah memiliki empat anak.

"Ketika gambar Malala tampil di surat kabar, semua orang dalam keluarga saya menggunakan untuk mengatakan bahwa hal itu adalah konspirasi melawan Islam. Tapi sejak awal saya menyukainya,” katanya kepada AFP pada kunjungan ke dokter di Mingora, kota utama di Lembah Swat.

Penghargaan Nobel Perdamaian untuk Malala yang berjuang untuk hak pendidikan anak-anak, khususnya anak perempuan, terlihat kontras dengan kemuraman kaum perempuan di sana, terutama di Lembah Swat.

Penghargaan Nobel yang bergengsi itu banyak didambakan oleh banyak negara, namun yang diterima Malala juga dicela oleh beberapa kalangan di Pakistan. Mereka menganggap hal itu mencoreng reputasi Pakistan di luar negeri. Namun demikian banyak juga  pujian dari para pemimpin politik dan pers.

Tampilnya Malala sebagai penerima Nobel Perdamaian membawa Pakistan pada sorotan yang tajam tentang  tingkat melek huruf dan masuk pendidikan untuk anak-anak, khususnya anak perempuan.

Malala, gadis remaja yang sekarang berusia 17 tahun itu terpaksa meninggalkan negaranya setelah ditembak di kepalanya oleh orang-orang Taliban bersenjata dua tahun lalu. Di Pakistan, jutaan anak-anak lain kehilangan sekolah, karena mereka lebih berharga bagi keluarga mereka untuk mengemis, bekerja di ladang, atau menikah untuk mendapatkan mahar.

Taliban menghancurkan ratusan sekolah ketika mereka memerintah wilayah Swat  pada kurun 2007-2009. Namun sekarang para militan sebagian besar telah terdesak untuk kembali ke tempat persembunyian di wilayah kesukuan di Pakistan, dan masalah keamanan masih bercokol di sana.

Sekarang ini, sekitar 25 juta anak-anak usia lima hingga 16 tahun di Pakistan berada di luar sekolah, 14 juta di antara mereka adalah perempuan, menurut Alif Ailaan, sebuah kelompok untuk kampanye pendidikan.

 Sekolah Hantu

Seorang warga, Sumera Khan, mengatakan bahwa dia terpaksa drop out setelah kelas delapan. Namun hal itu bukan karena pernikahan, melainkan karena kurangnya sekolah di mana dia dibesarkan.

"Saya suka belajar tapi ... tidak ada sekolah tingkat menengah untuk anak perempuan di desa saya," kata perempuan berusia 21 tahun kepada AFP di Mingora. Ketika itu dia tengah menyiapkan makan malam di rumah sementara kedua anaknya tengah bermain di lantai .

"Keluarga saya tidak mengizinkan saya untuk melanjutkan pendidikan dengan anak laki-laki di kelas yang lebih tinggi," kata dia menambahkan.  Khan juga mengatakan bahwa dia terinspirasi oleh Malala.

"Dia memberi saya keberanian untuk melanjutkan studi saya dan sekarang saya berencana untuk belajar secara pribadi... Saya akan mengangkat suara untuk diri saya sendiri seperti Malala."

Angka-angka resmi menunjukkan 69 persen anak laki-laki dan 44 persen anak perempuan yang terdaftar di sekolah dasar di Swat. Namun angka  itu turun menjadi hanya lima dan dua persen pada saat mereka lulus sekolah menengah pada usia 14 tahun dan masukkan pendidikan menengah. Hal ini secara luas mencerminkan tren nasional di Pakistan.

Iffat Nasir, seorang pejabat senior di bidang pendidikan, mengatakan bahwa mayoritas gadis-gadis putus sekolah sekitar usia 13 tahun untuk menikah. Sementara itu, sulit bagi siswa di daerah pedesaan untuk mengakses lembaga pendidikan.

Selain itu, ada kemiskinan di wilayah tersebut, sehingga anak-anak mulai bekerja di bidang bordir dan menjahit setelah lulus sekolah dasar," katanya.  "Keluarga juga menggunakannya untuk pekerjaan rumah tangga."

Isu tersebut tidak terbatas untuk Swat di barat laut Pakistan yang didera pemberontakan kelompok Islam Taliban di negara itu. Kurangnya investasi yang kronis menyebabkan adanya sekitar 7.000 "sekolah hantu" di sana.

Istilah itu digunakan untuk menyebutkan banyak bangunan sekolah berdiri, tetapi tidak ada yang diajarkan di kelas. Pelajaran di kelas juga tidak mungkin dilakukan, karena kurangnya guru.

Dukungan Ayah

Gadis yang mampu mengatasi rintangan dalam mendapatkan pendidikan sering bergantung pada sosok laki-laki yang kuat, seperti ayah Malala Yousafzai, Ziauddin. Dia menghadapi pertentangan dari dalam keluarga mereka sendiri.

Fazeelat Akbar, seorang dokter berusia 32 tahun, mengatakan bahwa dia berharap keberhasilan Malala akan membantu lebih banyak orang mengubah pikiran mereka.

"Saya  memaksa keluarga saya untuk membiarkan saya melanjutkan pendidikan saya setelah SMA. Saya bertekad untuk melanjutkan studi saya, dan untungnya ayah mendukung saya," katanya.

Para pengamat berharaphal baik terkait hadian Nobel Perdamaian untuk Malala dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nasib semua anak sekolah, meskipun banyak pihak yang pesimistis.

"Saya tidak berpikir (pemerintah) akan merasa terpanggil untuk bangun dan berkata, “O Malala memenangkan Nobel, sekarang kita harus membuat prioritas," kata penulis feminis, Bina Shah.

"Mereka akan mengatakan bahwa" Ini bagus, kami bangga padanya dan mereka akan kembali untuk melakukan hal yang sama. "

AFP di klinik itu menanyai suami Saima Bibi, Javed Alam, tentang apa yang akan dilakukan untuk istrinya dalam menyelesaikan sekolahnya. "Saya berpikir tentang hal itu, dan saya akan membiarkan dia mendapatkannya," katanya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home