Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 19:55 WIB | Rabu, 22 Oktober 2014

Orang dengan Gangguan Jiwa, Bisakah Kembali ke Masyarakat?

Orang dengan Gangguan Jiwa, Bisakah Kembali ke Masyarakat?
Para pasien di dalam barak bersekat yang kondisi sakit mentalnya masih sekitar 80 persen tingkat kekambuhan. (Foto-foto: Kartika Virgianti)
Orang dengan Gangguan Jiwa, Bisakah Kembali ke Masyarakat?
Pasien yang diperbolehkan berada di luar barak, kondisinya sudah 30 persen.
Orang dengan Gangguan Jiwa, Bisakah Kembali ke Masyarakat?
Kepala Perawat Yayasan Galuh, Jajat Sudrajat saat meninjau kondisi pasien.

SATUHARAPAN.COM – Skizofrenia atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), yang dalam stigmanya disebut gila, cenderung dikaitkan dengan mitos atau penyakit yang di luar nalar. Namun hal yang belum diketahui banyak orang, bahwa penderita skizofrenia dapat pulih kembali apabila mendapat dukungan penuh terutama dari keluarganya serta lingkungan masyarakat tempat ia tinggal.

Kepala Perawat Panti Rehabilitasi Disabilitas Mental Yayasan Galuh, Jajat Sudrajat mengatakan bahwa ada sekitar lebih kurang 30 persen pasien yang dirawat sembuh per tahunnya, dalam sebulan minimal ada dua pasien yang sembuh.

“Sembuh dalam arti mereka dapat kembali lagi ke masyarakat untuk berkarya. Bagaimana pun juga, selalu ada proses untuk kesembuhan jiwa, terkadang ada masanya pasien yang telah dinyatakan sembuh itu kembali kumat,” ungkap Jajat yang ditemui di Yayasan Galuh, Jalan Cut Mutiah Kp.Sepatan Gg. Bambu Kuning No. 9, Bekasi, Jawa Barat, Senin (20/10).

Namun hal yang terpenting, lanjut Jajat, yayasan yang kini telah berada di bawah naungan Dinas Sosial Pemkot Bekasi itu terus berupaya agar para pasiennya bisa beradaptasi kembali dengan lingkungan, bersosialisasi dengan masyarakat, sampai bekerja.

Profesi mereka berbeda-beda, misalnya yang sebelumnya bekerja sebagai karyawan kantor dapat kembali lagi ke profesi itu, lainnya ada yang berdagang, dan lain sebagainya.

Terkadang ada beberapa pasien yang meskipun sudah sembuh tetap ingin tinggal di yayasan yang diketuai oleh Suhanda ini. Maka, yayasan pun memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkarya, yaitu dengan membantu Yayasan Galuh sendiri, misalnya membantu juru masak, bersih-bersih, dan lain sebagainya.

Menurut Jajat, faktor yang menyebabkan gangguan jiwa, salah satunya adalah masalah keluarga, entah karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kurangnya keterbukaan, ketidakharmonisan, sebab lainnya yaitu ekonomi, contohnya pasien tidak bisa terima kenyataan dari yang tadinya kaya tiba-tiba menjadi miskin. Dan, penyebab dominan yang ditemui pada pasien di Yayasan Galuh adalah faktor kondisi keluarga.

Ketika Pemkot Bekasi melakukan sweeping (penertiban) terhadap gepeng (gembel dan pengemis, Red), akan dikarantina terlebih dahulu di Dinas Sosial Pemkot Bekasi, apabila terdapat gangguan jiwa, dinas langsung berkoordinasi dengan Yayasan Galuh untuk dirawat di panti rehabilitasi mental tersebut, sebagaimana diuraikan Jajat.

Di Kota Bekasi sendiri, menurut Jajat hanya Yayasan Galuh yang dalam memberikan layanan rehabilitasi cacat mental, bersifat sosial (dalam arti tidak menetapkan tarif tertentu). Sementara layanan seperti ini ada juga yang diberikan oleh swasta, namun tentu dengan ditetapkannya tarif tertentu, dan biasanya tidak bisa menerima pasien dari jalan. Yayasan galih kini berada di bawah naungan Dinas Sosial Pemkot Bekasi.

Terdapat 290 pasien yang kondisinya berbeda-beda, ada yang dirawat intensif di panti, ada pula yang datang-pulang atau pulang dengan dijemput keluarga. Apabila kondisinya sudah stabil (terlihat dari emosi, tingkah laku, dan aspek lainnya), pasien ada yang diperbolehkan pulang sendiri dengan diberikan ongkos dari yayasan.

Sayangnya, meskipun telah dinyatakan sembuh, dikatakan Jajat, terkadang ada masanya pasien itu kembali mengalami kondisi kambuh (relapse), dan kembali harus mendapat perawatan di pusat rehabilitasi mental. Namun hal ini memang merupakan bagian dari proses kesembuhan jiwa bagi seorang penderita skizofrenia.

Apa Itu Skizofrenia?

Skizofrenia merupakan penyakit kronis di mana penderita kesulitan memproses pikirannya, sehingga timbul halusinasi(mendengar, melihat, merasakan hal-hal yang tidak dapat dilakukan orang normal), delusi (memiliki keyakinan kuat akan sesuatu yang tidak nyata akibat tidak mampu memisahkan realitas dengan khayalan), pikiran yang tidak terorganisir (tidak jelas), serta tingkah laku dan bicara tidak wajar, sebagaimana dijelaskan dalam press release ‘Hari Kesehatan Jiwa 2014’.

Gejala tersebut dikenal sebagai gejala psikotik yang menyebabkan penderita skizofrenia mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain, bahkan menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar.

Ketika gejalanya bertambah buruk, episode yang dikenal dengan istilah kambuh (relapse) akan muncul secara berulang-ulang. Gejala skizofrenia bervariasi dari satu orang ke yang lainnya. Pertama, gejala positif yaitu mengalami halusinasi, delusi, pikiran tidak terorganisir, agitasi. Kedua, gejala negatif yaitu hilangnya semangat dan motivasi, menarik diri dari orang lain, apatis, perasaan kosong, hilangnya respons emosi sehingga menjadi sangat datar.

Ketiga, gejala afektif yaitu berkaitan denagn mood misalnya perasaan depresi, ksepian, kecemasan, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Keempat, gejala kognitif berupa kesulitan konsentrasi, berkurangnya daya ingat, hilang fokus perhatian, lamban berpikir, lamban memahami.

Sebanyak 10 persen orang dengan gangguan penyakit ini berakhir  bunuh diri. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada remaja atau dewasa muda, walau pun ada juga yang baru muncul pada usia 40-an tahun.

Tidak ada satu pun penyebab pasti skizofrenia, maka skizofrenia tidak bisa disamakan dengan penyakit seperti diabetes atau jantung. Banyak faktor yang ketika datang secara bersamaan, berkontribusi menyebabkan terjadinya skizofrenia, antara lain faktor genetis, kondisi pra-kelahiran, cedera otak, trauma, tekanan sosial, stres, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, dan faktor lainnya yang berdampak begatif bagi individu.  

Dampak Skizofrenia

Skizofrenia ternyata tidak hanya berdampak pada si penderita, melainkan keluarga dan masyarakat sekitarnya juga terkena dampak. Bagi penderita, mereka akan mengalami penurunan kemampuan interaksi sehinggan kesulitan berhubungan dengan teman-temannya, bahkan berdampak pada perkembangan karir si penderita. Selain itu kondisi fisik dan mental pun semakin memburuk, tidak nafsu makan, banyak merokok dan minum alkohol, olelh karena itu banyak penderita yang merasa kecewa terhadap keadaannya.

Bagi keluarga, mereka harus menghabiskan 15 jam setiap hari untuk mengawasi penderita skizofrenia, karena penderita selalu membutuhkan pengawasan intensif. Hal ini membuat keluarga merasa sangat lelah, karena pekerjaan mereka, kehidupan sosial dan kehidupan berkeluarga mereka ikut terganggu.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan berat di Indonesia terdapat di empat daerah utama yakni Jakarta 2,03 persen, Aceh 1,85 persen, Sumatera Barat 1,67 persen, Jawa Barat 0,22 persen.

Pengobatan

Belum ada satu pun terapi yang dapat menyembuhkan skizofrenia, namun kekambuhan penyakit ini dapat dicegah dan dikendalikan dengan terapi yang tepat, apalagi jika dilakukan pada gejala awal penyakit.

Terapi skizofrenia biasanya merupakan kombinasi antara pengobatan dan psikoterapi, dan harus dilakukan jangka panjang. Pengobatan diperlukan untuk menurunkan tingkat kekambuhan, sedangkan psikoterapi diperlukan untuk membantu pasien memahami, menerima, dan menjalani penyakitnya.

Terapi skizofrenia melibatkan tim kesehatan yang terdiri atas dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater, perawat, dan pekerja sosial. Selain itu pihak keluarga pasien harus bersedia bekerja sama untuk mengatasi penyakit tersebut.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home