Loading...
BUDAYA
Penulis: Reporter Satuharapan 10:39 WIB | Kamis, 28 Februari 2019

Oscar 2019: Kisah tentang Pembalut di India yang Menang Penghargaan

Rayka Zehtabchi dan Melissa Berton, penggarap film dokumenter pendek "Period" yang berkisah tentang pembalut di India, meraih Piala Oscar dalam malam penghargaan yang berlangsung di Los Angeles, 24 Februari 2019. (Foto: CNBC/Kevin Winter/Getty Images)

INDIA, SATUHARAPANN.COM – Sebuah film tentang remaja perempuan di India yang membuat pembalut menstruasi baru saja memenangi Piala Oscar untuk kategoi film dokumenter pendek terbaik. Wartawan BBC Geet Pandey bertemu langsung dengan para perempuan di desa itu, sebelum ajang penghargaan itu berlangsung. Berita ini dilansir di bbc.com, 27 Februari 2019.

Sneh berusia 15 tahun ketika mulai menstruasi. Kali pertama datang bulan, dia sama sekali tak memahami apa yang terjadi dengannya.

“Saya sangat takut. Saya pikir saya mengidap sakit yang serius dan mulai menangis,” ujarnya, ketika Gett Pandey menyambangi rumahnya di Desa Kathikhera, tak jauh dari ibu kota Delhi.

“Saya tidak memiliki keberanian untuk memberitahu ibu saya, lalu saya mengungkapkan isi hati kepada bibi saya. Dia berkata: 'Kamu perempuan dewasa sekarang, jangan menangis, hal ini normal.' Dia yang kemudian memberitahu ibu saya.”

Sneh, yang kini berusia 22 tahun, sudah beranjak jauh dari titik itu. Dia bekerja di sebuah pabrik kecil di desanya yang membuat pembalut dan menjadi tokoh protagonis dalam film Period. Sebuah film dokumenter yang menjadi pemenang film dokumenter terbaik tahun ini dalam ajang Oscar.

Dia pun menghadiri upacara penghargaan di Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (24/2/2019) waktu setempat.

Penggalangan Dana Mengirim Mesin Pembuat Pembalut

Film ini muncul setelah sebuah kelompok mahasiswa di Hollywood Utara memanfaatkan penggalangan dana atau crowdfunding untuk mengirim mesin pembuat pembalut - dan menerbangkan sutradara film campuran Iran-Amerika, Rayka Zehtabchi ke Desa Kathikhera.

Berjarak 115km dari Delhi, desa yang terletak di Distrik Hapur adalah dunia yang jauh dari mal mewah dan gedung-gedung tinggi di ibu kota India. Biasanya, desa ini bisa ditempuh selama dua setengah jam perjalanan dari Delhi, namun pekerjaan konstruksi di jalan raya memperlambat perjalanan itu, membuat waktu tempuhnya menjadi empat jam.

Dan perjalanan 7,5km terakhir ke desa dari Kota Hapur ditempuh dengan penuh perjuangan, melalui jalan-jalan berliku sempit yang dibatasi oleh aliran sungai di kedua sisi.

Film dokumenter ini mengambil tempat di peternakan dan ladang - dan ruang kelas - di Kathikhera. Seperti di bagian lain India, menstruasi adalah topik yang tabu; perempuan yang sedang menstruasi dianggap tidak murni dan dilarang memasuki tempat-tempat keagamaan dan sering kali dikecualikan dari kegiatan sosial juga.

Dengan banyaknya stigma sekitar isu itu, tak mengherankan Sneh tidak pernah mendengar tentang menstruasi sebelum akhirnya dia mengalaminya sendiri.

“Itu bukan suatu topik yang dibicarakan -bahkan di antara para gadis,” ujarnya.

Namun, hal itu perlahan mulai berubah ketika sebuah badan amal di bidang kesehatan reproduksi, Action India, mendirikan unit pabrik pembalut di desanya.

Pada Januari 2017, Sneh diajak Suman, tentangganya yang bekerja di Action India, untuk bekerja di pabrik itu.

Seorang sarjana yang bermimpi untuk bekerja sebagai polisi di Delhi suatu saat nanti, Sneh menuturkan dia sangat tertarik dengan tawaran itu. Lagi pula, “tidak ada lapangan pekerjaan lain” di desanya.

“Ketika saya minta izin ibu, dia berkata, ‘tanya ayahmu’. Di keluarga kami, semua keputusan penting harus diputuskan oleh seorang pria.”

Dia sangat malu ketika harus memberitahu ayahnya bahwa dia akan bekerja membuat pembalut, jadi dia mengatakan kepada ayahnya bahwa dia akan membuat popok bayi.

“Baru dua bulan kemudian, ibu memberitahu ayah saya bahwa saya membuat pembalut,” ujarnya sambil tertawa.

Dan ayahnya berujar, ”Tak apa, pekerjaan adalah pekerjaan.”

Kini, sebanyak tujuh perempuan, berusia antara 18 dan 31 tahun, bekerja di unit itu. Mereka bekerja dari pukul 9 pagi hingga 5 sore selama enam hari dalam seminggu dan mendapat gajii sebesar 2,500 rupee, atau hampir Rp500.000 tiap bulannya. Pabrik itu menghasilkan 600 pembalut tiap harinya dan produk itu dijual dengan merk Fly.

“Masalah terbesar yang kita hadapi adalah pemadaman listrik. Terkadang kami harus kembali pada malam hari untuk bekerja ketika listrik menyala untuk memenuhi target produksi,” kata Sneh.

Bisnis kecil yang dijalankan dari rumah dengan dua kamar di desa itu telah membantu meningkatkan kebersihan perempuan. Sebelum didirikan, sebagian besar perempuan di desa itu menggunakan potongan kain yang dipotong dari sari tua atau seprai ketika mereka mengalami menstruasi, sekarang 70 persen menggunakan pembalut.

Produk ini juga menghilangkan stigma tentang menstruasi dan mengubah sikap masyarakat konservatif dengan cara yang tidak terbayangkan beberapa tahun yang lalu.

Sneh mengatakan menstruasi sekarang dibahas secara terbuka di kalangan perempuan. Tapi, katanya, itu pun bukan perjalanan yang mudah.

“Awalnya sulit. Saya harus membantu ibu saya mengerjakan pekerjaan rumah, saya harus belajar dan melakukan pekerjaan ini. Kadang-kadang selama ujian, ketika tekanannya terlalu banyak, ibu saya menggantikan saya bekerja,” katanya .

Ayahnya, Rajendra Singh Tanwar, mengatakan “sangat bangga” terhadap putrinya. “Jika pekerjaannya bermanfaat bagi masyarakat, terutama perempuan, maka saya merasa senang karenanya.”

Pada awalnya, para perempuan menghadapi keberatan dari beberapa penduduk desa yang curiga dengan apa yang terjadi di pabrik itu. Dan, ketika kru film tiba di desa itu, mereka terus menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh para kru.

Beberapa di antara mereka, seperti Sushima Devi yang berusia 31 tahun, masih harus menghadapi perjuangan di rumahnya.

Ibu dari dua orang anak itu mengatakan suaminya menyetujui di bekerja di pabrik itu setelah ibu Sneh minta izinnya. Suaminya juga bersikeras dia harus menuntaskan pekerjaan rumahnya terlebih dulu sebelum bekerja di pabrik.

“Jadi aku bangun pada pukul 5 pagi, membersihkan rumah, mencuci pakaian, memberi makan ternak, meramu bahan bakar memasak kami yang dibuat dari kotoran ternak, mandi, membuat sarapan dan makan siang sebelum saya pergi dari rumah. Sore harinya, saya langsung memasak makan malam ketika sampai di rumah.”

Namun, suaminya masih tidak senang dengan jadwal ini. “Dia sering kali marah. Dia berkata pekerjaan di rumah sudah cukup, mengapa kamu kerja di luar rumah? Tetangga saya juga mengatakan ini bukan pekerjaan yang bagus, mereka juga menyebut gaji yang saya peroleh sangat kecil.”

Dua tetangga Sushima sempat bekerja di pabrik itu, tapi memutuskan berhenti beberapa bulan kemudian. Namun, Sushima tidak memiliki minat untuk mengikuti jejak mereka. “Bahkan jika suami saya menghajar saya, saya tidak akan meninggalkan pekerjaan saya. Saya menikmati bekerja di sini.”

Piala Oscar, Mimpi dengan Mata Terbuka

Dalam film dokumenter Period, Sushima menyebut dia menyisihkan uang yang dia hasilkan untuk membeli baju bagi adik lelakinya. “Jika saya tahu film ini akan ada di Oscar, saya pasti akan mengatakan sesuatu yang terdengar lebih pintar,” ujarnya seraya tertawa.

Bagi Sushima, Sneh, dan rekan kerja mereka, nominasi Oscar telah menjadi dorongan besar. Film yang tersedia di layanan streaming Netflix ini kemudian memenangi Piala Oscar kategori Dokumenter Pendek Terbaik.

Ketika Sneh bersiap untuk pergi ke Los Angeles, tetangganya menghargai “gengsi dan ketenaran” yang ia bawa ke desanya.

“Tidak ada seorang pun dari Desa Kathikhera yang pernah bepergian ke luar negeri, jadi saya akan menjadi orang pertama yang melakukannya,” katanya. “Saya sekarang dikenal dan dihormati di desa, orang mengatakan mereka bangga pada saya.”

Sneh mengatakan mendengar tentang Oscar dan tahu itu adalah penghargaan film terbesar di dunia. Tetapi dia tidak pernah menonton ajang penghargaanya, dan tentu saja tidak berpikir bahwa suatu hari dia akan berada di karpet merah.

“Saya tidak pernah berpikir saya akan pergi ke Amerika. Bahkan sekarang saya tidak dapat sepenuhnya mencerna apa yang terjadi. Bagi saya, nominasi itu sendiri adalah sebuah penghargaan. Ini adalah mimpi yang saya impikan dengan mata terbuka.”

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home