Loading...
SAINS
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 12:54 WIB | Rabu, 22 Februari 2017

Pakar UGM: Normalisasi Sungai Tak Berarti DKI Bebas Banjir

Genangan air di Jakarta. (Foto: ugm.ac.id)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar teknik sumber daya air Universitas Gadjah Mada (UGM), Budi Santoso, menilai, walaupun Jakarta sudah menormalisasi sungainya, tetapi bukan berarti dapat benar-benar terbebas dari ancaman banjir.

“Meskipun sungai sudah dinormalisasi, tapi kalau bagian hulunya tidak dikendalikan limpasan hujannya, atau pun Jakarta tidak dapat mengendalikan ekstraksi air tanahnya sehingga subsidence muka tanahnya tidak terkendali, maka banjir akan tetap terjadi di Jakarta. Apalagi, apabila kapasitas sungainya mengecil,” ujar Budi di Yogyakarta, hari Rabu (22/2).

Ia menilai, keadaan di Jakarta diperparah pada saat elevasi muka air tempat pembuangan air sungai di pantai utara Jakarta semakin lebih tinggi dari muka tanah Jakarta utara (akibat penurunan muka tanah yang berlebihan atau pun karena kenaikan muka air laut, efek perubahan iklim). Akibatnya, akan semakin kecil kapasitas pembuangan sungai-sungai di Jakarta ke laut, kecuali dibantu oleh pompa.

Menurutnya, banjir dan kekeringan seperti dua sisi mata uang. “Kalau suatu saat jumlah limpasan air terlalu besar dan terjadi banjir, berarti air yang diresapkan ke bumi semakin sedikit, sehingga cadangan air di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan di waktu musim kemarau juga akan semakin sedikit. Oleh karena itu, perlu keterpaduan antara upaya konservasi air, upaya pemanfaatan air serta pengendalian banjir.”

Kombinasi tanggul dan pompa yang dikenal sebagai konsep polder, lanjut dia, dapat dipakai untuk mengatasi banjir di beberapa tempat yang elevasi muka air tanahnya lebih rendah daripada muka air laut. 

“Pada folder-folder tersebut proses pengelolaan airnya dipisahkan dari daerah yang mempunyai muka tanah yang lebih tinggi dari muka air laut,” ujar dia.

Budi juga melihat di daerah yang sangat landai seperti Jakarta, energi yang mengalirkan air ke muara ditentukan oleh elevasi muka air di hulu dan elevasi muka air di laut, dan kemiringan yang sangat kecil. Dengan begitu, pada saluran drainase di daerah yang sangat kecil kemiringan energinya, kapasitas saluran dapat ditingkatkan dengan memperlebar saluran bukan memperdalam saluran.

“Semakin padat pemukiman, semakin sedikit daerah resapan atau daerah genangan (untuk menunda air masuk ke sungai) maka akan semakin besar jumlah air yang harus segera dibuang,” ucap Budi.

Menurutnya, penanggulangan banjir merupakan salah satu bagian dari pengelolaan sumber daya air yang harus dilakukan secara terpadu (integrated water resources management),  yakni terkait dengan siklus hidrologi, sejak air hujan jatuh ke bumi, meresap kedalam tanah, menguap, mengalir di permukaan dari hulu sampai ke hilir, hingga tiba di muara sungai dan bercampur dengan air laut.

“Jadi, penyelesaian banjir Jakarta harus dipikirkan bersama oleh berbagai sektor. Semua harus bekerja sama agar terbebas dari banjir. Dengan begitu, satu kejadian di salah satu bagian, baik di hulu maupun di hilir, akan berpengaruh ke bagian lainnya sehingga banyak sektor yang saling terpengaruh,” katanya. (ugm.ac.id)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home