Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 20:17 WIB | Senin, 17 Desember 2018

Pameran Fotografi “Meretas Bunyi”

Pameran Fotografi “Meretas Bunyi”
Pameran tunggal fotografi Djaduk Ferianto bertajuk “Meretas Bunyi” di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No 2 Yogyakarta. 15-23 Desember 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran Fotografi “Meretas Bunyi”
Djaduk Ferianto memberikan penjelasan salah satu karya foto yang dipamerkan.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Delapan puluh dua foto yang kesemuanya dalam citraan monochrome hitam-putih serta satu foto dalam rona warna (fullcolor) hasil bidikan seniman Djaduk Ferianto, yang diambil dalam rentang waktu 2012-2017 di berbagai tempat dan momentum di sela-sela aktivitas perjalanan berkeseniannya, dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Pameran dibuka oleh PM Laksono, pengajar jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu (15/12) malam.

“(Karya foto) tidak (saya) maksudkan dalam kategori fotografi apa pun. Bukan landscape, portrait, arsitektur kota, ataupun genre lain. (Saya) tidak mengkhususkan berburu foto. Kalau ada yang ngajak, ya berangkat. Atau kalau sedang dalam lawatan ke luar kota/negeri, ada momen yang rasanya menarik langsung ambil gambar,” penjelasan Djaduk saat temu media di BBY, Sabtu (15/12) sore.

Dalam rentang waktu yang cukup lama, pola pengambilan gambar yang acak, serta lokasi yang tersebar, hasil karya foto Djaduk sebenarnya lebih pada memotret sebuah kejadian sehari-hari secara natural, terlebih ketika Djaduk banyak menyertakan objek manusia dalam karya-karya fotonya. Djaduk lebih menggunakan pendekatan human interest baik pada objek maupun yang berangkat dari dalam dirinya yang disebutnya sebagai “ngeng”.

Istilah “ngeng” dalam mengambil objek foto menjadi gambaran bagaimana Djaduk mencoba membebaskan segala hal berkaitan dengan fotografi, yang sebenarnya tidak terlepas dari urusan teknis untuk bisa menghasilkan citraan yang ‘baik’.

“Kalau ditanya (arah) pencahayaannya bagaimana, bukaan berapa, kecepatannya berapa, dan lain-lain tentang teknis fotografi mungkin saya tidak bisa menjelaskan. Tapi kalau ditanya objek foto ini berapa bar, justru saya bisa menjelaskan,” canda Djaduk saat temu media.

Bagi Djaduk menangkap momentum, merekam, dan membekukannya lebih penting dibanding sebatas urusan teknis menghasilkan foto yang bagus. Baginya, dalam konteks tertentu semua karya foto adalah karya yang bagus.

Citraan hitam-putih pada karya foto bisa memberikan kesan dramatis, impresif, punya kedalaman rasa yang lebih, meskipun secara keseluruhan mungkin terkesan flat dan tidak jarang memunculkan kesunyian di tengah keramaian. Bagi sebagian orang, dalam citraan hitam-putih objek foto memiliki intensitas dan kualitas bagus untuk menggambarkan keaslian (authenicity) sehingga cocok untuk karya-karya foto sejarah sekaligus juga keperluan jurnalistik.

Pilihan Djaduk menarik sehingga karya-karya fotonya dalam citraan hitam-putih bisa lebih banyak berbicara sekaligus sebagai arsip sekaligus dokumentasi perjalannya. Rencananya karya foto yang dipamerkan akan dibuat menjadi buku.

Komposisi sebuah foto tetaplah memegang peran bagi kekuatan sebuah karya foto. Beruntung Djaduk memiliki latar belakang seni rupa. Dalam bawah sadarnya, ini tentu membantu banyak dalam mengeksekusi sebuah jepretan. Lagi-lagi momentum menjadi salah satu kunci untuk merekam kejadian.

Dalam sebuah perjalanan di pantai Padang Bai saat akan menyeberang ke Lombok, Djaduk menemukan satu raut muka yang dirasakan sangat fotogenik dan kuat. Perjumpaan pertama tersebut terekam dalam ingatan sehingga dia berencana memotret setelah dia mengambil beberapa momen/kejadian di sekitar Padang Bai. Djaduk hampir kehilangan momen memotret sosok tersebut saat tiba waktu untuk menyeberang. Beruntung dia bisa menemui orang tersebut yang ternyata berprofesi sebagai juru parkir di sekitar Padang Bai.

Hal-hal sederhana dan humanis itulah yang banyak ditangkap dalam karya-karya foto Djaduk. Pada perayaan Sekaten tahun lalu, Djaduk menyempatkan diri untuk memotret prosesi kirab bregada (pasukan) Keraton Yogyakarta. Pilihannya adalah lokasi di sekitar lapangan di depan gudang persenjataan keraton. Di lapangan kecil itulah bregada-bregada yang akan melakukan kirab menjalani pemeriksaan terlebih dahulu oleh salah satu penghageng keraton. Sebelum proses pemeriksaan, di antara bregada kerap saling membantu satu sama lain untuk memeriksa dan merapikan kelengkapan yang digunakan untuk kirab. Momen tersebut banyak diabadikan oleh Djaduk selain prosesi kirab itu sendiri.

Karya foto yang dipamerkan disajikan tanpa caption (keterangan) serta didisplay dalam pola yang acak tanpa tema-tema tertentu menjadi tawaran menarik lainnya seberapa besar pengunjung pameran bisa merasakan “ngeng” pada karya foto tersebut, atau bisa jadi pengunjung menemukan “ngeng” lainnya ketika tidak terbingkai dalam sebuah kejadian yang terikat pada satu tempat atau satu masa tertentu.

Bisa Anda bayangkan kumpulan anak-anak sedang mandi di sebuah pintu air irigasi dengan satu anak dengan gaya seorang peloncat indah terjun menukik ke air dengan kepala sudah masuk ke air sementara anggota badannya terekam dalam waktu yang tepat tegak lurus. Anda menemukan “ngeng” apa dalam foto tersebut?

Pameran tunggal fotografi Djaduk Ferianto bertajuk Meretas Bunyiakan berlangsung hingga 23 Desember 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No  2 Yogyakarta.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home