Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 13:35 WIB | Minggu, 08 September 2019

Pameran "Lir Ilir" Dibuka di Bantaran Sungai Opak

Pameran "Lir Ilir" Dibuka di Bantaran Sungai Opak
Pameran seni rupa “Lir Ilir” di Galeri Kaliopak, 7-30 September 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran "Lir Ilir" Dibuka di Bantaran Sungai Opak
Penampilan sanggar anak-anak Cokrojayan saat pembukaan pameran “Lir-Ilir”, Sabtu (7/9) malam.
Pameran "Lir Ilir" Dibuka di Bantaran Sungai Opak
Iman Budhi Santoso (baju putih-kacamata) menyaksikan karya saat pembukaan pameran.
Pameran "Lir Ilir" Dibuka di Bantaran Sungai Opak
Suluk – drawing pena di atas kertas – 30 cm x 42 cm – 6 panel – Rohmat Rizal – 2019.
Pameran "Lir Ilir" Dibuka di Bantaran Sungai Opak
Yaa Allah – batu andesit – 67 cm x 30 cm x 40 cm – Nugroho – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ponpes Budaya Kaliopak Piyungan, Bantul mengawali program “Bulan Syiar Muharam 1441 H” dengan pameran bertajuk “Lir Ilir” di Galeri Kaliopak.

Pameran dibuka oleh sastrawan-penyair Iman Budhi Santoso, Sabtu (7/9) malam. Sembilan belas seniman-perupa mempresentasikan karya dua-tiga matra dan videografi di lantai dasar Galeri kaliopak.

Kesembilan belas seniman-perupa tersebut adalah Abdul Kirno, Ari Ahmad, Ari Firdaus, Awalludin GD Muallif, Bambang Widarsono, Eko Pristiono, Kartiko, Listoyino, Martha Bunga, Nugroho, Putri Utami, Purnomo, Purwanto, Rohmat Rizal, Setiyoko, Sony Prasetyotomo, Susiyo Guntur, dan Suyono.

Dalam sambutannya Iman Budhi Santoso menjelaskan bagaimana Gusti Allah SWT sudah memberikan contoh kepada manusia dalam menggarap ekspresi dalam seni rupa: warna, garis, bidang. Alam semesta sudah merupakan contoh konkrit. Warna langit, warna matahari, warna daun, bentuk-bentuknya, garis-garis sungai, garis cakrawala. Rasa-rasanya, Allah SWT sudah memberikan contoh bagaimana (manusia) bisa mencontoh ciptaan-Nya di bidang seni rupa. Begitupun yang terjadi di bidang seni musik, seni tari, maupun seni pertunjukan lainnya.

 “Ajakan saya secara pribadi kepada khalayak seperti unen-unen di Jawa sing jembar segarane. Dan dalam ungkapan Jawa terus mlaku lan tansah lelaku, teruslah berjalan dan lelaku. Laku prihatin, noleh kiwa tengen (menengok ke kiri dan kanan), dan selanjutnya,” tutur Iman Budhi Santoso dalam sambutan pembukaan pameran Lir-Ilir, Sabtu (7/9) malam.

Setelah pameran bertajuk “Nguwongke” pada April lalu, “Lir Ilir” merupakan pameran seni rupa kedua yang digelar Galeri Kaliopak pada tahun ini. Kegiatan ini menjadi kelanjutan bagian aktivasi Galeri Kaliopak sebagai ruang seni beberapa waktu lalu. Berada di wilayah selatan-timur Yogyakarta, Galeri Kaliopak yang berada di bantaran Sungai Opak dan di tengah perkampungan penduduk menjadi tawaran ruang yang cukup menarik untuk menyemai ide-gagasan sekaligus mendialogkannya.

Salah satu contohnya adalah memberikan ruang bagi anak-anak yang tergabung dalam Sanggar Cokrojayan untuk tampil dengan permainan angklung mengiringi dua repertoar Rayuan Pulau Kelapa dan Tanah Airku dalam pembukaan pameran “Lir-Ilir”. Setelah rutin berlatih, panggung pementasan menjadi wilayah yang penting bagi mereka untuk mempresentasikan hasil latihan sekaligus ruang apresiasi atas karya mereka.

Tiga karya lukisan panel Setiyoko berjudul Tuk Babon dalam garis-goresan abstrak membaca realitas sumber mata air yang berada di lereng Gunung Merbabu (Boyolali). Bagi masyarakat Dukuh Selo Tengah, Desa Selo, tuk (mata air) Babon menjadi sumber mata air bagi lima desa di kawasan Desa Selo, Desa Samiran, Lencoh, Suroteleng, dan sebagian Desa Genting. Untuk kelestarian mata air tersebut, masyarakat menjaganya secara bersama salah satunya melalui tradisi Petri Tuk Babon yang menjadi kegiatan rutin tahunan pada bulan Oktober-November setiap tahunnya.

Seniman-perupa Susiyo Guntur dengan lukisan berjudul Tetesan Air dalam citraan merah-biru dengan sebuah pesan yang cukup dalam: air yang telah tercemar selalu mengalami perubahan warna merah menuju hitam dan warna biru adalah rona untuk air yang tercemar racun. Kartiko Prawiro dalam karyanya berjudul Ngili Ora Keli mengeskplorasi nilai-nilai kehidupan dan menjadikan air sebagai pralambangnya.

Menjadikan pelataran Ponpes Kaliopak yang berada di bantaran Sungai Opak memberikan pesan yang cukup menarik. Realitas hari ini, sungai dalam kehidupan manusia ‘hanya’ menjadi halaman belakang yang digunakan untuk pembuangan atas sampah cair-padat dari aktivitas sehari-hari maupun sampah pabrik-industri. Sungai belum menjelma menjadi jembatan peradaban dimana air sebagai salah satu sumber kehidupan dan belum benar-benar dimuliakan. Dan yang terjadi justru menjadi halaman belakang untuk menyimpan, menyembunyikan, bahkan membuang segala sesuatu yang dianggap sampah dan tidak berguna.

Sungai menjadi satu titik penting kehidupan manusia dimana bencana alam dan kemanusiaan kerap bermula: perebutan sumberdaya alam, perebutan ruang hidup, konflik sumberdaya air, yang berujung pada bencana banjir maupun kekeringan.

Dalam perkembangan peradaban manusia, sungai menjadi salah satu urat nadi yang berperan besar dalam berbagai aktivitas manusia mulai dari pemenuhan kebutuhan air untuk aktivitas manusia, pertanian, perdagangan, hingga hubungan antar bangsa. Ketika masyarakat berusaha untuk menghidupi dan menghidupkan kehidupan sungai, pada saat yang bersamaan sungai pun kerap menawarkan kehidupan yang selaras dengan aktivitas manusia di atasnya.

Pameran seni rupa “Lir Ilir” akan berlangsung hingga 30 September 2019 di Galeri Kaliopak, Komplek Pesantren Kaliopak Jalan Wonosari Km 11 Dusun Klenggotan Desa Srimulyo, Piyungan-Bantul.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home