Loading...
SAINS
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 01:01 WIB | Senin, 02 Desember 2019

Pameran Seni Foto: Dragonfly, Pengetahuan dan Citra

Pameran Seni Foto: Dragonfly, Pengetahuan dan Citra
Pengunjung mengamati karya saat pembukaan pameran foto “Dragonfly, Pengetahuan dan Citra” di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No 2 Yogyakarta, Sabtu (30/11) malam. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran Seni Foto: Dragonfly, Pengetahuan dan Citra
Pengunjung berfoto di salah satu karya foto capung yang cukup langka Bibitbuwit (Drepanosticta sp)
Pameran Seni Foto: Dragonfly, Pengetahuan dan Citra
Dari kiri ke kanan : Rami delima (Elattoneura aurantiaca/Selys, 1886), Serut triwarna (Ceriagrion cerinorubellum/Brauer, 1865), Jarum sungai merah (Pseudagrion pilidorsum /Brauer, 1868).
Pameran Seni Foto: Dragonfly, Pengetahuan dan Citra
Pengunjung mengamati karya-karya Wahyu Sigit.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 98 foto dengan obyek capung (dragonfly) dalam medium cetak yang beragam mulai dari kertas doff, kertas kanvas, kanvas, vinyl backlight neon box, vinyl sticker, serta sebuah karya instalasi berbentuk capung dalam medium jerami dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran foto karya seniman foto Wahyu Sigit Rahadi yang diambil dalam rentang tahun 2010-2019 dengan tajuk “Dragonfly, Pengetahuan dan Citra” dibuka oleh ahli Entomologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Damayanti Buchori, Sabtu (30/11) malam.

Damayanti Buchori yang merupakan guru besar Entomologi IPB memberikan penjelasan tentang siklus hidup capung yang bermetamorfosis secara bentuk dan habitat lingkungan hidupnya sebagai predator cukup penting bagi keseimbangan lingkungan. Saat masih larva, capung hidup di air dan memangsa jasad renik apapun yang ada di air termasuk jentik-jentik (nyamuk) sehingga bisa mengendalikan vektor penyakit. Selain itu larva capung menjadi sumber pakan bagi ikan.

“Keberadaan capung (pada daerah) itu menunjukan adanya kesehatan dalam ekosistem. Ketika (sebuah ekosistem) air masih ada capung, berarti air itu bersih. Begitu juga saat tanaman pertanian terdapat capung, ekosistem di situ sehat, insektisida-pestisida belum banyak digunakan di situ. Capung menjadi indikator kesehatan yang luar biasa,” jelas Damayanti Buchori kepada satuharapan.com di sela-sela pembukaan pameran, Sabtu (30/11) malam.

Lebih lanjut Damayanti menjelaskan bahwa Indonesia memiliki biodiversity (capung) yang banyak dan berlimpah sementara orang yang menekuni taksonomi serangga belum begitu banyak. Berapa jumlah persis jumlah capung di Indonesia belum tereksplor. Data yang dicantumkan dalam pameran tersebut bisa jadi hanya 30-40% dari jumlah capung yang ada di Indonesia. Ini tantangan bagi peneliti dan masyarakat Indonesia terutama pecinta capung berapa jumlah jenis capung yang ada di Indonesia. Ini bisa menjadi lifetime search. Secara visual, karya foto Wahyu Sigit bisa memberikan informasi yang lebih banyak kepada publik tentang morfologi, anatomi, taksonomi. Ini bisa membangkitkan curiosity (keingintahuan) pada orang untuk tahu lebih banyak tentang apa yang ada di balik keindahan karya foto Sigit.

“Sumbangan foto-foto Wahyu Sigit bagi ilmu pengetahuan luar biasa. Jenis-jenis yang sudah ditemukan bisa ter-record dengan baik, selain itu Wahyu Sigit tidak hanya mencatat jenis capungnya namun juga habitatnya. Sigit dengan cermat mengaitkan capung dengan tempat hidupnya. Belajar capung berarti belajar juga tentang habitatnya,” imbuh Damayanti.

Menyaksikan ke-97 karya foto Sigit, tidak berlebihan penjelasan yang disampaikan pakar Entomologi Damayanti Buchori. Karya foto yang disajikan Wahyu Sigit tidak semata-mata mengejar keindahan visual semata. Impresi karya foto serangga selama ini banyak dilakukan dengan pendekatan fotografi makro ataupun fotografi close up. Secara teknis pendekatan ini memerlukan kejelian dan ketelatenan untuk menangkap momen secara tepat sehingga hasil jepretan bisa fokus dan clear.

Kejelian Wahyu Sigit memasukkan unsur edukasi dalam karya fotonya bagi publik menjadi penting dalam penyajian karya secara secara keseluruhan.

Pada capung Jarum sungai kusam (Pseudagrion pruinosum), Sibarmerah telaga (Rhodothemis rufa), Tengkes biru (Diplacodes trivialis), Hantu kaki-kuning (Copera marginipes), Sibar cincin-hitam (Onychothemis culminicola), Wahyu Sigit memotret mata majemuk atau mata faset capung dalam jarak yang sangat dekat (macro/close up).

Pada karya foto Sibar biasa (Orthetrum sabina/Drury,1770), Selendang biru (Vestalis luctuosa/Burmeister,1839), Sibar cincin hitam (Onychothemis culminicola/Förster, 1904), Nilambiru Jawa (Heliocypha fenestrata/Burmeister,1839), Nilam sumba (Rhinocypha sumbana/Förster,1897), Wahyu Sigit memotret thorax jenis capung tersebut.

Sementara pada jenis Drepanosticta gazella (Lieftinck, 1929), Bibitbuwit jawa (Euphaea variegata (Rambur, 1842), Beludru sunda (Paragomphus tachyerges (Lieftinck, 1934), Gadapancing sumba (Gynacantha subinterrupta/Rambur, 1842), Barongratu Biasa (Rhodothemis rufa (Rambur, 1842), Sibarmerah telaga Rhodothemis rufa (Rambur, 1842) Sigit memotret close up ekor capung tersebut.

Potret close up secara utuh saat capung hinggap di bagian tanaman untuk mencari makanan banyak dilakukan Sigit diantaranya Megar dada-karat (Lestes concinnus/Hagen in Selys, 1862), Sibar ranting (Potamarcha congener/Rambur, 1842), Nilam pancawarna (Libellago hyalina/Selys, 1859). Sementara pada beberapa jenis Megar birulangit (Lestes praemorsus/Hagen in Selys, 1862), Sibar jingga (Orthetrum testaceum/Burmeister, 1839) Sigit memotret ritual kawin jenis tersebut.

Untuk memberikan gambaran tentang habitatnya, pada jenis Katik merah (Nannophya pygmaea (Rambur, 1842), Luncur tarum (Trithemis festiva/Rambur, 1842), Perut terompet (Acisoma panorpoides /Rambur, 1842), Kipas sayap-ragam Rhyothemis variegata (Linnaeus, 1763), Luncur merah-jambu (Trithemis aurora /Burmeister, 1839), Coblang jala-jekuk (Neurothemis ramburii martini /Brauer, 1866), Serut gadung (Ceriagrion calamineum/Lieftinck, 1951) Sigit memotret jenis capung tersebut saat ditemukan pada habitat yang beragam.

Sebuah foto hasil jepretan Nanang Kamalludin tentang aktivitas Wahyu Sigit Rahadi berlatar salah satu habitat capung menjadi informasi penting untuk memberikan gambaran bagaimana kondisi alam yang cukup terjaga menjadi habitat hidup capung. Melengkapi informasi penting tersebut empat foto series tentang metamorfosis Tengkes biru (Diplacodes trivialis) yang berhasil diabadikan Sigit pada tahun 2011 menjadi salah satu karya yang cukup impresif dan menjadi gambaran bagaimana ketelatenan dan ketelitian Sigit merekam dan menangkap momen drama kehidupan capung di alam.

Menariknya pada setiap karya fotonya, Wahyu Sigit mencantumkan nama daerah dan nama ilmiah berdasar nama penemu jenis tersebut beserta tahun penemuannya. Informasi yang dihimpun Wahyu Sigit bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS) bisa menjadi pintu masuk penyusunan nomenklatur jenis capung Indonesia yang diakui oleh Damayanti Buchori hingga saat ini masih belum ada.

Pameran foto seni “Dragonfly, Pengetahuan dan Citra” akan berlangsung hingga 8 Desember 2019 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No 2 Yogyakarta. Selama pameran berlangsung setiap harinya dihelat juga bincang-diskusi seputar capung dan ekosistem-habitatnya sebagai bagian dari edukasi konservasi kepada publik.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home