Loading...
ANALISIS
Penulis: Pdt Socratez Sofyan Yoman 07:15 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

Papua: Saatnya Dialog Setara RI-ULMWP

Pendeta Socratez Sofyan Yoman (Foto: dok pribadi)

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Rakyat Papua, para pemimpin agama, gereja-gereja, para akademisi,  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), politisi, pekerja kemanusiaan, bahkan beberapa pemerintah negara sahabat menyampaikan tawaran kepada pemerintah Indonesia  supaya mengadakan dialog damai dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mengakhiri konflik politik yang berkepanjangan antar rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Dalam menyikapi penawaran ini, pemerintah merasa kesulitan mengakomodasi rakyat Papua untuk berdialog karena banyak kelompok antara rakyat Papua yang berjuang untuk tujuan politik.

Untuk memudahkan pemerintah Indonesia  berdialog yang setara dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), rakyat Papua dengan cerdas dan inovatif membentuk satu payung politik perjuangan formal yang dinamakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).   Wadah politik rakyat dan bangsa Papua ini dikonsolidasikan dan dibentuk resmi pada tahun 2014 di Vanuatu.  ULMWP yang mengakomodasikan seluruh kelompok perjuangan dan kepentingan perjuangan rakyat Papua ini disambut luas oleh seluruh rakyat Papua.  Persatuan dari seluruh kelompok perjuangan merupakan pergumulan doa seluruh rakyat Papua.  Rakyat dan bangsa Papua sekarang dengan sepenuh hati mendukung ULMWP walaupun pemerintah Indonesia tidak mengakui keberadaan ULMWP.

Orang-orang yang menakhodai ULMWP juga sangat representatif dari seluruh rakyat Papua dari Sorong-Merauke.  Octovianus Mote sebagai Sekretaris Jenderal, Benny Wenda sebagai Spokeperson, Leoni Tanggahma (anggota mewakili) perempuan, Rex Rumakiek (anggota) dan Jakob Rumbiak (anggota).

Pemerintah Indonesia bereaksi keras  bahwa lima orang  ini bukan perwakilan rakyat dan bangsa Papua tetapi hanya kumpulan kelompok kecil yang berdiaspora di luar negeri. Walaupun demikian, rakyat dan bangsa Papua menerima dan percaya penuh bahwa lima orang itu sudah merupakan perwakilan resmi rakyat dan bangsa Papua.  

Dasar yang dipegang rakyat Papua adalah lima orang itu dipilih resmi dalam Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium, Jayapura.  Konferensi ini dibuka dan sekaligus menjadi KeyNote Speaker  adalah Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Hj. Bambang Susilo Yudoyono.  Para pembicara yang hadir dalam konferensi itu juga mewakili pemerintah, aparat keamanan, dan juga para pemimpin agama.  Gebernur Papua, Pangdam VXII Cenderawasih, Kapolda Papua, Uskup Leo Laba Ladjar, Dr. Tonny Wanggai dan saya (Socratez Yoman) sebagai pembicara dalam konferensi itu.

Lima orang ini dipilih resmi oleh peserta Konferensi Perdamaian Papua yang terdiri dari 1.350  orang yang merupakan utusan perwakilan seluruh rakyat Papua.  Tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia bahwa lima orang itu mewakili orang-orang Papua yang ada di luar negeri. Kita juga harus jujur bertanya, mengapa lima orang itu ada di luar negeri yang meninggalkan tanah air dan keluarga mereka.  

Belakangan ini rakyat Papua semakin solid and kuat.  Karena, selama bertahun-tahun, dunia membisu atas pembantaian rakyat Papua atas nama keamanan nasional.  Namun demikian, dunia tidak selamanya membisu ketika nilai-nilai kemanusiaan, martabat manusia terus dilecehkan dan direndahkan oleh Negara.  Pemerintah, rakyat dan Gereja Vanuatu, pemerintah, rakyat dan Gereja Kepulauan Salomon, rakyat dan Gereja dan  Kaledonia Baru, rakyat, Gereja, dan pemerintah  Tonga, tidak selamanya membisu, menutup mata dan telinga atas penderitaan rakyat Melanesia dan Pasifik di Papua Barat.

Adapun utusan Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Luhut B. Panjaitan berangkat mengadakan pertemuan dengan Lord Richard Harries, mantan Uskup Oxford, pendukung Papua Merdeka di Parlemen Inggris. Kunjungan itu juga sekaligus mengajukan protes atas pernyataan dukungan Papua Merdeka  dari Tuan Jeremy Corbyn, Ketua Partai Buruh Inggris pada 3 Mei 2016 pada pertemuan Parlemen Internasional untuk Papua Barat di London.

Dalam tulisan ini saya mau sampaikan kontribusi pemikiran bahwa substansi masalahnya bukan ada pada Lord Harries, Tuan Jeremy Corbyn, Pemerintah Vanuatu, Pemerintah Kepulauan Salomon, Pemerintah Kanaki dan Pemerintah Tonga.  Persoalan sesungguhnya ada pada terjadinya kejahatan kemanusiaan terhadap Papua.  Masyarakat internasional, siapapun dia, tidak setuju dengan pembunuhan manusia ciptaan dan gambar Allah atas nama dan kepentingan nasional.

Saya secara pribadi pun mempunyai hubungan yang sangat baik dan kuat dengan Tuan Lord Richard Harries selama 12 tahun sejak  2015 sampai 2016.  Tuan Lord Harries sudah mengundang saya tiga kali dan kami berdua bertukar pikiran tentang perbaikan dan perdamaian untuk masa depan  rakyat Papua.  Pemimpin dan rakyat Papua sudah ada dimana-mana yang sedang membagikan penderitaan mereka kepada sesama manusia di setiap pelosok seluruh dunia. Intinya rakyat Papua telah memenangkan hati masyarakat Internasional dari akar rumput sampai pada pemerintah.  

Karena itu, demi kehormatan dan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata masyarakat Internasional, saran saya kepada pemerintah,   sudah saatnya dialog setara antara Pemerintah Republik Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua. Karena dunia ini sudah menjadi seperti sebuah kampung kecil sehingga tidak ada ruang untuk berpura-pura dan tidak ada tempat untuk kebohongan-kebohongan.

Lagi pula satu-satunya provinsi di Indonesia yang dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia melalui persetujuan masyarakat internasional adalah Provinsi Papua. Maka, Pemerintah Indonesia jangan berpandangan keliru dalam proses sejarah ini.  

Penulis adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua beralamat di  Jln. Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura) Papua.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home