Loading...
EDITORIAL
Penulis: Sabar Subekti 14:57 WIB | Kamis, 07 November 2019

Para Pahlawan Nasional: Album Keberagaman Indonesia

Ibu-ibu dari 12 Rukun Warga (RW) Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat menggelar aksi menjahit bendera Merah Putih sepanjang 500 meter dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-70 tahun, hari Minggu (16/8/2015). Aksi menjahit bendera Merah Putih sepanjang 500 meter tersebut juga bagian dalam rangka memberi perhatian kepada ibu Fatmawati yang merupakan istri dari Presiden Republik Indonesia Soekarno yang pertama kali menjahit bendera Pusaka Merah Putih. (Foto: dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

SATUHARAPAN.COM-Gelar Pahlawan Nasional pertama kali diberikan pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Setelah Indonesia menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta (1958), sehingga muncul pemikiran tentang membangun persatuan bagi Indonesia yang ketika itu baru 14 tahun merdeka.

Indonesia bukan hanya dikaruniai kekayaan alam, tetapi juga kekayaan yang terkait dengan rakyatnya, etnis, kebudayaan, agama dan keyakinan, kebiasaan dan nilai-nilai. Di antar itu ada banyak tokoh-tokoh yang telah berjasa bagi berdirinya Indonesia, dan mereka patut menjadi teladan karena pengabdiannya itu.

Maka mulailah sebuah “tradisi” memberikan gelar “Pahlawan Nasional” pada tokoh-tokoh tertentu setiap 10 November, Hari Pahlawan, yang menandai peristiwa heroik di Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dan nama-nama mereka itu dikenang antara lain dengan dipakai untuk nama jalan.

Menurut ahli sejarah, Prof. Dr. Asvi Warman Adam, pada era Presiden Soekarno, keputusan dalam menetapkan Pahlawan Nasional masih memiliki kecenderungan politis. Soekarno mempunyai peran yang cukup besar dalam menentukan siapa yang akan mendapat  gelar Pahlawan Nasional. Dan tampaknya bahwa politik sejarah juga tidak bisa dihindarkan hingga sekarang.

Di era Orde Baru, pada tahun-tahun awal, prosesnya masih seperti pada era Soekarno. Namun kemudian ada perubahan, di mana usulan untuk diberi gelar Pahlawan Nasional datang dari daerah, dan diproses di Departemen Sosial, dan kemudian ada Dewan Gelar yang juga ikut menangani hal itu.

Di era sekarang, setelah reformasi, pengajuan gelar Pahlawan Nasional menjadi “obsesi”  bagi banyak daerah untuk menampilkan tokoh-tokoh mereka yang telah berjasa bagi bangsa Indonesia. Upaya ini tampaknya makin gencar, bahkan dilakukan dengan mengambil berbagai momentum untuk mencapainya.

Setiap tahun ada beberapa tokoh yang diumumkan oleh pemerintah mendapat gelar “Pahlawan Nasional.” Sampai tahun 2018, sudah ada 169 orang Pahlawan Nasional, dan 14 di antara mereka adalah perempuan.

Di antara mereka yang telah bergelar “Pahlawan Nasional” ada yang jasanya jauh sebelum Indonesia merdeka, tetapi ada juga yang jasanya dilakukan setelah Indonesia merdeka. Ada yang berjuang di medan pertempuran, tetapi juga ada yang di bidang pendidikan dan keilmuan, dan diplomasi.

Dari aspek etnis, kita mempunyai Pahlawan Nasional dari suku Jawa, Batak, Makassar, Papu, Aceh, Ambon, Dayak, Bali, Sunda, dan lain-lain. Bahkan juga yang berdarah bukan asli Indonesia, seperti berdarah Belanda, Arab, Tionghoa, dan berdarah campuran.

Dari segi keyakinan dan agama, kita melihat di antara mereka yang beragama Islam (bahkan dari berbagai aliran), Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan penganut kepercayaan.

sampai yang

Jumlah ini, apakah terlalu banyak atau terlalu sedikit bagi bangsa Indonesia yang berpenduduk sekitar 260 juta jiwa, dan dalam situasi kita sekarang? Atau apakah kita masih terus membutuhkan pahlawan nasional? Masalah utamanya memang bukan pada jumlah, namun jasa bagi bangsa dan negara yang telah diberikan oleh tokoh-tokoh itu. Jika kita merujuk kembali ke semangat dalam memberikan gelar Pahlawan Nasional, yaitu untuk membangun persatuan bangsa, maka memang kita masih berjuang untuk persatuan ini, terutama karena ada ancaman pada persatuan, bahkan berdirinya negara ini.

Melihat masalah-masalah yang dihadapi bangsa dewasa ini, kita juga masih terus perlu meneladani tokoh-tokoh kita yang hidupnya memberikan jasa bagi bangsa dan negara ini. Justru aspek keteladanan ini yang perlu mendapatkan perhatian. Sebab, banyak juga elite dibangsa ini yang perilakunya jauh dari meneladani para tokoh yang mendapat gelar “Pahlawan Nasional.”

Ada tantangan bahwa pemerintah tidak cukup untuk setiap tahun menetapkan beberapa orang sebagai “Pahlawan Nasional.” Yang tak kalah pentingnya adalah mengangkat keteladanan mereka dan jasanya bagi bangsa dan negara, dan mengupayakan internalisasi dalam kehidupan masyarakat.

Para tokoh yang mendapat gelar “Pahlawan Nasional” adalah bukti perjuangan dan harapan bagi persatuan bangsa, dan jasa mereka adalah sumber keteladanan untuk menginspirasi kehidupan warga bangsa.

Dengan melihat tokoh-tokoh “Pahlawan Nasional” sebenarnya kita melihat “Album” keluarga besar Bangsa Indonesia yang di dalamnya tercermin keanekaragaman, sekaligus semangat persatuannya. Dari jasa mereka semua, bangsa Indonesia terbentuk, merdeka dan sekarang membangun diri untuk mencapai cita-citanya. Dan tak satu kelompok pun bisa mengklaim sebagai yang paling berjasa bagi Indonesia.

Maka, ambisi untuk mengajukan tokoh daerah sebagai Pahlawan Nasional, tidak boleh mereduksi semangat kita untuk mengambil inspirasi dan meneladani perilaku mereka untuk persatuan dan pembangunan bangsa.  

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home