Parlemen Skotlandia Loloskan Usul Referendum Merdeka dari UK
EDINBURGH, SATUHARAPAN.COM - Hanya beberapa jam sebelum Inggris Raya (United Kingdom, UK) memulai proses keluar dari Uni Eropa, Parlemen Skotlandia membuat kejutan pada hari Selasa (28/03).
Melalui pemungutan suara mereka meloloskan tuntutan referendum baru bagi kemerdekaan Skotlandia dari Inggris.
Kubu pro-referendum memenangi pertarungan dengan meraih 69 suara sedangkan yang menolaknya 59 suara.
Lebih jauh, referendum itu ingin dilaksanakan sebelum Inggris resmi keluar dari Uni Eropa, jadwal yang dengan tegas telah ditolak oleh PM Inggris, Theresa May.
Sebagai catatan, setiap referendum yang mengikat terkait dengan masa depan Skotlandia, harus mendapat persetujuan PM Inggris.
Kendati tuntutan referendum ini kemungkinan tidak dilaksanakan dalam waktu dekat, hasil pemungutan suara di parlemen Skotlandia mengangkat lagi pertentangan antara London dan Edinburgh di panggung konstitusi.
Hal ini juga menggambarkan konsekuensi destabilisasi Inggris pasca referendum Brexit yang dilakukan pada bulan Juni lalu.
Ketika itu, 52 persen pemilih mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa, namun di Skotlandia kebalikannya, 62 persen suara justru ingin Inggris bertahan di Uni Eropa.
Ini menggambarkan divergensi politik Skotlandia dan Inggris yang memiliki risiko eksistensial bagi Inggris.
Di Irlandia Utara juga mayoritas pemilih ingin agar Inggris bertahan di Uni Eropa, dipicu kekhawatiran bahwa penarikan diri dari Uni Eropa akan memperlemah proses perdamaian yang sedang berlangsung di sana.
Menurut New York Times, hari ini PM May diharapkan akan mengirim surat pemberitahuan resmi Inggris atas keinginannya untuk keluar dari Uni Eropa dengan menerapkan pasal 50 perjanjian pemerintahannya.
Selasa sore kemarin, kantor PM May melansir foto yang menunjukkan dia sedang menandatangani surat tersebut.
Ini merupakan permulaan negosiasi yang dijadwalkan akan berlangsung hingga dua tahun. Dalam jangka waktu itu, May akan menegosiasikan syarat pemisahan serta hubungan ekonomi baru dengan negara-negara anggota Uni Eropa yang tersisa.
PM May menghadapi tantangan untuk mencegah perpecahan Inggris. Oleh karena itu, hasil pemungutan suara di parlemen Skotlandia yang meloloskan tuntutan referendum merdeka dipastikan akan ditolaknya.
Kemarin, Sekretaris Negara Skotlandia yang merupakan perwakilan pemerintah Inggris di sana, menegaskan bahwa Inggris tidak akan memasuki negosiasi apa pun sebelum proses Brexit rampung. Itu berarti referendum baru akan bisa terjadi beberapa tahun mendatang.
Kendati demikian, hasil pemungutan suara di parlemen Skotlandia telah memberi dukungan baru bagi Menteri Utama Skotlandia yang pro kemerdekaan, Nicola Sturgeon.
Keputusan parlemen Skotlandia memberinya landasan untuk mendesak referendum kemerdekaan, hanya kurang dari tiga tahun setelah ia kalah dalam referendum yang sama pada tahun 2014.
Uniknya, pada saat yang sama Skotlandia telah diberitahu bahwa jika mereka menuntut merdeka dari Inggris, mereka juga akan kehilangan keanggotaan di Uni Eropa.
Sturgeon berpendapat bahwa Skotlandia harus memiliki hak untuk memilih antara Brexit “atau menjadi sebuah negara yang merdeka, untuk mampu memetakan nasib kami sendiri dan menciptakan kemitraan yang sejati dan sederajat ....”
Sturgeon berpendapat bahwa bentuk kesepakatan Brexit sudah akan diketahui pada musim gugur 2018. Setelah itu, menurut dia, Skotlandia harus memiliki kesempatan untuk mencoba, melalui kemerdekaan, untuk tetap bertahan di Uni Eropa.
Editor : Eben E. Siadari
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...