Pemimpin Gereja AS Kecam Trump Istimewakan Pengungsi Kristen
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Rencana Presiden Donald John Trump, yang akan mengistimewakan pengungsi Kristen yang teraniaya untuk masuk ke Amerika Serikat justru mendapat kecaman dari sejumlah rohaniawan Kristen di negara itu.
Lewat perintah eksekutif yang ditandatanganinya pada hari Jumat (27/1), Trump menghentikan program penerimaan pengungsi selama 120 hari ke depan, dan menghentikan penerbitan visa untuk tujuh negara berpenduduk mayoritas Islam. Dalam sebuah wawancara, ia juga mengatakan bahwa kebijakannya ini akan memprioritaskan orang-orang Kristen dan minoritas lainnya yang teraniaya di negaranya.
Laporan New York Times mengatakan umat Kristen di AS terbelah menyikapi perintah eksekutif Trump yang telah memunculkan unjuk rasa di dalam dan luar negeri AS. Namun, sejumlah besar rohaniawan Kristen dan pemimpin gereja di AS mengecam kebijakan itu dan menyebutnya sebagai kebijakan diskriminatif, sesat dan tidak manusiawi.
Kemarahan datang dari sejumlah pemimpin Kristen Injili, Katolik Roma pemimpin Protestan arus utama yang mewakili gereja-gereja yang paling aktif dalam mencoba untuk membantu orang-orang Kristen teraniaya.
Menurut mereka, dengan memberikan preferensi kepada orang Kristen dibanding kepada Muslim, perintah eksekutif Trump mempertentangkan satu umat dengan umat lainnya.
Dengan melakukan pembatasan pengungsi memasuki Amerika Serikat selama hampir empat bulan, perintah eksekutif Trump dinilai membiarkan orang menderita lebih lama di kamp-kamp pengungsian, ââdan mencegah keluarga mereka bersatu kembali.
Banyak pemimpin agama mengatakan bahwa menghentikan tanpa batas pengungsi dari Suriah, dan memotong jumlah total pengungsi yang diterima tahun ini sebesar 60.000, akan menutup pintu untuk mereka yang paling membutuhkan.
"Kami percaya semua harus mendapat pertolongan, terlepas dari apa pun keyakinan agama mereka," kata Uskup Joe S. Vásquez, ketua komite migrasi untuk Konferensi Waligereja Katolik Amerika Serikat.
Jen Smyers, direktur kebijakan dan program advokasi imigrasi dan pengungsi Church World Service, sebuah pelayanan yang berafiliasi dengan puluhan denominasi Kristen, menyebut hari penandatanganan perintah eksekutif Trump sebagai "hari yang memalukan" dalam sejarah Amerika Serikat.
Meskipun demikian ada juga pemimpin agama Kristen yang membela kebijakan Trump. Salah satunya adalah Pendeta Franklin Graham, putra dari penginjil Billy Graham dan presiden Purse Samaritan, sebuah organisasi amal Kristen Injili.
Graham telah lama dikenal sebagai tokoh yang sangat kritis terhadap Islam, dan bulan Juli 2015 lalu ia mengusulkan pelarangan Muslim masuk ke AS sebagai solusi mengatasi terorisme.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu (28/1), Graham mengatakan "Kita perlu memastikan bahwa filosofi mereka terkait dengan kebebasan dan kemerdekaan sejalan dengan (filosofi) kita."
Dia menambahkan bahwa penganut hukum Syariah tidak akan cocok dengan konstitusi bangsa AS.
Sementara itu Jim Jacobson, presiden Christian Freedom International, yang mengadvokasi orang Kristen yang dianiaya, memuji perintah eksekutif Trump dan berkata, "Pemerintahan Trump telah memberikan harapan bagi orang Kristen yang teraniaya bahwa kasus mereka akhirnya akan dipertimbangkan."
Tidak semua kalangan Kristen Injili, (kalangan Kristen pendukung utama Donald Trump), setuju dengan perintah eksekutif tersebut. Pendeta Scott Arbeiter, presiden World Relief, yang merupakan organisasi yang berafiliasi dengan Asosiasi Nasional Kristen Injili, termasuk yang menolak.
Ia juga membantah klaim Trump bahwa pengungsi Kristen ke AS sangat dibatasi dan mengalami diskriminasi. "Kita tidak memiliki bukti yang akan mendukung keyakinan bahwa pemerintahan Obama telah melakukan diskriminasi terhadap populasi Kristen," Arbeiter.
Organisasi yang dipimpin oleh Arbeiter telah memukimkan kembali ribuan pengungsi Muslim, dengan bantuan jaringan 1.200 gereja-gereja Injili. Arbeiter mengatakan bahwa World Relief menentang "setiap tindakan yang akan mendiskriminasi orang yang paling rentan di dunia berdasarkan etnis, negara asal, agama, jenis kelamin atau identitas gender. Komitmen kami adalah untuk melayani orang-orang yang rentan tanpa memperhatikan faktor-faktor, atau yang lainnya. "
Dia mengatakan bahwa World Relief sudah mengumpulkan 12.000 tanda tangan dari orang-orang Kristen evangelis untuk petisi yang menentang perintah eksekutif Trump.
"Kami akan menyerukan kepada jaringan kami, 1.200 gereja yang aktif untuk terlibat," katanya, "dan meminta mereka untuk menggunakan suara mereka untuk mengubah narasi, untuk menentang fakta yang mendorong ketakutan besar sehingga orang terpaksa menerima perintah eksekutif ini."
Nasaruddin Umar Tegaskan Komitmen Bersihkan Kemenag dari Pra...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menegaskan komitmennya untuk membersihkan K...