Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 16:42 WIB | Kamis, 23 Oktober 2014

Pemimpin: Penguasa atau Hamba?

Ilustrasi. (Sumber: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden menjadi peristiwa nasional yang mendapat perhatian yang sangat besar di dalam masyarakat. Apalagi acara pelantikannya dan pesta yang begitu menghebohkan. Sebuah perhelatan negara dan rakyat yang sangat luar biasa; upacara resmi negara, diikuti arak-arakan dan pesta seni-budaya. Baru kali ini pelantikan pemimpin negara Indonesia menarik perhatian rakyat secara besar-besaran. Padahal, kehebohan perhatian kepada Presiden yang baru ini tampaknya tidak sebanding dengan kesederhanaannya.

Walaupun tidak sama besar, rakyat juga memberi perhatian terhadap Pemilu anggota DPR dan DPD dan khususnya pertarungan memperebutkan kursi pimpinannya dalam sidang-sidang paripurnanya beberapa waktu lalu. Tentu perhatian yang luar biasa ini menunjukkan penghargaan sekaligus pengharapan yang besar dari rakyat terhadap pemimpin yang baru ini.

Sehubungan dengan gejala kehebohan soal pemimpin itu, beberapa pertanyaan perlu diberi perhatian di sini. Mengapa pemimpin harus dielu-elukan? Mengapa orang ingin menjadi pemimpin? Bentuk dan karakter apa yang sedang berkembang dalam budaya politik dan kepemimpinan dalam masyarakat kita? Bagaimana seharusnya menjadi pemimpin itu?

Menjadi Pemimpin, Menguntungkan!

Perhatian besar terhadap pemilihan wakil rakyat, presiden, gubernur dan bupati/walikota menunjukkan bahwa jabatan-jabatan itu sangat penting dan berarti. Ada berbagai pertimbangan orang untuk mau menduduki posisi itu. Ada yang memaknainya sebagai pekerjaan dan mereka bekerja untuk rakyat atau negara. Ada yang memaknainya sebagai jabatan yang memberikan kebanggaan dan kepuasan hidup. Ada yang memahaminya sebagai pekerjaan atau tempat mencari nafkah dan memperoleh berbagai fasilitas yang menguntungkan. Ada yang memahaminya sebagai tempat mendapatkan power atau kekuasaan sosial politik dengan berbagai keuntungannya. Dan tentu ada yang memaknainya sebagai jabatan atau pekerjaan pelayanan atau pengabdian kepada rakyat dan Negara.

Banyak orang yang ingin menduduki jabatan-jabatan itu dengan menempuh berbagai cara yang tidak ideal atau tidak etis seperti memaksakan diri dan dengan berbagai fasilitas yang dimiliki seperti uang, popularitas dan koneksi dengan penguasa walaupun mereka tidak memiliki kualifikasi yang layak untuk menduduki jabatan wakil rakyat atau pemerintah. Bahkan ada yang berusaha mencapainya dengan melanggar hukum seperti suap atau politik uang. Namun banyak juga yang berusaha mencapainya dengan cara-cara yang sesuai aturan dan yang dari segi etis betul-betul mengutamakan kualitas atau kemampuan yang layak.

Dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan atau kenegaraannya, pemimpin, baik pemerintah maupun wakil rakyat menduduki jabatannya karena pilihan rakyat. Untuk dapat dipilih, orang-orang yang mencalonkan diri perlu menempuh berbagai cara; pertama-tama memenuhi syarat administratif atau prosedural, dan kemudian berusaha dengan berbagai cara untuk menarik hati dan simpati rakyat calon pemilihnya. Publikasi diri atau kampanye melalui berbagai bentuk dan cara dilakukan, seperti membuat spanduk, poster dan leaflet yang berisi foto profil diri dan jargon atau programnya, tampil di depan khalayak masyarakat pada acara-acara tertentu dan tampil dan berbicara di media sosial, elektronik dan cetak.

Orang-orang yang terpilih adalah mereka yang mampu menarik hati atau mampu meyakinkan rakyat tentang kemampuannya untuk menduduki jabatan itu. Pilihan rakyat juga didasarkan pada berbagai pertimbangan. Ada yang ideal, yang melihat pada kharisma, kualitas dan ketokohan. Ada yang dipilih karena kesukaan pada popularitas calon. Tetapi ada juga yang pragmatis yang pilihannya berdasar pertimbangan keuntungan langsung. Yang pragmatis ini biasanya memilih calon karena diberi fasilitas yang menguntungkan atau yang langsung menerima uang.

Dalam masyarakat kita, pemimpin umumnya dilihat sebagai orang yang terhormat, yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan, yang memerintah dan bahkan dilihat sebagai penguasa bagaikan raja yang memiliki kekuasaan mutlak. Takhta atau kekuasaan umumnya menjadi orientasi dan harapan untuk dipunyai. Ketika terpilih sebagai pemimpin, baik wakil rakyat maupun pemerintah atau birokrat, mereka menganggap dan menempatkan diri sebagai penguasa, yang kebijakan atau perintah-perintahnya harus didengar, dituruti dan dilaksanakan.

Di pihak lain, rakyat atau masyarakat menempatkan diri pada posisi bawahan, sebagai kelompok yang wajib menghormati dan menerima saja sepak-terjang atau perintah para pemimpin. Bahkan rakyat ini harus nrimo, sekalipun yang dilakukan pemimpinnya tidak baik, tidak benar atau keliru. Ini adalah wujud budaya dan mentalitas feodal dan paternalistik atau mental raja-budak. Budaya ini kompromistis dan pasrah terhadap perilaku korup para penguasa. Kondisi atau budaya ini menjadi salah satu penyebab utama korupsi dan atau abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan oleh para pemimpin. Jadi yang mendukung pemimpin menjadi korup tidak saja dari kepribadian dan kepentingan pemimpin tetapi juga rakyat dengan karakter budaya atau mentalitas feodalis.

Pemimpin Sebagai Hamba

Berbeda dengan konsep dan sistem pemerintahan demokrasi, dalam agama pemimpin dipilih dan diangkat oleh Tuhan. Pemimpin, baik sebagai hakim, raja atau nabi, misalnya Musa, Yoshua, Daud, Yesus Kristus dan Nabi Muhammad, ditetapkan oleh Allah dan dengan begitu mereka bekerja menjadi hamba atau abdi Allah. Tugas mereka adalah menyampaikan ajaran dan kehendak Allah terhadap masyarakat. Mereka tidak menjadi penguasa absolut tetapi tetap bertanggung jawab dan tunduk pada Allah. Karena itu kepemimpinan agama ini tidak berorientasi pada kekuasaan diri tapi pada pelayanan. Pemimpin dalam agama ini tidak bertindak sebagai raja atau penguasa tetapi sebagai hamba.

Pemimpin masyarakat atau negara sepatutnya memiliki karakter sebagai hamba atau abdi. Pemimpin yang menghamba mengutamakan pengabdian pada Allah dan masyarakat. Jabatan atau kedudukan sebagai pemimpin di sini dilihat sebagai tanggung jawab dan pekerjaan atau pelayanan pada masyarakat, bukan berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

Arak-arakan Jokowi-Jk menuju istana setelah pelantikannya tak sama tapi serupa dengan arak-arakan dan penyambutan terhadap Yesus yang memasuki kota Yerusalem dengan menunggang keledai dan ketika nabi Muhammad untuk pertama kalinya memasuki kota Madinah. Kedua tokoh ini adalah pemimpin besar dunia dan keduanya berhasil menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Ini karena mereka menjadi pemimpin yang menghamba.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home