Pendeta Melobi Kongres, Tunjukkan Kepedulian ke Imigran
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Dua belas hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menghentikan program pengungsi masuk ke negara tersebut, wakil presiden bidang advokasi dan kebijakan pengungsi dari organisasi kemanusiaan World Relief, Jenny Yang, melakukan lobi ke kongres AS di Capitol Hill, Washington DC, untuk menentang hal itu.
“Kami memiliki banyak kekhawatiran dengan perintah eksekutif," kata Yang, seperti diberitakan hari Senin (20/2).
World Relief merupakan cabang dari organisasi gereja National Association of Evangelicals. Saat berada di gedung Kongres, dia bertemu dengan sejumlah pejabat senior dari kelompok-kelompok pro-pengungsi, antara lain International Rescue Committee, US Committee for Refugees and Immigrants, dan Vets for American Ideals.
Selain Yang, di gedung tersebut lebih kurang terdapat 90 orang yang berasal dari organisasi berbeda namun sama-sama mendukung hadirnya imigran di Negeri Paman Sam tersebut.
World Relief adalah salah satu dari sembilan organisasi yang menentang perintah Trump untuk mencegah imigran masuk ke AS.
Organisasi ini merupakan salah satu yang terdepan dalam menggalang dukungan dari kelompok evangelis, agar imigran dapat bermukim di AS.
Organisasi ini menggalang dukungan dari kelompok evangelis, dan menyatakan keputusan Trump tersebut bertentangan dengan Alkitab.
“Ketika Anda melihat perumpamaan dalam Alkitab tentang bagaimana Yesus melakukan pelayanan-Nya, Yesus tidak hanya berbicara tentang diri sendiri,” kata Yang.
“Yesus secara konkret memenuhi kebutuhan masyarakat,” kata dia.
Yang merupakan salah satu anggota dari komunitas evangelis yang berfokus pada mewujudkan Injil dalam kehidupan nyata yakni bertindak seperti Yesus.
Yang mengemukakan imigran jangan dikategorikan sebagai komoditas politik, tetapi imigran adalah masalah kemanusiaan.
Menurut dia, sejak lama Partai Republik, dalam sudut pandang teologi menyebut Amerika Serikat sebagai “Kerajaan Surga” adalah hal yang paling berbahaya, oleh karena itu, Yang mengatakan bahwa dalam memahami tentang proses masuknya imigran ke AS, membutuhkan sudut pandang teologi dan politik.
Sudut pandang yang akhir-akhir ini terlihat terkait masalah pengungsi adalah adanya perbedaan pendapat. Di satu sisi posisi pemerintah Trump mendapat dukungan sejumlah evangelis, namun di sisi lain terdapat juga sejumlah evangelis yang kontra dengan kebijakan tersebut.
Salah satu evangelis yang mendukung kebijakan Trump adalah Franklin Graham, pendiri organisasi kemanusiaan Samaritan Purse yang menyatakan dukungan kepada kebijakan Trump tersebut.
Di sisi lain, sebagian besar evangelis atau penginjil membelot dari larangan Trump tersebut, dalam waktu dua pekan setelah larangan diberlakukan.
“Jika kita tidak dapat melihat masalah pengungsi ini sebagai bagian dari masalah kehidupan, maka kita menghadapi sebuah krisis dalam pemahaman teologi,” kata Todd Deatherage, mantan staf administrasi presiden AS terdahulu, George Walter Bush, yang bekerja dengan sejumlah evangelis dalam proses perdamaian di Timur Tengah.
Yang dahulu merupakan ahli hukum yang melakukan pendampingan terhadap imigran. Dia berpendapat perintah Trump yang mengubah kebijakan tentang imigran – yakni dengan mengurangi jumlah imigran – akan menambah kelompok orang yang paling rentan di AS.
Yang menilai bahwa pengecualian Trump terhadap sekelompok kecil imigran, adalah kebijakan yang salah. “Tidak ada bukti dalam sejarah Amerika Serikat, bahwa negara ini membiarkan pengungsi melakukan tindak terorisme," kata dia.
Merangkul Imigran
Sementara itu, Stacie Blake, dari “US Committee for Refugees and Immigrants” menunjukkan bahwa ia dan pendukung lainnya telah menjumpai imigran dan sejumlah orang yang memenuhi bandara.
Blake dan sejumlah kerabatnya membawa sejumlah imigran di mobil mereka, dan membawa imigran ke tempat yang layak. “Jika kehadiran para pengungsi menimbulkan risiko, maka saya dan pendukung lainnya akan menghadapi orang-orang itu,” kata Blake.
Yang mengatakan larangan masuknya imigran merupakan pertanyaan tentang moralitas dasar. “Tuhan ingin menunjukkan cintanya bagi dunia, dan cinta Tuhan sesungguhnya ditunjukkan dalam respons gereja,” kata dia.
“Yesus mengajarkan kita untuk mencintai secara radikal, tanpa syarat, dan berkorban,” kata Yang.
Menurut Yang, musuh umat Kristiani bukan seseorang yang berasal dari agama, budaya atau etnis yang berbeda. “Musuh nyata adalah rasa takut,” kata dia.
Yang, berusia 36 tahun, percaya pada sesuatu yang disebut prinsip kerajaan Allah, atau Kerajaan Surga. Dia mengatakan konsep yang menghadirkan Yesus Kristus hadir di dunia tersebut, merupakan salah satu hal yang membuat sejumlah generasi muda tertarik menjadi penginjil.
Konsep tersebut mengharuskan pengikutnya taat dan percaya kepada perintah Tuhan, melebihi ketaatan kepada aturan-aturan politik. “Saya percaya Alkitab juga mengajarkan tentang mengasihi yang lemah, jadi tentu saja saya peduli pengungsi,” kata Yang.
Dia mengatakan di kalangan penduduk Amerika Serikat (AS) obrolan tentang imigran telah berubah menjadi, obrolan yang sangat berbahaya.
Dia merasa prihatin, karena sebagai seorang penginjil seharusnya tidak perlu terpengaruh terhadap larangan imigran masuk ke AS. “Apakah pendeta, penginjil, atau evangelis bekerja untuk Tuhan, atau untuk Partai Republik,” tanya dia. (vox.com)
Editor : Sotyati
Faktor Penyebab Telat Bicara pada Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengurus Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial Ikatan ...