Loading...
INSPIRASI
Penulis: Cordelia Gunawan 14:13 WIB | Kamis, 04 Agustus 2022

Penerimaan dalam Semangkok Soto atau Jau To

Bermacam- macam soto (Foto : Canvapremium)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Semangkok kuah kaldu bening dengan soun, toge, suwiran ayam bercampur dengan nasi adalah jenis Soto Ayam asal Jawa Tengah, sebutlah soto kudus atau soto semarang.

Kuah kaldu ayam berwarna kuning muda dengan santan, diberi suwiran daging ayam, toge, daun bawang, daun seledri dengan perkedel kentang, adalah Soto Ayam Medan.

Kaldu bening daging dengan irisan daging sapi, lobak dan kacang adalah Soto Bandung. Berbeda lagi dengan Soto Betawi. Soto Betawi adalah kaldu santan dengan irisan daging dan jeroan. Konon ada 70 jenis soto di Indonesia. Soto Kudus, Soto Semarang Soto Betawi, Soto Bandung, hanya sekian jenis dari banyaknya varian soto di Indonesia.

Pada 29 Maret 2017, Menteri Pariwisata saat itu, Bpk. Arief Yahya dalam Dialog Gastronomi Nasional ke-2 di Jakarta, menyebutkan soto sebagai makanan khas Nasional. (https://hotel-management.binus.ac.id/2017/03/31/soto-menjadi-branding-makanan-nasional-indonesia/) Soto dipilih menjadi salah satu makanan Nasional Indonesia karena soto dijumpai di berbagai macam daerah di Indonesia. Soto adalah jenis makanan yang mudah dibuat dan dapat di makan kapan saja, baik itu sebagai makan pagi, makan siang atau makan malam.

Jika dilihat dari sejarahnya, soto sendiri berasal dari Tiongkok, dan disebut sebagai cau do atau jau to. Arti cau do sendiri adalah rerumputan jeroan. Kuliner soto sendiri pertama kali populer di kota Semarang sekitar abad ke-19 dan dipopulerkan oleh warga Tionghoa peranakan. (https://phinemo.com/sejarah-soto-di-indonesia/)  Tentu saja, dalam persebarannya soto sendiri sudah memiliki banyak penyesuaian, sesuai dengan daerah dan lokasi di mana soto itu dibuat. Menarik untuk memperhatikan asal usul soto dan bagaimana soto menjadi makanan khas nasional.

Warga Masyarakat Antara

Berbicara mengenai keragaman budaya adalah sesuatu yang susah-susah gampang. Masyarakat Tionghoa peranakan di Indonesia, adalah masyarakat antara. Mereka bukan Tionghoa. Mereka bukan Indonesia. Mereka Tionghoa. Mereka Indonesia. Ini yang membuat kebingungan tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa sendiri namun juga bagi masyarakat sekitar. Tionghoa peranakan seringkali dipandang bukan Indonesia Asli, namun di satu sisi mereka juga tidak lagi dapat berbicara bahasa Tionghoa bahkan sudah tidak lagi menghidupi budaya Tionghoa. Menjadi sebuah tantangan untuk hidup sebagai Tionghoa peranakan di tengah masyarakat Indonesia. Bagaimana untuk terus hidup diterima sebagai bagian dari Indonesia.

Melihat keragaman budaya dari sisi kuliner Indonesia akan membuat kita lebih mudah menghargai dan menerima budaya lain. Soto yang jelas-jelas merupakan akar budaya Tiongkok ini mengalami penyesuaian di sana sini, bahkan sudah diakui menjadi makanan Nasional Indonesia. Kuliner daerah tertentu mempunyai kekhasan tersendiri. Kita menghormati, bahkan menikmati kekhasan tersebut. Kalau pun kita menyesuaikan dengan keadaan kita namun kita tetap menyadari kekhasan kuliner tersebut.

Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. Tidak ada suku yang lebih baik dari suku yang lain, setiap suku punya kekhasan sendiri-sendiri. Juga tidak ada satu budaya yang asli, setiap budaya juga sudah bercampur dan mengalami penyesuaian. Tidak ada juga satu suku yang asli Indonesia. Proses kehidupan di mana manusia lain bertemu dengan manusia lain, menjalin interaksi dan hidup sebagai keluarga, harusnya membuat kita semakin menyadari tidak ada yang asli apalagi di tengah bangsa Indonesia yang sedemikian majemuk. Keberagaman adalah sebuah anugerah, namun dapat menjadi sebuah bencana jika tidak dikelola dengan baik.

Mari hidup sebagai masyarakat yang menerima dan menghargai satu sama lain, sehingga keragaman itu menjadi sesuatu yang indah, tidak mengerikan. Berbeda menjadi sebuah kekuatan dan bukan menjadi momok yang menakutkan.

Editor : Eti Artayatini


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home