Loading...
OPINI
Penulis: Julianus Mojau 14:32 WIB | Sabtu, 19 Mei 2018

Pentakosta: Hari Kecakapan Komunikasi Politik

Di sini komunikasi politik sedianya menjadi peristwa iman pentakostal, peristiwa pencerahan hati dan pikiran, ujud karya Roh Kudus yang mencairkan sentimen identitas politik dan politik keagamaan dan kesukuan serta kepartaian sauvinistis yang membatu dan selalu mengancam orang lain.

SATU HARAPAN.COM – Setiap tahun, umat Kristen se-Indonesia seperti umat Kristen se-dunia, merayakan Hari Pentakosta sebagai peristiwa iman. Dan momentum peristiwa iman ini patut direnungkan maknanya dalam hubungan dengan komunikasi politik kita di Indonesia di jalan transisi demokrasi sekarang ini. Apalagi dalam konteks komunikasi politik kalangan elite politik kita yang tidak jarang menimbulkan salah-paham karena lemahnya kesadaran berkomunikasi yang saling mencerahkan hati dan pikiran.

Yang sering kali kita saksikan adalah komunikasi politik yang tidak mampu mengelola perbedaan agama dan suku serta ideologi partai yang sangat meragam itu sejak gerakan reformasi 1998. Pendek kata: komunikasi politik yang diperankan sebagian elite politisi kita justru memanfaatkan perbedaan agama, suku, serta ideologi politik sebagai bahan komoditas politik murahan dalam bentuk penguatan identitas politik keagamaan dan kesukuaan serta kepartaian.

Tentu saja kita tidak mungkin menafikan penguatan identitas politik itu. Tetapi, penguatan identitas politik itu seharusnya mampu keluar dari perwatakan identitas politik keagamaan dan kesukuan masyarakat monarki dan feodal, serta identitas politik kepartaian perang dingin pasca-Perang Dunia II. Perwatakan identitas politik keagamaan dan kesukuaan masyarakat monarki dan feodal serta identitas politik kepartaian roh zaman perang dingin selalu memosisikan the other ’orang lain’ semata-mata musuh yang harus dibinasakan.

Itulah sebabnya perbedaan  dialek kebahasaan dan dialek teologis agama-agama serta budaya pun menjadi sumber masalah dalam kehidupan sosial ke-Indonesia-an kita. Sebagai akibatnya, identitas politik dan politik identitas lalu menjadi penyakit sosial yang merusak relasi-relasi sosial yang egaliter dan humanis antarsesama warga negara Indonesia yang memiliki latar belakang agama dan suku yang majemuk itu.

 

Kecakapan Sosial

Kalau komunikasi politik semacam itu menjadi habitus politik para politisi kita dan warga masyarakat Indonesia umumnya, maka kita kita dapat memahami kekhawatiran sebagian pengamat bahwa penguatan identitas politik dan politik identitas berdasarkan agama dan latar belakang etnis dapat menjadi ancaman bagi kemajemukan Indonesia. Apalagi dalam konteks Indonesia, yang masih diwarnai oleh tindak kekerasan sosial yang tidak jarang berbajukan identitas keagamaan. Padahal sejatinya tidak ada agama dan bahkan tidak ada tokoh agama yang memiliki ketajaman hati-nurani-humanis yang menganjurkan perilaku tindak kekerasan sosial atas nama agama.

Oleh karena itu, diperlukan kecakapan sosial setiap warga negara Indonesia, apa pun agama dan suku serta ideologi partainya, untuk memastikan bahwa penguatan identitas politik dan politik identitasnya tidak lain untuk merawat kemajemukan wajah ke-Indonesia-an Allah. Kita tidak pantas berbangga diri sebagai negara dan bangsa serta masyarakat plural kalau watak dan sikap sosial kita masih suka meniadakan perbedaan agama, budaya, suku, bahasa, dan dialek. Kita hanya bisa berbanga diri sebagai masyarakat plural kalau kita mampu menerima dan menghayati perbedaan agama, budaya, suku, bahasa dan dialek yang ada sebagai ciri wajah ke-Indonesia-an Allah dapat terawat dengan baik sehingga tampak humanis.

Untuk dapat memelihara wajah ke-Indonesia-an Allah yang serba majemuk itu dibutuhkan komunikasi politik sebagai kearifan saling menyambung rasa dan hidup manusiawi di mana martabat manusia sebagai gambar Allah menjadi kriterium kebenaran suatu identitas politik, baik agama, budaya maupun idelogi politik.

 

Belajar dari Pentakosta

Di sini kita dapat belajar dari dengan peristiwa iman Hari Pentakosta seperti dikisahkan Lukas, penulis Kisah Para Rasul 1:1-13. Dalam peristiwa itu kita membaca terjadinya komunikasi yang mampu melampaui (beyond) ”kebutaan hati dan pikiran” hanya karena perbedaan agama, budaya, suka, bahasa dan dialek serta ideologi politik. Memang tidak jarang kecakapan mengembangkan komunikasi politik seperti ini dilihat dan dicemoh sebagai keanehan yang tidak masuk akal. Dalam kisah Pentakosta—50 hari setelah Paskah—mereka yang memiliki kecakapan komunikasi politik humanis itu dicap sebagai ”orang mabuk” (ayat 13) oleh orang-orang yang masih dibutakan oleh politik identitas yang memperkuat identitas politik kesukuaan dan keagamaan serta ideologi politik yang sauvinistis.

Dalam sejarah bangsa Indonesia kita punya sejumlah figur yang memiliki kecakapan komunikasi politik humanis itu. Kita dapat menyebutkan di sini, misalnya, Gus Dur dan mereka yang tekun mengembangkan politik multikultural dan multiregius itu. Sejatinya, kecakapan mengembangkan dan membangun komunikasi politik humanis lintas agama, budaya dan ideologi itulah yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara Indonesia sekarang ini.

Komunikasi politik humanis itu akan mampu melampaui identitas politik  dan politik identitas politik keagamaan dan sesukuaan serta kepartaian yang sauvinistis. Di sini komunikasi politik sedianya menjadi peristwa iman pentakostal, peristiwa pencerahan hati dan pikiran, ujud karya Roh Kudus yang mencairkan sentimen identitas politik dan politik keagamaan dan kesukuan serta kepartaian sauvinistis yang membatu dan selalu mengancam orang lain.

Komunikasi politik seperti ini akan mampu mengelola perbedaan agama, suku, rasa dan ideologi menjadi pemerkaya dan vitamin penyehat jiwa serta semangat hidup ke-Indonesia-an kita yang belakangan ini sedang sakit yang diakibatkan oleh identitas politik dan politik identitas sauvinistis.

Di sini umat Kristen Indonesia terpanggil untuk terus menghayati dan menghidupi peristiwa iman pentakotal sebagai peristiwa mengalami karya Roh Kudus yang menyata dalam tutur-kata dan tindakan keharian yang selalu merawat wajah kemajemukan ke-Indonesia-an Allah. Dengan demikian wajah ke-Indonesia-an Allah selalu tampak sehat dan berkemajuan sosial secara politik, ekonomi, agama dan budaya.

Peristiwa pentakosta sesungguhnya mengingatkan bahwa perbedaan agama dan suku bahkan ideologi partai tidak dapat dinafikan sekaligus bukan merupakan ancaman dan merusak, yang akan menghancurkan  identutas kebangsaan ke-Indonesia-an kita.

Selamat Merayakan Pentakosta sebagai hari kecakapan komunikasi politik!

 

*Penulis adalah pengajar di Fakultas Teologi Universitas Halmahera

Editor : Yoel M Indrasmoro

Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home