Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:43 WIB | Selasa, 22 Januari 2019

Penutupan Taman Nasional Komodo, Sekadar Wacana atau Berbasis Riset?

Ide penutupan Taman Nasional Komodo menuai kritik karena kehadiran turis dianggap tak mengganggu satwa yang hidup liar. (Foto: bbc.com)

NUSA TENGGARA TIMUR, SATUHARAPAN.COM – Keinginan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Laiskodat, menutup sementara Taman Nasional Komodo memicu polemik.

Rencana tersebut dianggap akan berdampak pada pendapatan daerah, namun diklaim demi menggenjot populasi komodo.

Otoritas taman nasional yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyebutkan saat ini tidak ada darurat populasi maupun ancaman lingkungan.

Beberapa penyedia jasa pariwisata khawatir bisnis mereka akan ambruk jika Taman Nasional Komodo benar-benar ditutup dalam jangka waktu panjang.

Pada sisi lain, pemerintah lokal ingin wilayah yang berstatus situs warisan dunia versi UNESCO itu dapat didesain ulang. Mereka juga berharap meraih porsi pendapatan wisata yang lebih banyak.

Kepala Taman Nasional Komodo, Budhy Kurniawan, mengklaim manajemen pengelolaan yang digelar timnya berjalan tepat sasaran, dengan populasi komodo disebutnya masih dalam taraf aman.

Menurut Budhy, penutupan sementara yang diutarakan Viktor hanyalah wacana dan tidak serta merta bisa dilaksanakan.

"Kami selalu ada dasar kajian atau scientifically based. Semua relatif masih baik. Ancaman pasti selalu ada, tapi penataan dan perbaikan harus terus kami lakukan," kata Budhy, Senin (21/1).

Berdasarkan data resmi KLHK, populasi komodo relatif stabil, meski sempat turun. Pada tahun 2017 jumlah binatang purba itu 2.762 ekor, sementara pada 2016 berjumlah 3.012 ekor.

Hewan endemik ini, hanya dapat ditemukan di taman nasional tersebut. Populasinya tersebar di lima pulau sekitar taman nasional, yakni Pulau Komodo, Rinca, Padar, Gili Motang, dan Kode.

"Mungkin penutupan itu baru sebatas pernyataan. Pengelolaan masih berjalan seperti biasa," kata Budhy.

Peluang Keuntungan

Pemprov NTT menyadari mereka tak punya otoritas untuk menutup taman nasional.

Kepala Humas Setda NTT, Semuel Pakeren, menyebut wacana itu masih dikoordinasikan dengan KLHK.

Usulan mereka tak cuma soal peningkatan populasi komodo, namun juga agar fasilitas pariwisata dikembangkan di taman nasional itu.

"Namanya juga taman, isinya bukan hanya komodo, jadi butuh pendukung supaya tumbuh lebih pesat lagi."

"Itu akan menyumbang lebih banyak pendapatan ke daerah, kalau sekarang kan lebih ke pusat. Karena berada di NTT, diharapkan NTT memperoleh pendapatan dari taman nasional ini," kata Semuel.

Gubernur Viktor Laiskodat berulang kali menyatakan akan menggelontorkan Rp100 miliar untuk pembangunan ulang taman nasional tersebut. Menurutnya, habitat komodo itu selama ini terbengkalai karena dikelola KLHK.

"Kami akan ambil alih (pengelolaan). Kami juga akan tutup untuk sementara waktu. Kalau ribut-ribut paling nanti presiden yang akan turun dan saat itu kami akan jelaskan alasannya," katanya  di Kupang, Rabu (16/1) pekan lalu.

Dari segi pariwisata, Taman Nasional Komodo memang salah satu yang teratas di antara titik turisme lain di Indonesia. Pada tahun 2017, pelancong yang datang ke sana mencapai 122.000 orang.

Sementara selama Januari-Agustus 2018, total pengunjung taman nasional itu melebihi 2017, yakni 126.000 orang.

Mayoritas turis adalah pelancong luar negeri, terbanyak dari Australia, diikuti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan Belanda.

Taman Nasional Komodo, belakangan memang dirancang menjadi salah satu titik pariwisata terbesar Indonesia.

Labuan Bajo, pintu masuk turis ke pulau-pulau yang masuk Taman Nasional Komodo, masuk 10 destinasi prioritas Presiden Joko Widodo.

Tidak Masuk Akal

Bagaimanapun, gagasan penutupan temporer taman nasional ini dianggap tidak berkorelasi dengan situasi di lapangan.

Haris, pengelola salah satu penyedia jasa pariwisata di Labuan Bajo, menyebut kehadiran turis ke lokasi itu tak berdampak buruk pada populasi komodo.

Menurut Haris, yang seharusnya dicegah adalah pembangunan hotel atau resor di taman nasional tersebut.

"Turis hanya melihat, tidak mengambil atau membunuh komodo. Kalau penginapan kan menghasilkan limbah, sedangkan selama ini turis datang sesuai rute dan dikawal ranger," katanya.

Sementara pengelola jasa perjalanan lain, Yudhi, menyebut Labuan Bajo, pintu masuk ke Taman Nasional Komodo, adalah destinasi wisata yang paling laku. Ia khawatir penutupan itu bakal berdampak pada bisnisnya.

"Pemilik travel jelas menolak, terutama sektor produktif yang bakalan mati, seperti hotel, persewaan kapal, transportasi darat, dan oleh-oleh,” katanya.

Taman Nasional Komodo dibentuk tahun 1980. Sebelas tahun setelah itu, mereka dinyatakan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.

Taman nasional di Kabupaten Manggarai Barat ini terdiri atas gugus kepulauan dan tiga pulau utama: Komodo, Rinca, dan Padar.

Selain komodo, tempat juga menjadi habitat bagi sekitar 277 spesies satwa.

Gagasan penutupan Taman Nasional Komodo diprediksi dapat berdampak pada pendapatan warga lokal.

Agustus lalu, salah satu pulau di gugusan, Gili Lawa, terbakar hebat. Api melalap hampir semua wilayah seluas 10 hektare tersebut.

Pada waktu yang bersamaan, muncul polemik privatisasi lahan di Taman Nasional Komodo, untuk kepentingan bisnis pariwisata. Sejumlah unjuk rasa digelar untuk menentang pengembangan bisnis itu.

Namun, isu itu dibantah KLHK. Mereka menyebut hanya menerbitkan izin usaha pemanfaatan sarana wisata alam di zona pemanfaatan, sesuai regulasi.

Dua perusahaan yang telah mengantongi izin dari KLHK untuk mendirikan fasilitas pariwisata di taman nasional itu adalah PT Segara Komodo Lestari dan PT Komodo Wildlife Ecotourism. (bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home