Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 07:25 WIB | Kamis, 16 Juni 2016

Peradi: Keyakinan Tak Bisa Dikriminalisasi

Salah satu warga eks Gafatar (paling kanan) saat memberikan kesaksian dalam Konferensi Pers Tokoh Lintas Iman Tuntut Negara Pulihkan dan Penuhi Hak-hak Warga Eks Gafatar, di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, hari Rabu (15/6). (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sugeng Teguh Santoso menilai berdasarkan konstitusi dan undang-undang, kebebasan berpikir---yang dalam wujudnya adalah kebebasan berkeyakinan dan beragama---tidak bisa dinilai dalam ukuran hukum-hukum pidana. Dalam hal ini, negara tidak boleh mengkriminalisasi keyakinan seseorang.

Menurutnya, setiap warga negara boleh berpikir dan berkeyakinan apa pun, jadi apabila ada seseorang atau kelompok yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mainstream, seperti Gafatar, tidak bisa serta merta dianggap tindak pidana.

 “Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama masuk dalam wilayah konsep berpikir, itu tidak bisa dijangkau dengan hukum pidana. Itu semua dijamin oleh konstitusi Pasal 29 UU 1945. Tidak bisa instrumen pidana menjangkau mereka, jika terjadi maka  itu adalah nyata-nyata kriminalisasi,” kata dia dalam Konferensi Pers Tokoh Lintas Iman Tuntut Negara Pulihkan dan Penuhi Hak-hak Warga Eks Gafatar, di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, hari Rabu (15/6).

Sugeng juga menjelaskan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penanganan konflik Kelompok Gafatar.

 “Ada pengusiran secara paksa terhadap Kelompok Gafatar, yaitu perpindahan komunitas atau kelompok yang bukan atas keinginan mereka sendiri , ada kekerasan, ancaman kekerasan, intervensi dengan penggunaan ancaman kekerasan,” kata dia.

Ia menyayangkan pemerintah menjadi tokoh sentral dalam pelanggaran HAM tersebut.

 “Mengurai permasalahan Gafatar dimulai dari adanya pengusiran oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah. Ini sangat disayangkan,” katanya.

Peradi, mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki adanya pelanggaran HAM ini secara serius.

 “Ini harus diselidiki lebih dalam. Berdasarkan terminologi UU Peradilan HAM Nomor 26 Tahun 2000, pengusiran seperti itu merupakan suatu pelanggaran HAM berat, masuk dalam kelompok kejahatan kepada kemanusiaan. Oleh karena itu kita mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki, karena kewenangan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM ada pada Komnas HAM, setelah itu bisa diajukan penuntutan ke Kejaksaan Agung,” ujar Sugeng.

Sebagai komunitas advokat di Indonesia, Peradi merasa berkewajiban terlibat dalam penanganan pelanggaran HAM.

Selanjutnya,Peradi mengajak masyarakat dan pemerintah untuk melihat warga eks Gafatar ditempatkan sebagai korban, bukan distigmakan sesat. “Dengan menempatkan mereka sebagai korban maka dapat menghindarkan adanya kriminalisasi atau upaya-upaya untuk membungkam kasus ini untuk diselesaikan,” katanya.

Warga eks gafatar mengalami kriminalisasi dengan tuduhan penistaan agama. Hal ini dianggap membalikkan sisi kemanusiaan.

 “Polisi sudah menetapkan tiga pemimpin mereka sebagai tersangka, dan setelah ini akan dituntut. Itu menutupi adanya pelanggaran HAM pengusiran secara paksa itu. Harus ada pengembalian keadilan bagi warga eks gafatar. Kita akan memberikan advokasi hukum bila diperlukan,” kata dia menambahkan.

Apa Itu Gafatar?

Majelis Ulama Indonesia, MUI, menduga ormas Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) adalah perpanjangan dari organisasi Al-Qiyadah Al-Islamia, pimpinan Ahmed Moshaddeq, yang telah difatwa sesat.

"Pak Moshaddeq waktu itu menganggap dirinya seorang nabi, maka MUI memutuskan bahwa orang ini sudah melakukan penistaan agama," kata Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, kepada BBC Indonesia, Selasa (12/01) siang.

Pada awal Oktober 2007, MUI telah mengeluarkan fatwa sesat terhadap Al-Qiyadah.

Setahun kemudian, Rabu, 23 April 2008, pimpinan Al-Qiyadah Ahmed Moshaddeq divonis hukuman empat tahun penjara oleh Pengadilan negeri Jakarta Selatan karena terbukti melakukan "perbuatan penodaan agama".

Temuan MUI, lanjutnya, setelah masa hukumannya berakhir, Moshaddeq "membentuk organisasi lain yaitu adalah namanya Abraham religion yang menggabungkan antara Islam, Kristen dan Yahudi".

"Akhirnya dia membentuk organisasi lain dengan nama Gafatar, Gerakan Fajar Nusantara," kata Muhyidin.

Saat ini, imbuhnya, MUI masih mengkaji untuk memastikan apakah Gafatar merupakan penjelmaan Al-Qiyadah Al-Islamiyah.

"Kalau memang Gafatar ini reinkarnasi dari Al-Qiyadah Islamiyah, maka dengan sendirinya dianggap sesat dan menyesatkan," kata dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home