Loading...
RELIGI
Penulis: Ignatius Dwiana 20:15 WIB | Minggu, 22 Oktober 2017

Perayaan 200 Tahun Kelahiran Baha’u’llah: Persatuan Umat Manusia

Perayaan 200 Tahun Kelahiran Baha’u’llah: Persatuan Umat Manusia
Fahim, Majelis Rohani Nasional Baha'i. (Foto-foto: Ignatius Dwiana)
Perayaan 200 Tahun Kelahiran Baha’u’llah: Persatuan Umat Manusia
Rahmi Alfiah Nur Alam, Majelis Rohani Nasional Baha'i.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyambut 200 tahun kelahiran pendiri agama Baha'i, masyarakat Baha'i Indonesia mengelar peringatan 200 tahun kelahiran Baha’u’llah dengan menekankan pada kesatuan umat manusia dan bumi. Itu merupakan pesan penting Baha’u’llah, Pembawa Agama Baha'i, yang sangat relevan saat ini.

"Cara pandang atas umat manusia sekarang ini menjadi sangat penting bahwa umat manusia menjadi satu unit yang dirancang untuk bersatu. Bumi ini menjadi satu unit di zaman ini sehingga kesatuan seperti itu menjadi urgensi. Seperti satu tubuh. Jadi pesannya adalah pesan kesatuan. Kesatuan itu adalah suatu keniscayaan, bukan pilihan. Harus dijalin oleh manusia dalam situasi peradaban saat ini," kata Fahim dari Majelis Rohani Nasional Baha'i kepada satuharapan.com saat acara peringatan 200 tahun kelahiran Baha’u’llah di Jakarta, Sabtu (21/10).

Fahim menegaskan bahwa konsep kesatuan sendiri bukan hal baru. Karena ini adalah inti setiap agama. Namun dia menjelaskan Baha’u’llah datang untuk mengingatkan kembali bahwa agama itu untuk persatuan. Tetapi persatuan umat manusia tidaklah mudah. Apalagi ketika masih ada konsep liyan yang memandang orang lain bukan sesama.

"Kita lihat ada konsep liyan. Misalnya jika ada pemimpin negara mengatakan dahulukan kelompok kita. Dahulukan negara kita. Pernyataan itu menjadi tidak relevan dengan konsep kesatuan global saat ini. Ini bukan perjuangan yang mudah. Ada proses disintegrasi yang sedang terjadi. Banyak sistem yang terpecah belah dan gerakan yang memecah belah. Namun proses ini secara bersamaan juga melahirkan proses integrasi dan lahirnya kesadaran baru di masyarakat. Ini adalah tantangan kita bersama. Umat Baha'i yakin bahwa perdamaian dan proses perbaikan dunia tidak bisa terjadi hanya melalui umat Baha'i saja, tetapi secara bersama-sama," kata Fahim.

Agama Baha'i berkembang di Indonesia pertama kali sekitar 1885-87. Masuk Indonesia ketika pembawanya, Baha’u’llah, masih hidup. Agama yang ajarannya sangat universal ini sempat dilarang Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1962. Dilarang karena dianggap menghambat revolusi atau bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.

Presiden Abdurrachman Wahid pada tahun 2000 mencabut Keputusan Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor: 69 Tahun 2000. Walau larangan dicabut tetapi hak-hak sipil penganut agama Baha'i masih belum terpenuhi. Seperti pencantuman agama Baha’i dalam KTP dan Kartu Keluarga (KK), akte kelahiran, akte perkawinan, dan pendidikan agama di sekolah.

Fahim menilai, "Masalah ini merupakan masalah bersama, masalah bangsa. Bukan sekedar masalah umat Baha'i dengan pemerintah. Umat Baha'i hanyalah salah satunya. Tetapi ini adalah sebuah masalah bangsa yang kita harus perbaiki bersama-sama. Kita harus membantu pemerintah untuk memperbaiki masalah ini untuk menciptakan sistem yang melayani semua. Kita adalah salah satu elemen yang ada di dalamnya."

Sementara Majelis Rohani Nasional Baha'i, Rahmi Alfiah Nur Alam berpendapat kehadiran umat Baha'i sudah lebih diterima saat ini.

"Kami mendapat bantuan dari Pemerintah dan dukungan sehingga menjadi lebih terbuka. Tetapi ini semua proses pembelajaran. Manusia sedang berproses menuju kedewasaan. Jadi kita dalam tahap seperti itu dan itu musti dilalui. Tetapi sekarang banyak perubahan."

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home