Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 17:00 WIB | Kamis, 02 Juni 2016

Perlu Dialog Papua dan Jakarta

Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa, Ban Ki-moon (kiri) ketika berbincang-bincang dengan aktivis HAM Pasifik, Emele Duiturage, yang menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua kepada Sekjen PBB tersebut (Foto: Markus Haluk)

SATUHARAPAN.COM – Bersamaan waktu penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Afrika, Karibia dan Pasifik (African Caribbean Pacific Summit atau ACP Summit) di ibu kota Papu Nugini, Port Moresby, di tanah Papua digelar sejumlah unjuk rasa. Peristiwa di dua tempat itu dicoba utuk dimanfaatkan untuk dikaitkan, terutama tentang situasi Papua.

KTT dimulai hari Senin (30/5) dan akan berlangsung hingga Jumat (3/6). Di sana ada delegasi dari pemerintah Indonesi, tetapi juga datang wakil dari kelompok Papua yang selama ini dikenal sebagai United Movement for West Papua (ULMWP). Yang kedua memanfaatkan forum itu untuk membangun dukungan penentuan nasib sendiri bagi Papua.

Di Tanah Papua, hari Selasa (31/5) para pendukung ULMWP menggelar unjuk rasa. Ada yang menyebutkan berjumlahnya ribuan orang, tapi ada juga media yang menyebutnya hanya ratusan orang. Juru bicara ULMWP, Benny Wenda, kepada satuharapan.com, mengatakan ada 600 pengunjuk rasa yang ditangkap aparat keamanan.

Di sisi lain, hari kamis (2/6) dikabarkan digelar unjuk rasa oleh kelompok pendukung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang menandai sikap untuk menandingi kelompok yang berunjuk rasa sebelumnya.

Kancah Internasional

Apa yang terjadi di Papua yang memanfaatkan pertemuan para delegasi negara-negara Pasifik, Afrika dan Karibia di Port Moresby untuk menmbangun dukungan, menunjukkan bahwa memang ada persoalan yang mendesak di Papua.

Di satu sisi adalah pihak yang ingin agar ada proses penentuan nasib sendiri bagi Papua yang dimotori oleh ULMWP. Namun kelompok ini tampaknya membawa agenda yang tidak banyak beda dengan kelompok dan gerakan sebelumnya di Papua.

Di sisi lain, yang juga dicerminkan oleh adanya pihak-pihak di internal Papua, yang condong pada dukungan NKRI. Dan unjuk rasa yang dilakukan hari Kamis sebagai sebuah pernyataan tandingan.

Masalah di Papua harus disadari bahwa ini telah berlangsung lama, bahkan telah muncul di paroh pertama dekade 1960-an. Itu berarti bahwa masalah ini telah muncul dalam setengah abad ini, dan belum menunjukkan ada tanda-tanda masalah ini akan diselesaikan dengan segera.

Melihat perkembangan yang terjadi belangan ini, terutama kecenderungan untuk dibawa ke forum internasional, harus disikapi sebagai situasi yang makin serius. ULMWP berusaha membawa masalah ini untuk mendapat perhatian internasional, dan ada pihak-pihak di luar yang merespons, dan berencana membawa ke forum PBB.

Jika itu terjadi, melibatkan pihak-pihak lain di luar Jakarta dan Papua, bisa berarti dibawanya kepentingan-kepentingan luar yang membuat kompleksitas masalah Papua yang sudah kompleks menjadi makin kompleks. Oleh karena itu, respos yang cepat di internal Papua dan Jakarta sangat diperlukan untuk mengantisipasinya.

Dialoglah Yang Dibutuhkan

Perkembangan lain yang muncul adalah semakin meningkatnya digunakan ‘’kekuatan’’ untuk menyelesaikan masalah Papua. Jika situasi ini sampai tingkat ‘’menjebak’’ maka akan ada bahaya, apalagi jika kemudian ‘’kekuatan’’ itu diterjemahkan sebagai kekuatan senjata dan militer; oleh pihak manapun. Sebab, masalahnya akan semakin rumit dan ‘’bayarannya’’ akan semakin tinggi.

Oleh karena itu, baik Jakarta maupun Papua haruslah berusaha untuk tidak memilih peluang itu, melainkan proses-proses yang tidak menggunakan kekerasan. Ada banyak pihak yang telah banyak menyarankan untuk proses dialog politik antara Jakarta dan Papua. Saran ini patut didengar. Saran seperti itu muncul setelah proses pembangunan kesejahteraan dinilai berjalan terlalu lambat, sehingga gap Papua dan wilayah lain di Indonesia makin mencolok.

Dialog antara Jakarta dan Papua merupakan kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah ini. Namun melihat berbagai perbedaan yang signifikan di dalam internal kedua pihak, dialog internal sangat diperlukan untuk mendahuluinya.

Internal Papua sendiri memerlukan dialog, setidaknya untuk mencegah terjadi konflik dan perpecahan, yang nantinya akan kenyulitkan terjadinya dialog yang genuin dengan pihak Jakarta. Di sisi lain Jakarta juga harus membangun satu visi yang jelas dan konkret untuk mengatasi masalah Papua. Jakarta yang melihat Papua sebagai bagian integral Indonesia, ditantang untuk menunjukkan itu secara nyata dengan dialog dan pembangunan kesejahteraan.

Dialog haruslah menjadi pilihan, dan dialog itu membutuhkan modal kepercayaan dan integritas untuk menjadi proses yang konstruktif bagi keduanya. Pemerintah Indonesia sejauh ini belum menunjukkan respons ke arah tersebut, terutama pada pemerintahan sebelumnya. Presiden Joko Widodo yang beberapa kali berkunjung ke Papua, ternyata belum mampu pembukan jalan bagi dialog yang diharapkan.

Oleh karena itu, sekarang diperlukan upaya yang lebih serius bagi kedua pihak untuk mulai merintis jalan dialog. Hanya dialog yang dalam sejarah membuktikan sebagai jalan penyelesaian tanpa kekerasan. Penggunaan kekuatan, terutama senjata, hanya akan membuat masalah makin besar, dan jalan penyelesaian makin sempit.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home