Loading...
BUDAYA
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:08 WIB | Selasa, 03 Maret 2020

Persahabatan 2 Perempuan Difabel dalam Film How Far I’ll Go

Andrea Darmawan atau Dea, Pemeran utama film "How Far I’ll Go" (Foto: voaindonesia.com/courtesy).

WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Film independen "How Far I’ll Go" atau Sejauh Ku Melangkah,  berhasil menjadi pemenang dalam Shorts Pitch Competition yang diadakan oleh Tribeca Film Institute di New York tahun lalu.

Film dokumenter karya sutradara perempuan Indonesia itu,  mengisahkan persahabatan dua sahabat difabel Indonesia, yang terpisah oleh jarak dan perbedaan waktu, namun menghadapi tantangan yang sama untuk menjadi remaja yang mandiri.

Itulah cuplikan flm independen How Far I’ll Go atau Sejauh Ku Melangkah,  di mana pemeran utama Andrea sedang belajar menyetir walau tidak bisa melihat. Film itu mengisahkan dua sahabat tunanetra, Andrea dan Salsa yang tak bisa melihat sejak lahir dan berteman saat di TK tunanetra Lebak Bulus, Jakarta. Pada usia lima tahun, Andrea bersama keluarga pindah dari Jakarta ke Virginia, Amerika Serikat, sementara Salsa tetap berada di Jakarta.

Kini keduanya beranjak remaja. Terlepas jarak yang ada, Andrea dan Salsa tetap menjalin komunikasi melalui telepon video dan pesan instan.

“Selamat pagi, Salsa! Apa kabar?,” tanya Andrea Darmawan, pemeran utama How Far I'll Go.

Film dokumenter yang disutradarai Ucu Agustin tersebu, tahun lalu berhasil menjadi pemenang dalam Shorts Pitch Competition, yang diadakan oleh Tribeca Film Institute di New York, dan juga diputar di sejumlah tempat termasuk Washington DC.

Sutradara sekaligus pemerhati perempuan itu bertemu Dea, sapaan akrab Andrea pada Oktober 2017 ketika ia berumur 16 tahun.

Ucu Agustin, Sutradara How Far I’ll Go mengatakan, “Ketika saya melihat dia (Dea) sama teman-temannya, berbicara (ngobrol) tentang mode, musik, dan lain sebagainya, saya tidak melihatnya sebagai anak yang tidak bisa melihat.”

Melalui film How Far I’ll Go, Ucu ingin menjelaskan bagaimana remaja seperti Dea yang tidak bisa melihat mempersiapkan dirinya agar bisa mandiri sebagaimana orang normal lainnya.

Kepada VOA melalui telepon, dilansir voaindonesia.com, pada Selasa (3/3). Dea menjelaskan tantangan yang dihadapi tidak hanya mendaftarkan semua pihak yang terlibat mulai dari korespondensi melalui sejumlah email, pemberitahuan kepada pihak sekolah, guru dan kepala sekolah termasuk instruktur belajar mengemudi yang setelah beberapa bulan dihubungi akhirnya bersedia ikut dalam pembuatan film How Far I’ll Go.

“Aku bersama seorang guru dari sekolah menelepon dia dan membujuk instruktur tersebut,” kata Dea.

Ketika ditemui beberapa waktu lalu, Indah Setiowati kepada VOA menjelaskan,  rasa bangganya sebagai seorang ibu dan orangtua sekaligus mengerti bahwa Dea bukan anak difabel yang punya banyak keterbatasan.

Indah Setiowati, Ibu Dea, mengatakan, “Dia banyak bisa mengadvokasi dirinya dan anak-anak difabel lain bahwa tidak ada yang mustahil. The sky is the limit. Tidak ada yang bisa menghalangi kemajuan seseorang termasuk Dea.”

"My life perception since eight started to fade. When I was in fifth grade…and I remembered at first I was scared because I couldn’t tell when the light was on or off anymore…."

(Persepsi hidup saya sejak saya berusia delapan (tahun) mulai memudar. Ketika saya di kelas lima ... dan saya ingat pada awalnya saya takut karena saya tidak bisa tahu lagi kapan lampu menyala atau mati), begitu cuplikan kisah Dea dalam film tersebut.

Indah yang menghadiri sejumlah pemutaran Film Sejauh Ku Melangkah mengemukakan, respons para penonton yang positif di mana mereka mengakui bahwa keterbatasan dan ketidakleluasaan anak-anak difabel untuk mengikuti pendidikan masih ada di Indonesia.

Bagi sutradara Ucu Agustin, hal menarik dari persahabatan yang kuat itu selain keduanya tidak bisa melihat, juga perbedaan keyakinan antara kedua sahabat tersebut: Dea beragama Kristen sedangkan Salsa seorang muslim yang memakai kerudung.

Hal yang disukai dan berarti bagi Dea dalam film tersebut adalah bagian ketika di sekolah ia sedang berbicara dengan guru yang mengajarnya jurnalistik.

“Ada satu scene ketika saya ngobrol dengan guru jurnalistik. Dia tahu saya tekun dan bisa mengerjakan tugas yang diberikan. Jadi fakta bahwa saya tidak bisa melihat itu tidak menghalangi persepsinya,” katanya.(voaindonesia.com)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home