Loading...
RELIGI
Penulis: Melki 15:58 WIB | Selasa, 28 Maret 2023

PGI-ICRS: Kaum Muda Fleksibel Beragama, Toleransi Berjenjang

PGI-ICRS: Kaum Muda Fleksibel Beragama, Toleransi Berjenjang
Tangkapan layar hasil penelitian dinamika aktivisme digital kaum muda dalam kaitan wacana Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB). YouTube Yakoma PGI.
PGI-ICRS: Kaum Muda Fleksibel Beragama, Toleransi Berjenjang
Para peneliti dan penanggap diskusi.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bekerjasama dengan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), hari Selasa (28/3) mempublikasikan hasil penelitian dinamika aktivisme digital kaum muda dalam kaitan wacana Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa pertama, kaum muda cair dan fleksibel dalam beragama, toleran terhadap perbedaan namun kadar toleransi berjenjang. 

Urusan pribadi, seperti kesehatan, aktualisasi diri, hiburan, pekerjaan, jejaring politik, dan lainnya lebih mendominasi aktivitas medsos. Namun derajat fleksibilitas dan efektivitas sikap agama tergantung kemajemukan lingkungan, keluarga yang membesarkannya, budaya dan konteks lokal.

Kedua, kaum muda peka pada isu sosial dan kemanusiaan seperti lingkungan hidup dan keamanan data, namun terbatas perhatiannya terhadap wacana KBB.

Wacana ini, khususnya yang menimpa kelompok minoritas agama masih dipandang rawan dan beresiko tinggi. Sikap ini tidak lepas dinamika lokal, nasional, maupun beban sejarah di daerah masing-masing.

Ketiga, kaum muda masih di bawah bayang-bayang struktur, otoritas sosial keagamaan tradisional, sejarah lokal dan logika mayoritas-minoritas, yang menentukan ekspresi keagamaan dan sikap terhadap kasus-kasus KBB.

Keempat, kaum muda mengelola eksistensi di medsos sebagai ruang sosial dan kanal ekspresi diri, ekspresi keagamaannya, di antaranya sebagai taktik dan strategi menghindari tatapan otoritas dalam menentukan sikap keagamaannya.

Dinamika ini misalnya dilakukan melalui penamaan akun, pengelolaan beberapa akun medsos (multiple accounts), aktivasi virtual private network (VPN), komunikasi melalui layanan terenkripsi dan berbasis cloud computing seperti Telegram atau Signal, peramban mayantara (internet browser) seperti DuckDuckGo, Tor Browser, dan lainnya.

Sebelumnya, putaran pertama penelitian dilaksanakan pada tahun 2021, dilanjutkan yang kedua tahun 2022.

Penelitian pertama berfokus pada persepsi generasi Z (Gen Z), bertajuk "Kajian Respon Generasi Z terhadap Kasus-kasus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Media Daring."

Tujuan penelitian ini adalah memetakan dan memahami perspektif kaum muda terhadap wacana kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), dalam konteks aktivisme digital.

Tim peneliti putaran kedua terdiri dari Dr. Leonard Chrysostomos Epafras (ICRS), Dra. Evelyn Suleeman, M.A. (Universitas Indonesia), dan Daisy Indira Yasmine, M.Soc.Sci. (Universitas Indonesia).

Penelitian kedua kali ini memusatkan perhatian pada kaum muda yang lebih luas, yaitu Gen Z dan Y (Milenial), dalam rentang usia 18 hingga 34 tahun. Memanfaatkan metode campuran, tim peneliti melakukan amatan medsos, wawancara, focus group discussion (FGD), survei, dan bereksperimen dengan analisa mahadata (big data).

Wawancara dan FGD dilakukan di lima kota yang mewakili persebaran lima wilayah penetrasi internet atau mayantara menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yaitu wilayah Sumatera diwakili kota Padang, Jawa diwakili Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara diwakili Denpasar, Kalimantan diwakili Pontianak, dan Manado mewakili Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua. 

Analisa mahadata, melalui Social Network Analysis (SNA) dilakukan oleh rekanan tim peneliti yaitu Laboratorium Indonesia 2045 (Lab45). Periode penelitian Mei hingga Agustus 2022.

Survei daring berhasil menjaring 922 responden mewakili 33 provinsi, kecuali Bangka Belitung. Amatan medsos dilakukan terhadap 52 postingan YouTube, Instagram, Twitter, dan TikTok, sebagai platform digital kaum muda.

Di samping secara khusus menggali tanggapan mereka terhadap wacana KBB, penelitian ini juga mendapat manfaat memahami perilaku, kecenderungan, dan praktik sosial beragama di medsos. Di samping rentang usia yang lebih luas, yaitu dua generasi Z dan Milenial, penelitian kali ini mengamati konteks lokal, maupun disparitas urban dan rural, perkotaan dan pedesaan sebagai variabel tambahan untuk mempertajam amatan.

Jeirry Sumampow, Kepala Humas PGI kepada satuharapan.com, Selasa (28/3) menyampaikan bahwa berdasarkan temuan tersebut, PGI & ICRS merekomendasikan beberapa hal, sebagai berikut:

1) Demistifikasi sekat generasi, mempertalikannya dalam ikatan lintasgenerasi. Butuh siasat lintas generasi Rele-FUN. Penelitian ini menunjukkan, baik atau buruk, struktur sosial yang diwariskan kaum tua tetap menjadi ruang tumbuh kaum muda memperbaiki atau mengembangkannya. Kesinambungan generasi tetap terjadi meskipun mungkin sulit dan berdarah-darah. Dialog dan kerja bersama perlu senantiasa terbuka dan didorong. Butuh siasat lintas generasi untuk mencapai kesinambungan cita-cita bersama, siasat yang Rele-FUN.

2) Wacana KBB perlu menjadi bagian pendidikan umum secara programatis dengan metode pendidikan yang menyesuaikan dinamika kaum muda, lintas generasi dan konteks lokalnya. Penelitian ini menunjukkan pentingnya kolaborasi institusi pendidikan, institusi lainnya (agama, LSM, dll.), pemerintah, masyarakat sipil, media, platform digital, dan lembaga internasional untuk membangun sistem pembelajaran dan pemberdayaan kaum muda. Semangat yang menjiwai adalah kaum muda tidak dianggap sebagai sasaran, tetapi agen perubahan, pentingnya peningkatan literasi digital dengan metode penyampaian yang sesuai, serta mengembangkan konten-konten positif.

3) Pendidikan dan pendampingan wacana KBB mempertimbangkan keterkaitannya dengan keprihatinan sosial lain, seperti lapangan pekerjaan, kelestarian lingkungan hidup, ekonomi, AI, dan lainnya. Tema KBB perlu move on atau rebranding jargon-jargon dan branding "KBB," "toleransi," "perdamaian," "pluralisme," dan sejenisnya, yang berpotensi membatasi kalangan-kalangan kaum muda dari beragam spektrum persepsi lintas agamanya. Perlu mempertimbangkan keterkaitan lintas generasi melalui bahasa kaum muda yang mengedepankan hype dan vibe, beragama yang relevan, dan nilai-nilai generasi terdahulu.

4) Belajar dari dan merangkul para micro-preacher dan religiofluencer (religious influencer) dalam diskusi dan pengembangan wacana KBB di medsos. Tidak saja dalam penelitian ini, beragam penelitian lain menunjukkan pengaruh dan posisi strategis religiofluencer, yaitu micro-preacher, micro-ustadz, pastorgram, dan tokoh agama di medsos. Beberapa dari mereka memosisikan diri "moderat" dan "toleran" dalam berbagai isu keberagaman agama, bahkan dalam perjumpaan lintas agama. Mereka perlu terlibat aktif dalam mengembangkan wacana KBB melalui pelatihan, maupun postingan pesan-pesan agama.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home