Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 10:36 WIB | Kamis, 23 April 2015

Pidato Jokowi Dinilai Isyarat Berpalingnya RI ke Tiongkok

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe serta sejumlah kepala negara tepuk tangan bersama sebelum pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tahun 2015 di Jakarta Convention Center, Rabu (22/4). Sebanyak 32 kepala negara dan delegasi dari 92 negara menghadiri rangkaian peringatan tersebut di Jakarta dan Bandung yang digelar hingga 24 April 2015.. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pidato Presiden Joko Widodo ketika membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pemimpin negara-negara Asia Afrika di Jakarta Convention Center, Rabu (22/4), dinilai membawa pesan-pesan yang sangat kuat dan segar.

Media di dalam dan luar negeri banyak menggarisbawahi kritik tajam Jokowi terhadap negara-negara maju yang ia nilai bertanggung-jawab atas ketidak adilan global. Jokowi juga menilai banyak negara mapan masih melanjutkan pemikiran usang, yang hanya mengandalkan Bank Dunia, IMF dan Asian Development Bank (ADB) untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Lebih jauh, Jokowi menyerukan perlunya reformasi Perserikatan Bangsa-bangsa, serta perubahan arsitektur keuangan dunia (Pidato lengkap Jokowi dilampirkan di akhir tulisan ini).

Berbagai tanggapan muncul atas pidato Presiden Joko Widodo. Menurut Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Yuri Thamrin, banyak diplomat asing memberi apresiasi atas pidato Jokowi. “Banyak anggota delegasi, seperti halnya diplomat yang ditempatkan di Jakarta, berkata kepada saya bahwa mereka sangat mengapresiasi pidato Presiden," kata Yuri.

“Mereka mengatakan pidato tersebut menginspirasi," ia menambahkan.

Pidato Jokowi juga menjadi unik karena pilihan bahasanya yang sangat kontras dengan pidato pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono. Yang disebut belakangan ini dianggap lebih suka menggunakan bahasa yang 'aman' dan memilih mengetengahkan kompromi dalam menjalankan diplomasi, ketimbang konfrontasi.

Banyak pengamat menilai, sebagaimana dikatakan oleh The Jakarta Post, pidato Jokowi kali ini merupakan sinyal bergesernya rujukan kepemimpinannya dari berorientasi ke Barat menjadi lebih condong ke Tiongkok. Walaupun tidak dia sebutkan dalam pidatonya secara eksplisit, kritik Jokowi terhadap arsitektur keuangan global ditafsirkan sebagai semakin kuatnya dukungan Indonesia terhadap pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia atau Asian of  Investment and Infrastructure Bank (AIIB) yang diprakarsai Tiongkok tetapi kurang didukung oleh Jepang dan Amerika Serikat.

Sementara itu Reuters menggarisbawahi pertanyaan tentang relevansi Asia Afrika dewasa ini, mengingat dunia yang sudah berubah sangat drastis dalam 60 tahun terakhir. Pada tahun 1955, 30 kepala negara berkumpul untuk mendiskusikan pembangunan ekonomi dan pertahanan dalam posisi sebagai negara yang jauh dari pusat kekuasaan dunia. Kini banyak dari negara itu telah menjadi bagian dari penguasa dunia, seperti Tiongkok dan India yang telah termasuk pada kelompok negara G20.

Pertanyaan tentang relevansi Asia Afrika juga semakin mengemuka apabila melihat minimnya kehadiran kepala negara yang diundang. Panitia mengatakan mengundang 109 negara di Asia dan Afrika, tetapi sejauh ini diperkirakan hanya 34 pemimpin yang menghadiri undangan.

Berikut ini isi lengkap pidato Presiden Joko Widodo.

Wr.wb. Assalamualaikum

Yang Mulia Kepala Negara dan Pemerintahan,

Kepala Delegasi,

Yang Mulia Ibu Megawati Soekarnoputri,
Yang Mulia Bapak B.J. Habibie,
Yang Mulia Bapak Jusuf Kalla,
Yang Mulia Bapak Hamzah Haz,

Ibu dan Bapak sekalian,

Atas nama rakyat dan pemerintah Republik Indonesia, saya menyambut Anda semua di Indonesia, saya menyambut Anda semua untuk Indonesia, penggagas dan tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pertama pada tahun 1955.

Enam puluh tahun yang lalu, Bapak Pendiri Negara kita, Presiden Soekarno, mengusulkan inisiatif untuk meningkatkan kesadaran baru di kalangan negara-negara Asia dan Afrika untuk mendapatkan hak mereka untuk hidup sebagai bangsa merdeka, untuk menolak ketidakadilan, dan untuk menentang imperialisme dalam semua manifestasinya.

Enam puluh tahun yang lalu, kita menyatakan solidaritas Asia-Afrika dalam perjuangan kita untuk kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat kita.

Itulah api Konferensi Asia-Afrika 1955. Ini adalah inti dari Semangat Bandung.

Sekarang, enam puluh tahun kemudian. Dalam situasi global yang berbeda, bangsa-bangsa terjajah telah mendapatkan kedaulatan, tetapi perjuangan kita masih jauh dari selesai.

Yang Mulia,

Ibu dan Bapak sekalian,

Dunia yang kita warisi saat ini masih penuh dengan ketidakadilan global, ketimpangan dan kekerasan.

Mimpi kita bersama tentang peradaban dunia baru berdasarkan keadilan sosial, kesetaraan, harmoni, dan kemakmuran, belum menjadi kenyataan.

Ketidakadilan global dan ketidaksetaraan  jelas terlihat di depan kita.

Ketika negara-negara kaya, yang terdiri dari hanya 20 persen populasi dunia, mengkonsumsi 70 persen dari sumber daya dunia, maka ketidakadilan global menjadi nyata.

Ketika ratusan orang di belahan bumi utara menikmati kehidupan super kaya, sementara lebih dari 1,2 miliar orang di belahan bumi selatan berjuang hidup dengan kurang dari 2 dolar per hari, maka ketidakadilan global menjadi lebih terlihat di depan mata.

Ketika sekelompok negara-negara kaya berpikir bahwa mereka bisa mengubah dunia dengan penggunaan kekuatan, ketimpangan global yang jelas membawa penderitaan, yang tampaknya PBB tak berdaya mengatasinya.

Penggunaan kekuatan unilateral PBB tanpa mandat yang jelas, sebagaimana yang telah kita saksikan, telah merusak keberadaan badan dunia kita bersama. Oleh karena itu, kita, bangsa-bangsa Asia dan Afrika, menuntut reformasi PBB, sehingga bisa berfungsi lebih baik, sebagai badan dunia yang menempatkan keadilan bagi kita semua sebelum hal lain.

Bagi saya, ketidakadilan global yang terasa lebih menyesakkan, ketika Semangat Bandung, yang menuntut kemerdekaan bagi semua bangsa Asia dan Afrika, masih tersisa satu hutang selama enam dekade. Kita dan dunia, masih berutang pada Palestina.

Dunia ini tak berdaya di hadapan penderitaan rakyat Palestina, yang hidup dalam ketakutan dan ketidakadilan, karena pendudukan bertahun-tahun.

Kita tidak bisa berpaling dari penderitaan rakyat Palestina. Kita harus terus berjuang dengan mereka, untuk mendukung kelahiran Palestina yang merdeka.

Yang Mulia,

Ibu dan Bapak sekalian,

Kita juga merasakan ketidakadilan global ketika sekelompok negara mapan enggan untuk mengakui bahwa dunia telah berubah. Pandangan bahwa masalah-masalah ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Bank Pembangunan Asia, menjadi pandangan yang usang.

Saya berpandangan bahwa pengelolaan ekonomi global tidak bisa dibiarkan hanya dengan tiga lembaga keuangan internasional. Kita harus membangun tata ekonomi global baru, yang terbuka untuk munculnya kekuatan ekonomi baru.

Kita mendorong untuk mereformasi arsitektur keuangan global, untuk menghilangkan dominasi satu kelompok negara di negara-negara lain.

Dunia membutuhkan kepemimpinan global kolektif yang dilaksanakan secara adil dan bertanggung jawab. Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru yang muncul, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, siap untuk memainkan peran global  positif untuk memenuhi tujuan mulia.

Yang Mulia,

Ibu dan Bapak sekalian,

Hari ini dan besok, kita berkumpul di sini di Jakarta untuk menjawab tantangan  ketidakadilan  dan ketidaksetaraan global tersebut.

Hari ini dan besok, dunia menanti langkah kita dalam membawa bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk berdiri dalam kesetaraan dengan negara-negara lain di dunia.

Kita bisa melakukan semua itu dengan membawa Semangat Bandung turun ke bumi, dengan mengkontekstualisasikan tujuan tiga inti yang pendahulu kita yang telah berjuang  enam puluh tahun yang lalu.

Pertama, kemakmuran. Kita harus bekerja sama erat untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menyediakan lapangan kerja bagi rakyat kita.

Kedua, solidaritas. Kita harus tumbuh bersama, dengan meningkatkan dan memperluas perdagangan dan investasi antara kita. Kita harus mengembangkan kerjasama ekonomi antar-regional antara Asia dan Afrika, dengan saling membantu dalam memperkuat konektivitas antara kita, dengan membangun infrastruktur yang menghubungkan pelabuhan kita, bandara kita, dan jalan-jalan kita. Indonesia akan berusaha untuk menjadi jembatan maritim yang menghubungkan dua benua.

Ketiga, stabilitas internal dan eksternal, dan menghormati hak asasi manusia. Kita harus bertanya pada diri sendiri, apa yang salah dengan kita bahwa banyak dari negara kita terganggu oleh konflik internal dan eksternal yang menggagalkan perekonomian kita.

Kita harus bekerja sama untuk menghadapi tantangan-tantangan kekerasan, konflik, dan radikalisme di masyarakat kita, dan menghormati dan melindungi hak-hak rakyat kita. Kita harus menyatakan perang terhadap narkoba yang menghancurkan masa depan anak-anak kita.

Kita harus bekerja keras untuk membangun stabilitas eksternal dan keamanan yang merupakan prasyarat untuk pembangunan di masing-masing negara. Kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa samudera kita, atau laut kita, aman bagi perdagangan internasional. Kami berharap bahwa tidak ada konflik dan sengketa antar-negara yang diselesaikan melalui penggunaan kekuatan.

Ini adalah tantangan di depan kita, solusi yang harus ditemukan selama Konferensi Asia-Afrika dalam dua hari ke depan.

Yang Mulia,

Ibu dan Bapak sekalian,

Izinkan saya untuk menggunakan forum ini untuk mengekspresikan keyakinan saya, bahwa masa depan dunia terletak pada negara di sekitar khatulistiwa, di tangan kita, rakyat Asia dan Afrika.

Oleh karena itu, dalam nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih, Bismillahirrahmanirrahim, saya menyatakan  Konferensi Asia-Afrika 2015 secara resmi dibuka.

Semoga Tuhan Memberkati Kita Semua.

Terima Kasih.

Presiden Joko Widodo

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home