Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 20:41 WIB | Sabtu, 31 Mei 2014

PKS Dinilai Paling Menghambat UU Kesetaraan Gender di DPR

(dari kiri ke kanan) Arnold Panahal, dari Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TTYME) Adat Musi, Emilia Raras Yuning mewakili agama Katolik, Ratna Batara Munti, Kordinator JKP3, Titi Sumbung mewakili agama Kristen, Ade Kusumaningtyas mewakili agama Islam. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang tergabung dalam Jaringan Lintas Iman untuk Advokasi RUU KKG (Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender) menilai fraksi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR RI yang paling menghambat pembahasan RUU KKG.

Pada konferensi pers bertema ‘Lanjutkan pembahasan RUU KKG dan segera sahkan pada periode ini’, dalam rangka mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU KKG di Wahid Institute, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (30/5), Ratna Batara Munti, Kordinator Jaringan Kerja Prolegnas (program legislasi nasional) pro Perempuan atau disingkat JKP3 berpendapat bahwa perempuan di parlemen senantiasa dikuasai oleh partainya, jika tidak cocok dengan kepentingan partai langsung dikeluarkan.

“Dari awal memang yang paling menghambat adalah partai, terutama partai Islam, yang paling kuat dari fraksi PKS. Seharusnya kalau sudah dibawa ke DPR bisa melayani semua. Tetapi PKS menganggap tujuan dari KKG adalah untuk menyamaratakan laki-laki dan perempuan, padahal ini soal hak konstitusi, bahwa setiap warga negara kedudukannya sama di muka hukum,” ungkap Ratna. 

Dia menambahkan, elit partai juga yang menentukan calon legislator (caleg), namun tidak jelas kriterianya perempuan yang seperti apa yang layak dijadikan wakil rakyat dari partai yang bersangkutan.

Selain itu, Ratna mengatakan Partai Amanat Nasional (PAN) juga menggunakan azas agama sebagai kompromi penolakan terhadap RUU KKG ini. Padahal, lanjut Ratna, tidak ada satupun RUU di negara ini yang berdasarkan azas agama.oleh sebab itu penolakan RUU ini adalah hasil dari kompromi politik partai yang paling dominan di DPR.

Ratna meyakini, kehadiran RUU KKG ini justru untuk mengantisipasi persoalan yang selama ini dilegitimasi oleh ajaran agama, oleh adat istiadat, dan budaya yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Misalnya, Ratna menjelaskan dalam hal perempuan desa yang tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan menurut adat istiadatnya, adanya anggapan wanita yang lebih pantas untuk bekerja di sektor domestik (pembantu rumah tangga), sayangnya sektor domestik terkesan begitu rendahnya sehingga diyakini tidak butuh proteksi seperti peraturan perundangan (UU PRT yang tempo hari pernah diwacanakan), dan lain sebagainya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan harus ada 30 persen keterlibatan perempuan di Parlemen. Tetapi menurut Titi Sumbung, dari Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik, hampir 40 persen perempuan di parlemen itu ada hubungan kekerabatan, bukan berdasarkan kemampuan dan kapasitas mereka sebagai wakil rakyat.

Adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam dinamika politik di Indonesia itu terjadi karena pandangan sosial yang dikonstruksikan oleh mereka yang paling dominan di DPR, alhasil justru menghambat kinerja.

“UU ini adalah utang peradaban yang harus dibayar oleh negara. Jadi selama ini perempuan dibuat seolah-olah tidak beradab, terutama dari segi pendidikan, oleh karena itu persoalan mindset ini perlu diubah dengan adanya UU KKG,” kata Titi menegaskan.

Titi dan Ratna sama-sama bersepakat, bahwa RUU KKG ini merupakan program percepatan tindakan khusus sementara, kalau negara kita sudah dalam situasi tidak ada lagi kesenjangan, UU ini bisa saja dicabut.

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home