Loading...
OPINI
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 00:00 WIB | Kamis, 02 Juli 2015

Politik Pengelolaan Keragaman

SATUHARAPAN.COM – Pemerintah mengolah keragaman mengacu dari Pancasila dan UUD 1945. Keduanya menjadi acuan ideologis-normatif dan hukum. Namun hal keragaman tidaklah semata menjadi urusan negara (melalui pemerintah). Setiap individu, semua institusi dan komunitas memiliki tanggung jawab untuk ikut mengurusnya, karena keragaman itu sesungguhnya ada dalam keseharian. Keragaman itu kompleks dan dinamis.  

Keragaman itu adalah gejala kebudayaan. Setiap individu lahir di tengah identitas kultural dan keagamaan komunitasnya. Namun sebagai makhluk yang terus berkembang dengan kemampuan nalar dan intuisinya, maka manusia dan komunitasnya terus menerus memproduksi identitasnya sebagai bagian dari proses berkebudayaan. Jadi, keragaman sebenarnya merefleksikan proses pencarian yang tiada akhir dari setiap individu dan komunitasnya. 

Keragaman yang Kompleks dan Dinamis   

Keragaman itu kompleks. Politik penyeragaman orde baru membuat keragaman itu menjadi tampak sederhana. Akronim SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) diciptakan untuk ‘memendekkan’ yang ‘panjang’ itu. Dengan SARA, keragaman yang kompleks itu dapat dengan mudah dikontrol karena semua sudah menjadi 'tunggal', dan itu diwacanakan sebagai sesuatu yang 'berbahaya'.

Bersamaan dengan itu, 'bangsa-bangsa' direkontruksi menjadi 'suku-suku' di bawah dominasi politis-ideologis satu ’bangsa besar’ bernama Indonesia. Kemudian dibentuk identitas keagamaan pada masing-masing 'suku' itu. Aceh dan Jawa misalnya sama dengan Islam; Minahasa, Batak, Ambon, misalnya sama dengan Kristen, sementara Bali sama dengan Hindu. Beberapa 'suku' yang lain, misalnya Toraja dan Dayak yang masih kuat adat istiadatnya dipromosikan sebagai  'yang eksotis' untuk program pariwisata. Relasi antara individu atau kelompok yang melekat pada mereka adalah identitas agama, suku, dan ras mengalami perubahan: dari relasi yang bersifat kultural ke relasi yang bersifat politis-ekonomis. 

Kemajemukan itu dinamis sebagaimana kebudayaan itu yang terus berkembang. Interaksi dan saling tukar antara individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok adalah keniscayaan dalam kehidupan bersama. Keragaman terus bergerak, baik pemikiran maupun ekspresi-ekspresinya yang terungkap di ruang publik. 

Respons terhadap keragaman itu juga dinamis. Di Aceh Utara, hal hubungan antara laki-laki dan perempuan, mulai dari berboncengan di motor hingga hal relasi di sekolah bahkan sudah diatur melalui qanun atau peraturan daerah tentang kemaslahatan dan ketertiban umum. Bersamaan dengan itu, kelompok-kelompok yang anti diskriminasi dan pro kebebasan terus mengkampanyekan pluralisme dan hak-hak berekspresi. Aksi-aksi advokasi terhadap korban diskriminasi berbasis hak juga gencar dilakukan oleh banyak kelompok. Pemerintah, dalam merespon bahaya radikalisme, beberapa waktu lalu menutup 22 situs yang dianggap menyebarkan informasi dan opini yang berbahaya bagi keragaman.    

Kita dapat melihat secara kasat mata dalam keseharian bagaimana antara kelompok yang berbeda agama misalnya terlibat dalam konflik, ketegangan dan gesekan, tapi juga solidaritas dan gerakan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dilakukan bersama oleh individu atau kelompok lain dari masing-masing agama itu. Pada saat kelompok masyarakat yang menggunakan simbol-simbol Islam menolak GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, individu atau kelompok lain yang juga menggunakan simbol dari agama yang sama justru melakukan pembelaaan terhadap kedua gereja itu.  

Relasi Negara dan Komunitas dalam Pengelolaan Keragaman

Pengakuan atas keragaman dan redesain strategi pengelolaannya adalah kebutuhan mendesak sekarang ini. Sekarang ini semakin jarang dijumpai adanya masyarakat yang hidup dengan identitas tunggal (bahkan sebetulnya itu tidak pernah ada). Sementara, keragaman yang adalah keniscayaan itu dapat dengan mudah diperalat untuk kepentingan rebut-merebut ruang kuasa. Konflik yang berujung pada kekerasan selalu membuat khawatir semua pihak.

Negara sebagai institusi besar yang menjadi ruang hidup bersama dari yang berbeda-beda itu, melalui pemerintah dengan segala perangkat hukumnya, adalah pihak yang pertama dirujuk ketika bicara pengelolaan keragaman. Negara memiliki kuasa, namun pengelolaan keragaman itu tidak pertama-tama berurusan dengan ‘kuasa’. Hukum harus adil, tidak boleh diskriminatif. Hukum tidak untuk membatasi kebebasan berekspresi, namun untuk memastikan terjaminnya kebebasan itu.   

Pihak berikut yang sangat penting untuk berperan dalam pengelolaan keragaman adalah masing-masing individu, institusi dan komunitas. Kenyataan keragaman sesungguhnya ada dan hidup serta juga bermasalah di ranah ini. Kapitalisme, globalisasi serta politik penyeragaman negara telah ikut merusak ikatan-ikatan kultural masyarakat yang berbeda-beda identitas tersebut. Maka, strategi pengelolaan keragaman di ranah ini  antara lain adalah melakukan revitalisasi dan mengembangkan stategi kebudayaan berbasis lokalitas. 

Institusi pendidikan dan keagamaan misalnya, sangat penting untuk memahami dirinya sebagai ruang kultural bagi individu dan masyarakat di mana dia hadir. Pendidikan mestinya menjadi cara dan ruang bagi setiap individu dan komunitas untuk dapat berkembang secara intelektual dalam usaha menemukan dasar pengetahuan dan teknik berelasi yang baik.  Institusi agama adalah ruang bagi setiap individu bersama dengan kelompoknya untuk menghayati makna-makna religius yang dapat membantu dia menemukan spiritualitas dalam menjalani kehidupan bersama. 

Dengan demikian, penting bagi kita untuk mendudukkan lagi hal relasi antara pemerintah dengan masing-masing komunitas. Keragaman tidak dapat dikelola dengan pendekatan ‘kuasa’. Hukum negara bukan untuk menguasai dan mengontrol keragaman, melainkan untuk memberi jaminan bahwa ekspresi, hak dan relasi di atara yang berbeda-beda itu dapat berlangsung tanpa diskriminasi dan kekerasan. 

Pengakuan negara terhadap kelompok-kelompok tertentu, misalnya masyarakat adat dengan segala hak dan ekspresi kulturalnya, juga kelompok-kelompok minoritas lainya mestinya tidak dalam makna bahwa mereka sebelumnya ‘tidak ada’ dan nanti ada ketika diakui, tetapi negara memberi jaminan hak agar mereka dapat berkembang secara setara dengan yang lain. 

Politik pengelolaan keragaman negara/pemerintah tidak boleh terpisah dengan kompleksitas, dinamika serta aspirasi-aspirasi dari keragaman itu sendiri. Jika negara adalah ruang hidup bersama, dan pemerintah adalah pihak yang diberi wewenang secara politis untuk menata kehidupan bersama itu, maka jaminan hak hidup dengan identitas masing-masing kelompok dan komunitas adalah ‘kewajiban’ yang harus dilaksanakan oleh institusi besar ini. Kewajiban dari setiap individu dan komunitas adalah menjaga kehidupan bersama itu tetap terjamin baik, tanpa diskriminasi dan kekerasan. 

Penulis adalah Dosen Fakultas Teologi UKIT, tinggal di Tomohon


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home