Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 10:41 WIB | Rabu, 14 Agustus 2019

“Potret” Tiga Belas Perupa

“Potret” Tiga Belas Perupa
Karya patung berjudul “Topeng” (Anusapati-depan) dengan latar belakang lukisan karya Dedi Sufriadi berjudul “Burning series, Potrait as Young Artist” pada pameran “Potret, Penyelidikan Estetis” di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-22 Agustus 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Potret” Tiga Belas Perupa
Si Pelukis Rakyat – kayu, resin, pigmen warna – 52 cm x 32 cm x 38 cm – Abdi Setiawan – 2018.
“Potret” Tiga Belas Perupa
Seorang pengunjung sedang mengamati karya berjudul “Face History” (Tantin Udiantara) pada pembukaan pameran, Selasa (13/8).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Karya seni dengan objek wajah seseorang atau biasa disebut potret, menjadi salah satu karya seni yang sudah dikenal sejak lama. Di zaman kuno (empat ribu tahun sebelum masehi) bangsawan telah mulai melestarikan gambar dirinya untuk keturunannya dalam bentuk karya figuratif diri. Lukisan potret dikenal pada masa Mesir kuno seperti banyak terdapat di dalam piramida menunjukkan mereka yang telah meninggal.

Secara umum perkembangan peradaban Mesopotamia, Sungai Nil, Lembah Sungai Indus, Lembah Sungai Kuning, Yunani Kuno, Pegunungan Andes, hingga Mesoamerika meninggalkan banyak jejak peradaban dalam bentuk karya seni rupa dua-tiga matra yang masih bisa dibaca hingga hari ini.

Dalam perkembangan selanjutnya berbagai gaya dalam karya potret, baik dua matra maupun tiga matra, berkembang dan disempurnakan beriringan peralihan zaman perunggu-zaman besi-hingga abad pertengahan.

Dari beberapa sumber kesusastraan, ditemukan bahwa kebanyakan mereka tidak melukis wajah, namun dengan membuat patung wajah. Filsuf  Yunani Socrates diabadikan dalam bentuk patung wajah/kepala, sementara pada masa Alexander The Great atau Alexander Agung saat itu memasukkan patung kepala manusia sebagai gambar dalam mata uang logam.

Menariknya dari artefak karya figuratif yang ada, justru ditemukan lukisan kuno figuratif dengan objek binatang yang dibuat pada tahun 40.000 SM di sebuah gua yang terletak di Semenanjung Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur.

Pada masa Renaisans, lukisan potret yang paling terkenal adalah Monalisa karya Leonardo da Vinci. Sementara pada era aliran seni Baroque dan Rococo, muncul nama pelukis besar Rembrandt dari Belanda yang banyak menerima pesanan dari kalangan atas/bangsawan.

Lukisan potret diri terus berkembang dari era seni satu ke era seni yang lain, dan melahirkan banyak nama besar lainnya dalam dunia seni lukis. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ada kebangkitan lukisan potret. Lucian Freud (putra dari Sigmund Freud) dan Francis Bacon, adalah dua nama pelukis potret yang terkenal pada saat itu dari Inggris.

Pada tahun 2008 Benefits Supervisor Sleeping karya Freud laku terjual pada sebuah lelang di Christie’s New York City seharga $33.6 juta, sebuah harga yang sangat tinggi mengingat pelukisnya pada saat itu masih hidup.

Sebanyak 12 lukisan dan 2 karya patung dari 13 seniman-perupa dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Jalan Suroto No 2 Yogyakarta. Pameran yang dibuka pada Selasa (13/6) malam mengangkat tajuk “Potret, Penyelidikan Estetis”.

Ketiga belas seniman-perupa tersebut adalah Aan Arief, Abdi Setiawan, Anusapati, Budi Ubrux, Dadang Rukmana, Dedy Sufriadi, Dipo Andy, F Sigit Santoso, Galam Zulkifli, I Nyoman Darya, Jumaldi Alfi, Kokoh Nugroho, Tanin Udiantara, dan Zulkarnaini Rustam.

Karya yang dipresentasikan merujuk tema Potret menjadi pembacaan dari masing-masing seniman-perupa. Jumaldi Alfi yang sering menggunakan dirinya sebagai reflektif objek karya mempresentasikan lukisan berjudul Colour Guide Series #02 “Dear Painter, Paint For Me (After Magritte).

Hal yang sama dilakukan oleh Dedy Sufriadi dalam karya berjudul Burning series, Potrait as Young Artist dengan 150 objek abstrak goresan-garis dalam sebuah kanvas berukuran 300 cm x 200 cm. Bisa jadi karya tersebut merupakan refleksi Dedy pada awal perjalanan berkeseniannya.

Dalam karya Seri Gold # Marylin, Galam Zulkifli merekonstruksi ulang potret Marylin Monroe yang pernah dipopulerkan oleh Andy Warhol dengan gaya pop art. Pada karya tersebut Galam membuat lukisan dalam citraan monochrome emas dengan sentuhan semburat merah tipis pada objek bibir Marylin.

Menarik mengamati karya Kokoh Nugroho berjudul Potret diri seorang perupa separuh baya sebagai penjual jasa dalam goresan abstrak dan warna pastel merah muda. Apakah Kokoh sedang memotret dirinya?

Dua karya tiga matra berjudul Si Pelukis Rakyat karya Abdi Setiawan dan Topeng karya Anusapati cukup mencuri fokus pengunjung ketika didisplay di tengah-tengah ruang pamer BBY, terlebih Anusapati yang mengangkat objek topeng dalam karyanya. Topeng kerap menghadirkan misteri maupun drama-tragedi dalam kehidupan manusia sebagai simbol maupun sebagai realitas.

Pameran seni rupa bertajuk “Potret, Penyelidikan Estetis” berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta, 13-22 Agustus 2019.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home